Masa Lalu

2 0 0
                                    

Sisi pov

Aku terluka oleh sebuah rasa yang baru pertama kali aku dapatkan. Terlalu dalam untuk sebuah cinta pada pandangan pertama.

Bodohnya aku meskipun sudah berkali-kali diingatkan oleh fakta tapi aku masih tetap memaksa dan pada akhirnya aku kalah oleh sebuah penolakan. Sesuatu yang bahkan tak pernah ada dalam kamusku. Perasaan seperti ini seharusnya tak pernah aku rasakan.

Aku merutuki diriku sendiri. Hal yang kak Karra dapatkan seolah takdir yang tak bisa aku miliki. Bahkan tak bisa untuk sekedar aku sentuh lebih lama. Aku tidak ingin dengan mudahnya menerima kekalahan ini. Aku tidak ingin berhenti.

Aku ingin tunjukan pada kak Alle apa itu cinta yang sesungguhnya. Cinta yang bahkan tak kan ada luka. Hanya bahagia dan tawa. Tapi lagi-lagi aku ditampar akan kenyataan. Aku bahkan belum memulai tapi sudah menangis. Tangis dan sesak didada ini menyadarkanku untuk berhenti pada sesuatu yang bahkan tidak bisa aku miliki meskipun aku perjuangkan hingga titik darah penghabisan.

Bukan kak Alle yang kalah tapi aku.
Aku kerikil kecil yang telah menghadang langkahnya, langkah yang bahkan tak pernah tergoyahkan sedikitpun. Sebegitu hebatkah cinta yang mereka miliki? Cinta yang bahkan mati-matian coba untuk mereka redam.

Dari awal memang legenda pagar berduri itu tak akan pernah sanggup dibakar. Jika tetap ada yg berusaha membukanya dengan paksa, luka itu tak akan main-main untuk melumpuhkanmu.

Seperti aku yang terlihat bodoh, berdiri dengan satu kaki didepan kelas karena membolos jam pelajaran pertama milik bu siwi guru fisika, dengan mata sembab dan sisa nyawa yang aku miliki.

"Tadi kak Alle nyariin lo" Tulisan lina disebuah kertas yang dia tunjukan padaku.

Aku mengangguk sembari tersenyum, ingin rasanya meneriakan. Gue kalah Lina! Semua sudah berakhir. Aku menunduk dan terisak hingga sebuah air mata kembali terjatuh menemani kekalahanku.

..............

Karra pov

Sayup-sayup aku bisa mendengar dua orang berbicara dengan jarak yang tak terlalu jauh dariku. Tapi siapa mereka?

Meskipun alam bawah sadarku telah kembali, kedua mataku masih rapat dan terpejam sempurna. Aku tak kuasa hanya untuk menggerakkan tubuhku, yang sanggup aku lakukan saat ini hanyalah bernafas.

Ketika kejadian buruk menimpa kenapa harus sekarang. Saat aku hampir terkubur dalam jurang keputusasaan. Sempat terbesit ingin lebih cepat bertemu ayah. Tetapi aku sadar itu adalah hal terbodoh yang pernah terlintas dalam pikiranku.

"Dosisnya minimal kan?"

"Iya mas, mungkin sebentar lagi sadar"

Aku mengenalnya. Bukan mereka, tetapi salah satu diantara mereka. Aku tau suara itu, dan aku yakin aku bahkan hafal. Karena dalam hari-hariku selalu ada suara itu meskipun tak setiap saat.

Mataku terlalu berat untuk memastikan sendiri jika aku tak salah dengar. Dengan mengindahkan keadaanku yg mungkin sedang dalam bahaya, kesadaranku Terpaksa kembali direnggut.

PRANGG

BRAKKK

Mataku perlahan terbuka dengan sinar lampu yang seketika menusuk penglihatanku. Kuedarkan pandangan dan menelisik kesekeliling. Tempat ini tidak asing untukku. Aku pernah datang kemari, mungkin sekitar 5 tahun yang lalu.

flashback...

"Saya mewakili keluarga Panji Aldrick datang untuk meminta maaf. Saksi mengatakan semua ini murni kecelakaan"

"Murni? Bisa-bisanya anda mengatakan itu bahkan salah satu CCTV disebuah toko merekam dengan jelas bagaimana mobil yg dikendarai suami anda sengaja menabrak mobil anak saya!"

Second PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang