Gama
"Pah!!..."
"Papah itu apa-apaan sih, larang gama sana sini. Papa kira, Gama itu robot papa gitu? Gama capek pah! Gama juga pengen istirahat..."
Gama melempar asal tas sekolahnya di lantai ruang keluarga, rumah yang sepi itu membuat suara Gama seakan terpantul.
Sedang di sofa terlihat seorang lelaki berumur duduk dengan gaya angkuh nya, satu kakinya berada di atas kaki satunya lagi sambil bersedekap dada. Menatap Gama dengan pandangan tajam bak elang yang siap memangsa.
"Lalu? Kamu ingin hidup seperti apa jika saya tak melakukan sesuatu? Seperti gembel? Atau kah orang yang terlantarkan?" Ucap pria itu.
Gama mengusap kasar wajahnya, lalu duduk di sala satu kursi.
"Pah.. Gama pengen bebas" Gama berucap dengan lirih di akhir kalimat.
"Ha? Bebas? Bebas seperti apa? Ingin seperti abang mu itu? Yang gila motor, raja jalanan?"
Gama seketika menatap ayahnya dengan sorot tegang, inilah yang ia tak suka jika menyangkut abang nya yang di gadang-gadang sebagai raja jalanan.
"Jangan pernah papa samain aku sama abang!!" ucap Gama.
"APA? MAU BELAIN ABANG KAMU ITU? HA--" ucapan Devan terpotong kala suara getar dari sakunya. Segera ia mengangkatnya.
"Ya halo"
"... "
"Apa tidak bisa di tunda dulu?"
".... "
"Baiklah segera hubungi anggota rapat"
"... "
"Yah, saya segera ke sana!"
Tut
Panggilan berakhir, Devan terlihat terburu-buru, ia bangkit lalu menghampiri Gama. Mencium dahi Gama dengan sayang.
"Papah pergi, jaga diri boy"
"Hem"
Devan meninggalkan Gama sendiri yang duduk sendiri di rumah itu, ditemani dengan kesepian yang melanda, Selalu seperti ini.
Gama menunduk melihat undangan yang di berikan oleh ayahnya, matanya sedikit gemetar. Tangannya menggapai undangan itu, membaca rangkaian kalimat dengan kalimat.
Devan Sandenra & Wahyuningsih dwita
Melihat nama yang tertera di sana membuat dada Gama sesak, matanya berembun, setetes air membasahi undangan itu.
"Kenapa papa langgar janji?.. Hiks.. Ken-kenapa pah? Hiks.."
Bahu Gama gemetar seiring tangan nya yang meremas surat undangan itu, apakah Devan mengambil keputusan sepihak tanpa memberitahukan dirinya? Sebenarnya di sini ia di anggap apa oleh Devan?
Munkin Di luar Gama terlihat tertutup seolah-olah ia lah orang yang tak memiliki masalah, padahal dirinya lah tempat masalah berkumpul.
***
Malam harinya, Seorang gadis yang menurungi tangga dengan dress lilac nya tampak menarik perhatian orang-orang yang berada di meja makan, terutama pemuda yang berwajah datar.
"Wahh.. Ika cantik banget yah sayang" ucap Devan menatap kagum ke arah gadis itu.
Seingatnya terakhir kalianya ia melihat Tika saat masih berumur 10 tahun dan sekarang ia sudah berumur 16 tahun, sudah enam tahun tak berjumpa. Banyak yang berubah pada diri Tika.
Tika tampak mengernyitkan dahinya seolah-olah tak mengenal lelaki itu, Devan. Lalu matanya menatap ke arah Pemuda berwajah datar.
Ia duduk dengan elegant, berusaha menghilangkan kegugupan yang melanda nya saat ini.
"Malam om, kak.. " cicit Tika.
"Wah.. Wahh.. tika sangat cantik, cara duduknya saja terlihat anggung" Ujar devan.
Tika menunduk malu.
"Tika sayang, mau makan apa, hem?" Suara merdu mengalun ke dalam telinga Tika. Segera Tika mendongak melihat mamanya tersenyum lembut.
"Emm.. Udang krispi ma, hem.. Sama, sama ayam kecap bagian dada aja, eh tumis ini juga.. Itu aja" Tika menunjuk makanan yang ia mau.
Devan tersenyum melihat keakrapan anak-ibu itu, seolah-olah membayangkan Alice median istrinya pada Gama atau Gara.
"Kalo mas mau lauk apa? Biar aku ambilkan"
Ucap Ningsih masih dengan senyuman.Sedangkan Tika menatap kedua paruh baya itu, sekilas memandang aneh, munkin perasaan nya saja. Matanya kembali menatap Gama yang hanya diam menatap nya intens. Tika mengerti tatapan itu, dadanya seketika berdebar, Buru-buru ia menunduk.
"Gama nak, mau makan apa?" tanya Ningsih pada Gama.
Lama Gama diam menatap tika, Mereka menatap Gama heran, Devan langsung menendang kecil kaki Gama di bawah meja. Baru lah Gama tersadar.
"Eh, Iyah kenapa?"
Sekali lagi Ningsih hanya tersenyum maklum. "Mau lauk apa?"
"Udang krispi sama nasi, itu saja" Ningsih segera mengambilkan Gama makanan, lalu ia mengisi piring nya sendiri.
Mereka makan dengan khidmat, tak ada suara hanya dentingan sendok pada piring.
Setelah selesai mereka semua kini duduk di ruang keluarga, terlihat nuansa ruangan ini kebanyankan berwarna oranye bunga gugur dan pastel, seakan menggambarkan kehidupan Ningsih yang tak muda lagi.
Wangi ruangan ini membawa mereka ke alam yang luas dengan pepohonan, bau citrus.
Devan berdehem sebentar lalu mentap kedua anak itu. Gama melihat gelagat Devan ingin berbicara, "Papah kenapa?"
"Khem.. Begini, maksud papa dan mam-"
"Bukan mama aku!!" Ralat Gama memotong ucapan Devan.
Devan mengangguk saja, "Papa ingin menikah dengan Mama kamu Tika.. "
Mata tika melotot kaget mendengar ucapan Devan, sedang Gama menyeringai seakan setuju dengan ucapan Devan. Dengan begitu rencananya semakin mudah untuk ia jalani.
Gama itu Manipulatif, licik. Munkin sisa itu yang melekat pada manusia setampan Gama.
"Dan besok kita akan menikah.. " lanjut Devan.
"Bagaimana apakah kalian setuju?" Tanya Ningsih.
Gama berdeham lalu menganggukkan kepalanya, "Gama sih setuju aja, sangat setuju malah" Gama melanjutkan ucapan nya dalam hati.
"NGGAKK...!! TIKA GA SETUJU POKOKNYA!!" teriak tika sebelum meninggalkan mereka menuju kamar nya di atas.
Meninggalkan devan yang menghela nafas, Ningsih yang mengusap sabar punggung Devan. Gama sekilas menatap ayahnya itu. Lalu beranjak meninggalkan rumah itu tanpa suara. Memasukkan kedua tanganya lalu berjalan santai, tak memperdulikan paruh baya itu.
Next 👉
WpRihnnn20_
Selasa,31jan2023

KAMU SEDANG MEMBACA
GAMA
Novela Juveniltika benci gama yang statusnya adalah saudara tirinya sendiri. "ga-gamaa.. pliss sentuh gue.." malam itu, semuanya baru dimulai.