Awalnya terdengar nyaman, hanya sebuah panggilan. Singkat yang hanya melekat namun mampu membangkitkan memori yang terikat, bagaimana tidak?
Panggilan dari berbedanya sebuah lisan.
_____Musim hujan yang terasa panjang, dingin menusuk ke setiap rusuk tulang. Angin masuk melalui jendela kamar yang terbuka, malam ini terasa amat panjang.
Aku memeluk kedua lututku, akhir-akhir setelah memutus pembicaraan itu seakan membuatku rapuh. Tangisan panjang tanpa pendengar seperti biasanya, lagi pula ini bukan bulan Desember. Bisa-bisanya aku mengharapkan kehadiran Fadlan yang sudah kusakiti perasaannya dua kali.
Gleder!
Tampaknya hujan badai datang malam ini, seakan membantuku untuk menyamarkan tangisan dari rasa sakit yang sudah tak mampu untuk ditahan lagi. Aku muak menahannya, ingin segera ku keluarkan semuanya.
Ting
Dalam gelap kamar dan suara guntur, dering hp masih terdengar dari jarak sedekat ini. Aku menghapus air mataku segera, mengangkat telepon yang bermodal pulsa.
"Ini... Fadlan?" lisanku berucap begitu saja.
Fadlan yang lokasinya berada diluar kota tanpa telepon genggam, melanjutkan SMA nya disana. Masih berusaha menyambungkan komunikasi meski hanya lewat telepon lama yang masih memakai pulsa, aku mengangkatnya berharap suara isak tangisku tidak terdengar.
"Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam, Ra,"
Benar, ini Fadlan.
"Kenapa, Lan?"
"Gapapa, lagi punya kesempatan buat nelpon kamu lagi. Kamu sendiri gimana kabarnya, Ra?"
Aku diam sebentar, mengambil napas. "Alhamdulillah aku baik, kok,"
"Yakin? Suara kamu serak,"
Sial, ini pasti karena efek menangis panjang tadi. Segera ku normalkan suaraku dengan sedikit batuk dan sekaan di hidung.
"Oh, akhir-akhir ini aku lumayan sakit tenggorokan. Selebihnya aku gapapa,"
Terdengar helaan napas panjang Fadlan ditelpon "alhamdulillah kalau kamu gapapa, Ra. Tapi inget, kalau ada apa-apa 'lagi' kamu bisa cerita sama aku. Ok?"
'Lagi', aku selalu tahu bahwa Fadlan cukup mengkhawatirkanku. Hanya saja sekarang aku ingin sedikit egois, aku sudah cukup membebankan orang lain. Bahkan aku merasa menjadi orang yang paling jahat bagi Fadlan, apa kali ini aku akan memilih mati rasa?
"Aku seriusan gapapa, Lan,"
"Hmm iya, dek,"
"Eh?"
Deg
Entah Fadlan inisiatif sendiri, atau aku yang ingin. Sudah lama aku tidak dipanggil dengan panggilan itu, namun...
"Dek Zara iiii,"
Akh sialan panggilan itu membangkitkan memori yang masih menyakitkan kurasa.
"Ra?"
"Hm? Ya? Sori-sori, kenapa?"
Segera aku tersadar dari lamunanku, ya ampun maafkan aku.
"Gapapa 'kan kalau aku panggil kamu adek?" tanya Fadlan meminta izin.
Aku mengerutkan kening tentu saja "tapi kenapa? Kita 'kan seumuran,"
"Kata siapa? Aku lebih tua 3 bulan dari kamu,"
![](https://img.wattpad.com/cover/333005306-288-k48129.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Segaris Lengkung Manis
Teen FictionBelum akhir, ini baru awal dari kisah baru Zara di umur 18 tahun. Hanya tinggal 1 langkah, namun terasa berat. Tapi tak lepas dari segala teori dari imajinasi melalui seseorang yang menjadi inspirasi tulisannya. Teori VII, Angin. Benar, Angin. Yang...