004

495 68 2
                                    

◇──◆──◇

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

◇──◆──◇

Perlahan kedua matanya terbuka menampilkan manik [E/C]nya yang terang.

Ia segera bangun dari tidurnya. Mendudukan diri ditepi kasurnya masih mengumpulkan nyawa. Setelah sudah terkumpul ia kembali meregangkan otot-otot lengannya.

Mulai berjalan mendekati jendela disamping kasurnya lalu membukanya. Menampilkan pemandangan yang begitu indah. Matahari yang masih berwarna oranye serta pohon pohon yang mengandung air embun membentuk bulatan bulatan kecil.

Lautan rumput yang terlihat begitu lebat mewarnai tanah sejauh mata memandang.

Tungkainya berjalan menuju pintu lalu membukanya tak lupa kembali menutupnya.

Masih dengan keadaan berantakan. Ia mulai berjalan menuju kamar mandinya lalu melakukan kegiatan selanjutnya.

Seusainya, ia segera mengganti pakainnya dengan pakaian yang sering ia gunakan.

Oh iya, baru ingat, kemaren ia kedatang tamu tak diundang.

Dirinya yang ingin kembali kekamar dan membereskan beberapa barangnya kini berjalan berlainan arah dengan kamarnya. Iya. Menuju kamar tamu.

Tok Tok

Tak ada jawaban.

Tok Tok Tok

Sepertinya masih tidur.

Ehh? Tak berkunci?

Dengan pelan pelan ia membuka pintu agar si penyair yang kemaren menginap dirumahnya tak terbangun.

Ia mengintip dari balik pintu. Pandangannya mendapati Venti yang masih terlelap dengan damai. Karena tak ingin membangunkan, ia kembali menutup pintu lalu kembali kekamarnya melanjutkan aktivitas yang sempat tertunda.

◇──◆──◇

Kini [Y/N] berada didapur sedang memasak untuk sarapan. Suara besi saling bergesekan saat memasak serta harum yang membuat siapa pun lapar saat menciumnya, kini mengundang seseorang untuk mendekatinya.

Kakinya berjalan kecil menuju asal suara.

"[Y/N]?" Yang dipanggil menghentikan kagiatannya sebentar lalu menoleh keasal suara.

"Ahh, kamu sudah bangun rupanya, cuci wajahmu aku akan membuat sarapan," titah [Y/N] kembali memasak.

Venti hanya mengikuti titahan dari [Y/N]. Ia segera kekamar mandi dan mencuci mukanya.

Setelah selesai makan [Y/N] berfikir untuk segera kembali bekerja ditoko bunga milik Berta. Namun, apa ia harus meninggalkan rumah dengan seorang pemabuk didalamnya?.

"Huft, ayolah, aku aku harus bekerja!! Jangan merepotkanku!!" resah [Y/N] dikala si penyair itu tak mau bangkit setelah merebahkan diri disofa milik [Y/N].

"Heeeh? Terus aku gimana dong?"

"Ya aku mana tau!! Cepat pergi dari rumahku!!" usir [Y/N] serta bentakannya membuat Venti memutar bola matanya berhasil membuat perempatan imajiner didahi [Y/N] tercipta.

"Mau mu apasih?" Kini kesabaran [Y/N] sudah dibatasnya. Ia menatap Venti dengan kerutan didahinya bersamaan dengan tangannya yang dilipat.

"Aku ingin tinggal disini."

Satu kalimat. Satu kalimat ini membuat [Y/N] rasanya ingin cepat cepat menendangnya lalu membuangnya kesungai.

Namun [Y/N] orangnya tak enakan. Ya, dia memang kesal namun dilain hati ia merasa kasian dengan penyair ini.

"Huft ... kau ini, masa kau ingin tinggal dirumahku tapi kau tak bekerja, lelaki macam apa kau?" guman [Y/N] namun masih didengar Venti dengan baik.

[Y/N] membalikan badannya, dengan segera Venti bangun lalu berjalan cukup cepat untuk mendahului [Y/N]. Kini ia berada didepan [Y/N]. Menghadap padanya.

"Kau benar."

[Y/N] memiringkan kepalanya. Apalagi gerangan si penyair ini.

"Sebagai calonmu aku harus bisa membiayaimu kan?" Venti berucap-bertanya dengan senyuman lebar menampilkan deretan giginya dan matanya yang mengecil seperti bulan sabit.

[Y/N] menatap datar si penyair masih belum mengerti dengan apa yang dikatakannya, sebelum si penyair duluan pergi meninggalkannya sendiri sambil melambai lambaikan tangannya.

Begitu banyak yang memenuhi fikiran si gadis membuatnya tanpa sadar melamun.

"Nak? Apa terjadi sesuatu?" Berta bertanya khawatir. Tidak biasa [Y/N] melamun karena dirinya biasa bersifat ceria.

"Ah, tidak apa apa kok." [Y/N] menggelengkan kepalanya lalu segera menghampiri pelanggan yang baru masuk ketoko. Berta hanya menatap [Y/N] dengan khawatir berharap tak terjadi sesuatu dengan si gadis yang dianggapnya anak gadisnya sendiri.

◇──◆──◇

Hari sudah mulai sore. Tak terasa bekerja seharian ditoko bunga harus berakhir untuk hari ini.

[Y/N] meregangkan otot lengannya sebentar lalu menghitung hitung mora yang ia dapat hari ini. Melihat penghasilannya, ia tersenyum puas.

Berta menghampirinya lalu memberikan mora untuk upahnya karena sudah bekerja keras hari ini, hari kemaren, bahkan hari esok jika tak ada yang menghalanginya.

"Berta ... ini ... bukannya terlalu banyak?" tanya [Y/N] menatap Berta dan mora ditangannya secara bergantian.

Berta tersenyum lembut lalu memegangi kedua pundak [Y/N]. "Sudahlah ... seseorang dari tadi menunggumu loh," ucap Berta membuat [Y/N] menaikkan satu alisnya. Siapa yang menunggunya?

Tbc_
____________________
____________________

Yhhha gaje amat

𝙇ö𝙬𝙚𝙣𝙯𝙖𝙝𝙣:::VENTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang