Xavier kembali pada kehidupan semula, tetapi untuk kali ini, dia bekerja pada toko roti milik seorang wanita paruh baya yang senantiasa bercerita mengenai kehidupan semasa muda padanya.
Perempuan tua itu senantiasa melebarkan senyum acapkali seseorang memasuki toko, tidak pernah kelihatan kesal bahkan ketika Xavier terlambat datang ke tempat kerja dikarenakan Yin yang manja dan tidak ingin pergi ke sekolah jika tidak ditemani olehnya sampai kelas dimulai. Justru, wanita tersebut memuji bagaimana bertanggungjawab dirinya, kemudian menghadiahkan sebuah roti untuk mengisi perut sebelum hari panjang dimulai.
Dari pukul dua siang sampai delapan malam, ia akan berjaga sembari membaca buku tua di kursi kasir, sesekali melayani gadis-gadis usia belia yang menaruh atensi terhadapnya. Sebuah kewajaran, apalagi mengingat sekarang Xavier sudah memperoleh energi serta penyempurnaan sisi elf yang membuat pesonanya kian menguat, tidak heran jika beberapa orang merasa ingin menyapa dan menarik hati si pemuda. Pernah, seorang perempuan mengajaknya bertemu dalam artian kencan, tetapi ia tolak dengan alasan bahwa anak-anaknya sudah menunggu untuk makan malam. Mendengar penuturan demikian, gadis itu beringsut mundur dalam hati memisuh karena merasa bersalah telah nyaris merebut suami orang. Pun, sama halnya dengan seorang lelaki yang sempat ditemui ketika malam gulita dan hampir saja dirampok habis-habisan oleh begundal jalanan; Xavier menyelamatkannya, meski harus mengorbankan satu lengan memar. Dia tidak bisa seenak jidat mengeluarkan kekuatan di hadapan manusia awam. Meskipun rakyat sini percaya akan magis, tetapi jika salah serang saja, Xavier mungkin akan diarak keliling kawasan sembari dicap seorang penyihir berbahaya yang perlu dimusnahkan.
"10 roti keju. Tolong dibungkus rapi, ya."
Xavier memasang senyum sebagai formalitas, kemudian menjalankan tugasnya. Ia cepat nan sigap dalam mengemas makanan, sehingga performanya disenangi oleh si tuan rumah selaku pemilik toko, pun kehadiran si pemuda mampu menarik jumlah pelanggan yang datang untuk membeli beberapa bungkus kue.
"Ini dia pesanan anda," bungkusan besar dihias pita merah itu diserahkan kepada sang pembeli. "Terimakasih—"
"Anu..." dia memotong, kemudian dengan ragu bersuara, "b-boleh minta nomor ponselmu?"
Xavier sigap menolak dengan lembut. "Maaf, saya tidak bisa menyebarkan informasi pribadi kepada publik."
"K-kalau begitu alamat rumahmu—"
"Chou." wanita tua itu lantas bersuara dari sofa hangat tempat duduknya, "carilah orang lain yang bersedia mencintaimu."
Mendengar penuturan demikian, si lelaki yang mengingatkan Xavier akan sosok kuno dari cerita sejarah orang Tiongkok dimana pahlawan mereka memakai seragam olahraga itu terdiam sejenak, sebelum matanya berubah keruh. Ia mengucapkan terimakasih sebelum keluar dari toko roti dan menatap calon pujaan hati yang gagal didapatkannya. Padahal Chou sudah berusaha rajin ke toko itu untuk mendapatkan atensi si lelaki, tetapi nasibnya malang sekali.
Menyaksikan itu, si ibu lantas tersenyum simpul. "Tenanglah, Chou hanya kesepian karna kebanyakan teman seumurannya sudah menikah sedangkan dirinya belum."
Ah, itu agak mengingatkan Xavier akan dirinya sendiri.
Sudah beberapa tahun selepas kabar hilang Fredrinn menyebar sampai seluruh kawasan, tetapi tak ada kabar kepulangan terdengar, bahkan ditemukan pun nihil sehingga yang bisa Xavier harapkan saat ini dan seterusnya hanyalah keberkahan serta kedamaian untuk anak-anaknya. Dipikir kembali, dia juga sudah memasuki usia sangat matang untuk menikah, dan mungkin anak-anak membutuhkan sosok tambahan yang bisa mendampingi mereka. Tapi Xavier rasa hal tersebut tidak perlu, mengingat identitas dirinya dan Yin sangat ditutup rapat, ia enggan bilamana orang asing masuk ke kehidupannya dan mengacak-acak kedamaian mereka ketimbang memberikan keringanan beban. Biarlah menyendiri jadi pilihan, asal aman dan tentram, dia merasa bahwa punya pasangan bukanlah keharusan. Toh, agaknya sukar mempercayai orang selain Fredrinn.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIGHT CHANGES
Fanfiction"A family is like a circle. The connection never ends, and even if at times it breaks, in time it always mends." - Nicole M. O'Neil • Xavier, remaja menjelang dewasa yang memutuskan kabur dari rumahnya justru harus menghadap realita dimana tiga kerd...