Bab 2

176 40 27
                                    

Entah sudah berapa lama aku menangis di tepian sungai seperti ini. Rasanya sampai sulit bernafas karena terlalu lama menangis. Sungai Gang adalah sungai dengan aliran air yang cukup deras. Terkadang aku menghabiskan waktuku di sini untuk menghilangkan penat, menikmati suara gemericik air yang menenangkan.

Bagaimana jika aku menjatuhkan diriku ke dalam Sungai Gang yang dalam? Apakah aku akan mati? Apakah penderitaanku akan berakhir? Aku lelah. Aku ingin sekali mengakhiri ini semua.

"Hey, kau menempati tempat tidurku."

Seorang pemuda berperawakan tinggi besar tiba-tiba saja berdiri di hadapanku, ia menunjuk ke arah pohon ceri di belakang tubuhku yang sedang aku sandari.

"Ini tempat umum, siapa saja bisa duduk dan bersandar di sini," ucapku pada pria itu.

"Bukankah kau hendak bunuh diri? Itu berarti tempatmu bukan di sini, tapi di aliran sungai sana."

"Dari mana kau tau aku hendak bunuh diri?"

"Aku melihatmu terus menatap ke arah sungai, terlihat jelas kau ingin mengakhiri hidup."

"Kau penguntit?"

"Aku hanya tidak suka melihat tempat tidurku ditempati orang lain."

Aku menghela nafas mendengarnya, segera kugeser tempat dudukku karena tidak ingin terus berdebat. Ia segera menyandarkan tubuhnya pada pohon ceri sambil menyalakan sebatang rokok. Asapnya ia hembuskan ke udara, aku sampai terbatuk karenanya. Aku tidak terlalu suka asap rokok.

"Kenapa kau ingin bunuh diri?" tanyanya tiba-tiba

"Aku tidak harus menceritakannya padamu. Kita tidak saling mengenal."

"Apa harus saling mengenal untuk merasakan penderitaan orang lain?"

"Aku hanya merasa jika aku tidak perlu menceritakannya padamu."

Lagi, ia hembuskan asap rokoknya ke udara, lalu kemudian tersenyum tipis.

"Terserah, bunuh diri bukanlah pilihan terbaik. Jika kau masih punya ibu, bayangkan akan sehancur apa ia jika melihat anaknya yang memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri."

Ibu ....

Tangisanku pecah lagi, membayangkan ia yang akan sangat terpuruk setelah kematianku benar-benar menakutkan. Aku tidak mau, aku sama sekali tidak mau melihat ibu lebih sedih lagi.

"Jika kau merasa hidupmu tidak bahagia, maka buatlah kebahagiaanmu sendiri. Akan selalu ada pelangi setelah badai. Kau hanya belum menemukan waktunya."

Aku menatap pria ini, ia melepas jaket yang ia kenakan dan langsung tertidur di bawah pohon ceri. Pria yang aneh, tapi, siapa sebenarnya dia?

.

.

"Baekhyun, akhirnya kau pulang, Nak. Ibu khawatir sekali."

Pukul sebelas malam, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah. Ibu sudah menungguku, ia terlihat sangat khawatir.

"Tadi ibu hendak menyusulmu, tapi kakakmu bilang kau butuh waktu sendiri."

"Ayah sudah tidur?"

"Iya, dia sudah tidur. Kau baik-baik saja? Ini pasti sakit sekali."

Rasanya sakit saat ibu menyentuh pipiku yang bengkak. Sudut bibirku pun masih terasa perih.

"Ibu akan mengompresnya."

"Bu." Kupegang tangan ibu yang hendak pergi mengambil air hangat.

Mataku kembali berair, dengan suara gemetar aku meminta maaf padanya.

Delavayi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang