Tahun berjalan seiring mereka berkembang.
Selama itu pula, si pemuda dewasa mulai memahami karakteristik anak-anak bonce tersebut, juga mengembangkan kemampuannya selaku pengasuh mereka.
Terutama Yin, setelah ia mengetahui bahwa bocah itu kini telah menjadi sangkar bagi sesosok monster.
Kenyataan pahit terpaksa ditelan mentah-mentah sebab penolakan pun percuma dilakukan jika menyerah adalah opsi terbaik demi menjaga keamanan bersama. Perubahan dirasakan begitu jauh berbeda, ketika Xavier menyaksikan sendiri bagaimana kuat anak usia lima yang mampu mengangkat meja makan, membopong kakak serta adik lelakinya, bahkan membawakan kotak barang relatif berat. Yin sendiri tidak mengerti, tetapi dia merasa senang dengan kemampuan barunya sebab Melissa selalu memuji kalau itu bagus dan kelihatan keren. Walau begitu, selaku orang dewasa, dia mengingatkan Yin untuk berhati-hati dalam menggunakan kekuatan tersebut, jangan sampai orang sekitar menyaksikan dan menarik kesimpulan gegabah. Terlebih dalam beberapa hari mendatang, Yin akan masuk ke taman kanak-kanak sebagai awal mula pendidikan dan kesenangan pertamanya di khayalak ramai. Jangan sampai teman-teman Yin mengira bocah itu adalah raksasa atau mungkin manusia aneh karena memiliki kemampuan fisik ganjil dibandingkan bocah seumurannya.
Sementara Melissa kini semakin mandiri, dia bahkan bisa berangkat ke sekolah tanpa kawalan si pemuda dewasa. Ditemani salah seorang teman, dia menjalani hari berpendidikan tanpa bosan, selalu pulang membawa cerita menyenangkan untuk dibagikan kepada Xavier juga adik-adiknya, yang kadang dibalas tatapan malas Julian dan tawa nyaring si pirang. Dia sudah lebih nyaman dengan lingkungan sekolah, serta bisa beradaptasi dengan cepat, lingkup pertemanannnya pun lumayan luas sehingga Xavier tidak perlu khawatir gadis kecil tersebut merasa kesepian selama tidak ada dirinya.
Julian sendiri... aduh, Xavier masih menganalisa.
Tapi tampaknya anak itu terlalu sering terdiam hingga kurang responsif terhadap lingkungan sekitar, dia hanya bisa mengucapkan namanya dan kedua saudara lain, tidak pernah mengatakan hal apapun lagi sehingga membuat Xavier khawatir bocah itu mengalami gangguan komunikasi verbal. Ia berkonsultasi dengan dokter setempat, juga membaca banyak buku untuk menambah referensi sehingga bisa membantu agar Julian bisa lancar berbicara sebagaimana kedua saudaranya. Setiap hari, ia mengajak si bungsu berbicara dan hanya beberapa kalimat keluar dari bibirnya. Dua belas hari mengamati, barulah Xavier paham bahwa anak itu sebenarnya memahami apa penyampaian informasi dari orang, tetapi belum mengerti bagaimana cara membalas atau merespon kalimat tersebut. Lidahnya terlalu kaku dan kepalanya belum bisa mencerna jawaban, atau balasan untuk tiap pernyataan maupun pertanyaan yang diajukan, sehingga agak sulit jika berkomunikasi secara langsung dengan orang-orang.
"Kusarankan kau untuk mencari sekolah khusus, atau asrama yang bisa menangani kekurangannya."
"Hnnn!!" Julian menggeleng, kemudian merengkuh erat kaki Xavier.
Dokter menyarankan agar dia mendapat penanganan dan sekolah khusus, tetapi Julian keras kepala dan tidak mau ikut siapapun selain Xavier. Bagaimanapun, merawat anak dengan sedikit kelebihan lumayan merepotkan, terlebih jika punya kesabaran sebesar biji jagung, justru malah akan semakin memperparah keadaan. Tetapi Julian tidak pernah mau dekat dengan siapapun kecuali anggota keluarganya. Terakhir Xavier menitipkan bocah itu di _daycare_ setempat, dia menangis tersedu dan meminta pulang, merasa lebih baik sendirian di rumah ketimbang dengan orang asing. Mempertimbangkan demikian, akhirnya Xavier mengambil secarik keputusan.
"Aku yang akan mengurusnya. Akan kutangani masalah ini."
Meski sedikit ragu, Xavier harus bisa mencerminkan orang yang dewasa di mata anak-anak kecil tak berdosa.
Dua belas siang, Xavier memutuskan beranjak dari sofa untuk membuat dua botol susu juga secangkir teh hijau ketika dia membiarkan anak-anak itu bermain di ruang tamu. Lima menit berkutat di dapur, ia kembali bermaksud memberikan dua botol sus tersebut ketika menyadari para bocah tidak ada di tempat, ia menghembuskan nafas pelan, membuka pintu yang setengah tertutup untuk kemudian mendapati seorang pria gagah berdiri menghadap ambang pintu, dengan dua kerdil di atas bahunya. Yin tampak ceria dengan bebek karet di genggaman sementara Julian begitu sengit memandang lelaki kekar tersebut, ia merengek minta digendong Xavier yang sigap menerimanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIGHT CHANGES
Fanfiction"A family is like a circle. The connection never ends, and even if at times it breaks, in time it always mends." - Nicole M. O'Neil • Xavier, remaja menjelang dewasa yang memutuskan kabur dari rumahnya justru harus menghadap realita dimana tiga kerd...