"Kamu serius kita mau pisah, Rossie?"
Wanita yang baru saja memasuki rumah mewahnya itu seketika menghentikan langkahnya. Ia menghela nafas panjang. Tubuhnya lelah. Sangat teramat lelah. Namun suaminya itu seperti tidak memiliki hari lain untuk pembahasan ini.
Juniarka yang melihat istrinya diam di tempat kian terbakar amarah. Ia melangkah cepat seraya membawa lembaran putih berisi ketikan rapi.
"Bisa kita bahas ini besok? Aku capek, Jun." kata wanita itu akhirnya. Ia hendak melangkah, namun Juniarka lebih dulu menghadang langkahnya.
"Jun," dengan sisa kesabaran yang ada, perempuan dengan rambut panjang berwarna kuning bambu yang diikat rapi itu meminta dengan nada suara penuh permohonan.
Namun Juniarka seolah buta dan tuli. Ia tak lagi melihat raut letih yang membayang pada wajah cantik istrinya. "I'm asking you, Rossie!" ujar pria itu dengan penekanan penuh di setiap katanya. "What does this fucking paper mean?! You want to get a divorce from me?"
Alraisha menghela nafas panjang. Perempuan yang sering disapa 'Rossie' oleh suaminya itu kini balas menatap nyalang pria yang pernah memberinya bahagia.
"Apa yang sedang kamu coba lakukan, Jun? Aku rasa kertas itu sudah menjelaskan semuanya."
Mendengar ucapan Alraisha kontan saja membuat emosi Juniarka kian naik ke ubun-ubun. Matanya terlihat merah padam, urat-urat di sekitar lehernya menyembul. Menunjukkan betapa amarah menguasainya kini.
"You know me so well, Jun. Seorang Alraisha tidak pernah menarik ucapannya."
"Persetan dengan itu, Rossie!"
Wanita itu tersenyum remeh. Rasa lelah yang menggelayuti dirinya sejak tadi kini bertransformasi menjadi amarah yang siap meledak sewaktu-waktu. Seluruh cinta yang ia miliki untuk Juniarka nyatanya mulai habis perlahan-lahan.
"Tindakanmu ini semakin menegaskan bahwa rumor itu benar!"
Alraisha terkekeh. Kekehannya tak lagi renyah sebagaimana biasa. Namun penuh aura gelap. Wanita itu mengangguk. Sama sekali tidak gentar menghadapi Juniarka. "Salah satu alasan terbesar yang buat aku mengambil keputusan ini adalah kamu, Juniarka!"
Juniarka hendak berucap, namun Alraisha lebih cepat.
"Aku tidak bisa menghabiskan sisa hidupku bersama orang yang bahkan tidak bisa memberi kepercayaan penuh kepada istrinya."
Juniarka mendengus.
"Kamu nggak perlu datang ke persidangan nanti. Aku mau semuanya selesai dengan cepat." pria itu mengangguk. Ia melangkah menuju meja, meraih bolpoint lantas menandatangi surat itu dengan cepat.
"Terserah! Aku tidak akan mengemis. Aku tidak akan mencegah seseorang yang memang berniat pergi dari hidupku."
Di tempatnya, Alraisha sempat tertegun. Seberapapun kecewa yang ia punya terhadap Juniarka, rasanya masih menyakitkan mendengar kalimat itu keluar dengan begitu mudah dari mulut suaminya. Seketika Alraisha merasa bahwa dirinya memang tidak pernah diinginkan. Namun secepat angin berlalu, secepat itu pula Alraisha meneguhkan hatinya kembali. Mengokohkan niatnya.
Ia tersenyum simpul menatap Juniarka. "Malam ini juga aku akan membawa Jae pergi dari sini."
Juniarka terkekeh sinis.
"Kamu bisa pergi semaumu, Rossie! Tapi jangan pernah bermimpi membawa Jae keluar dari sini. Putraku tidak layak hidup bersama Ibu seperti kamu!"
Mendengar itu, tentu saja membuat amarah Alraisha kian meletup-letup. "Jae anakku, Juniarka!"
"Aku tidak menyangkal itu."
"Aku berhak atas dia! Anak di bawah umur adalah tanggung jawab ibunya."
Juniarka terkekeh. Ia menatap istrinya remeh. "Aku bisa melakukan segala cara untuk memastikan Jae tetap bersamaku. Kamu bisa pergi, tapi Jae tetap disini."
"You're selfish, Juniarka!"
"Yes, I'm"
Muehehe...
Ditengah kemelut revisi skripsi yang nyaris bikin gila, malah melarikan diri kesini....Published
3 Februari 2023
20.45 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
After We Divorce
RomanceCinta? Iya. Sayang? Apalagi. Juniarka dan Alraisha adalah yang pertama untuk satu sama lain. Ada banyak waktu yang telah mereka habiskan bersama. Ada terlalu banyak kenangan yang tersimpan rapi dalam sudut hati. Alraisha kira ia sudah begitu mengena...