Aku tidak percaya aku menangis, aku sudah menahannya namun sekarang tidak mampu lagi. Aku menjauhkan hp dari gendang telinga lalu menangis terisak, Fadlan akhirnya mendengar suara tangisan sahabat semasa kecilnya ini untuk yang pertama kalinya.
"Ya udah nangis dulu, habis itu boleh cerita,"
Fadlan berbicara lagi selang beberapa menit aku menangis kemudian sedikit demi sedikit mereda, kesal sekali dia mengejekku tadi untuk menangis padahal sudah kutahan agar tidak keluar.
"Maaf, malah kelepasan,"
"Nggak, gapapa kok. Coba cerita kenapa,"
"Aku cuman... kepikiran soal hari ini,"
"Tadi siang?"
"Heem,"
Aku mengatakan semuanya, sejujur-jujurnya. Jelas Fadlan tidak percaya jati diriku yang sebenarnya karena hanya muncul pada saat malam, inilah Zara yang terlihat sangat lemah lalu keesokan harinya ia terlihat sangat bahagia untuk menutupi luka.
Kuceritakan perasaanku, menemui a Jasson hari ini dan hanya sosok itu yang kuperhatikan dari jauh. Tanpa menyapa atau tanpa senyuman sekalipun, hatiku sakit sekali. Bagaimana aku bisa bersikap biasa saja padahal dia juga bersikap seolah ingin aku lenyap dari dunia ini?
"Hmm, iya. Dapat dipahami,"
"Sikap aku jelek banget ya hari ini?"
"Hm, iya jelek. Apalagi muka kamu, jelek banget kalau cemberut gitu,"
"Ish! Lagi gak mau bercanda, Fadlan!"
Lagi-lagi malah Fadlan buat bahan candaan, tapi itu cukup untuk membuatku tersenyum. Setidaknya melupakan a Jasson beberapa menit yang lalu.
"Udah Ra, jangan nangis lagi,"
"Aku gak nangis,"
"Dari pada sedih-sedih, mau nonton ga?"
"Hah?!"
Tawarannya gila, tapi aku tidak berpikir sedikitpun bahwa itu gila. Kenapa? Karena perasaan sakit ini membutuhkan hiburan, pendengar, dan kebebasan.
_____
Lagi, pakaian ini sangat sering aku pakai. Gamis hitam polos dengan kerudung abu panjang, aku sedang malas memperhatikan model. Tepat di depan sebuah mall aku berdiri, trotoar yang kupijak membuatku bisa melihat kendaraan berlalu lalang lewat sejak tadi.
Tak lama kemudian aku melihat sosok itu, Fadlan dengan outfit berbeda. Jaket hitam berhias garis putih, celana panjang, sepatu, lalu sentuhan terakhirnya adalah topi. Cowok itu menatapku dari sudut pandang mata dibalik kacamatanya, menarik segaris lengkung di wajahnya.
Kuhampiri Fadlan, melambai kepadanya sebagai sapaan. Sudah lama tidak bertemu lagi dengannya, apa kabar dia? Eh? Tidak. Apa kabar perasaanku padanya? Atau perasaannya padaku?
Aku menghela napas sebentar kemudian berkata "temen-temen kamu mana?"
Fadlan mendongak, mengalihkan pandangannya dari menatap hp di tangannya. "Kesininya jam 2 katanya,"
Aku mengerutkan kening bingung "eh? Kenapa jauh banget? Sekarang masih jam 11,"
"Gapapa, biar ketemu dulu 'kan?" balas Fadlan lalu tersenyum jahil kepadaku.
Astaga, senyumnya itu menyebalkan kurasa. Ingin kutimpuk Fadlan dengan hp namun urung, tetap saja aku enggan menyentuhnya. Kugelengkan kepala, mencoba mencari topik lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Segaris Lengkung Manis
Teen FictionBelum akhir, ini baru awal dari kisah baru Zara di umur 18 tahun. Hanya tinggal 1 langkah, namun terasa berat. Tapi tak lepas dari segala teori dari imajinasi melalui seseorang yang menjadi inspirasi tulisannya. Teori VII, Angin. Benar, Angin. Yang...