hurts

1.8K 88 1
                                    

Gabriel akhirnya selesai dengan pekerjaannya lebih cepat. Yaaa, tidak juga sih. Gabriel memiliki proyek yang telah ia lemburkan selama beberapa hari ini, sehingga kini ia dapat pulang lebih awal.

Ia bergegas menuju parkiran dan mengendarai mobilnya untuk pulang. Di perjalanan ia tidak lupa untuk membeli makanan berat dan beberapa camilan untuk makan malam nanti.

Hingga setelah hampir satu jam berkendara, akhirnya kini Gabriel telah sampai di basement apartemennya. Ia pun bergegas turun dengan membawa makanan yang ia beli tadi menuju unitnya.

Ceklek

Gabriel membuka pintu apartemen. Tidak seperti biasanya, suasana gelap kini menyambutnya. Dari mulai ruang tamu hingga pantri dapur masih belum dinyalakan lampunya.

"Rona kemana, kok rumah gelap banget.." gumamnya.

Ia bergegas menyalakan lampu di setiap ruangan, baru setelahnya ia memutuskan untuk mencari Rona. Tentu saja tempat pertama yang ia datangi adalah kamar adiknya itu.

Tokk tok tok

"Ronaa... Kamu didalem?" tanya Gabriel.

Namun hening. Selama beberapa detik ia menunggu, tidak terdengar sama sekali sebuah jawaban. Akhirnya Gabriel memutar kenop pintu itu, dan setelah terbuka pun keadaanya masih sama. Gelap gulita dan sangat sepi. Ia tidak dapat menemukan Rona dimanapun.

Gabriel mengeluarkan hp nya dari dalam saku celana, kemudian mendial kontak yang ia beri nama "Rona-ku". Namun lagi-lagi, hanya suara deringan yang tak pernah terjawab yang ia dengar.

Oke, Gabriel mulai panik. Ini sudah cukup malam, seharusnya sudah beberapa jam lalu Rona telah berada di rumah. Kalaupun ia pergi keluar untuk bermain atau belajar, biasanya Rona selalu mengatakannya terlebih dahulu pada Gabriel. Tapi hari ini Rona tidak mengatakan apapun, jadi kemana adiknya itu pergi?!

Gabriel kembali mencoba untuk menelfon Rona. Namun berkali-kali juga telefon tidak dapat tersambung. Alhasil ia hendak bergegas keluar rumah untuk mencari Rona.

Gabriel sudah siap dengan mantelnya. Tetapi baru saja ia ingin memutar kenop pintu, dari arah luar terdengar suara bip bip yang menandakan seseorang tengah memasukkan password rumahnya dan..

Ceklek

Itu Rona.

"Kemana aja kamu Rona? udah malem gini kok baru pul-!" belum selesai Gabriel mengutarakan kekhawatirannya, ia tersadar saat melihat mata Rona yang telah bercucuran air mata, di wajahnya juga terdapat lebam.

"Kamu kenapa Rona?!" ujar Gabriel panik.

Ia menangkup wajah adiknya itu dan mengamati lebih jelas bagaimana lebam yang terdapat pada wajah cantiknya.

"Ron-!!!"

"Hikksss kakakkk!!"

Tiba-tiba isakan Rona berubah menjadi tangisan yang terdengar begitu menyakitkan, membuat Gabriel seketika mendekap adik semata wayangnya itu dan mebawanya ke dalam pelukan hangatnya.

Gabriel memeluk Rona dengan erat. Tangannya terangkat untuk mengelus kepala Rona dan sedikit menekannya agar suara tangisannya terpendam di dadanya.

"Sttt... Semua baik-baik aja, Rona."

"Kakak disini, kamu gak sendiri."

"Kesayangan kakak jangan sedih, Sttt...."

Ucapan-ucapan menenangkan terus Gabriel lontarkan selama beberapa saat, hingga kini dapat ia rasakan tangisan Rona yang sudah mulai mereda dan hanya menyisakan isakan kecil.

Ia ingin kembali bertanya apa yang terjadi, namun saat ia melihat Rona, adiknya itu justru telah memejamkan matanya. Mungkin tertidur karena kelelahan menangis.

Kembali, Gabriel mengeratkan pelukannya.

"Kamu kenapa, Rona..?" gumamnya.

Ia pun menggendong Rona dan membawanya ke kamarnya. Di sana ia melepaskan tas dan sepatu sekolah Rona terlebih dahulu dan kemudian duduk di pinggir ranjang. Ia mengambil salep di dalam nakas dan mulai mengoleskannya pada lebam yang berada pada tubuh Rona. Ya, tadinya ia pikir lebam itu hanya ada di wajahnya, namun saat ia melepas sepatunya tadi Gabriel juga dapat menemukan memar di kaki adiknya.

Gabriel menatap Rona dengan tidak tega. Tangannya terkepal sempurna hingga membuat buku-buku jarinya memutih membayangkan siapa yang berani berbuat seperti ini pada adiknya.

~~~~~~~

Keesokan paginya, Rona terbangun dengan kepala yang masih sedikit berdenyut nyeri. Ia menatap sekeliling dan menyadari kini ia berada di kamarnya.

Rona berniat duduk, dan seketika sebuah handuk kecil setengah basah terjatuh dari keningnya.

"Hmm..?"

Ia mengambil handuk itu dan menaruhnya di atas nakas. Dapat ia lihat, disana juga terdapat baskom yang berisi air.

Tangan Rona terangkat menyentuh dahinya sendiri. Hangat. Mungkin semalam ia demam. Ia melirik tubuhnya dan ternyata ia masih memakai seragam sekolah seperti yang ia kenakan kemarin.

Ceklek

Pintu kamar Rona terbuka menampilkan Gabirel yang masuk dengan membawa sepiring makanan dan satu gelas susu hangat.

"Udah bangun?" tanya Gabriel begitu melihat Rona sudah duduk. Sedangkan Rona hanya membalas dengan deheman lemah.

"Hahh.." Gabriel mengehela nafas. Ia menyentuh kening Rona dan dapat ia rasakan masih sedikit hangat.

"Udah mendingan, tapi masih demam." ujarnya.

"Bangun dulu yaa, mandi. Kakak udah siapin air hangat." sambung Gabriel.

Rona mengangguk, tubuhnya juga terasa sangat lengket. Ia berniat bergegas menuju kamar mandi. Tapi baru saja ia berdiri, tubuhnya sudah terhuyung. Untung saja Gabriel dengan sigap menahan tubuh Rona agar tidak jatuh. Ia pun membantu Rona untuk menuju kamar mandi.

"Kalo ada apa-apa panggil kakak."

Setelah itu Gabirel keluar dari kamar mandi. Ia menunggu di depan pintu.

Sepuluh menit terlewati, Rona keluar dari kamar mandi dengan penampilan yang terlihat lebih segar. Gabriel kembali memapah Rona untuk duduk di ranjangnya lagi.

"Makasih kak." suara Rona masih terdengar lemah.

Gabriel tidak menyahut. Ia mengambil bubur yang ia bawa tadi dan menyuapkannya pada Rona.

"Makan yaaa, Rona.." ujarnya lembut.

Rona pun membuka mulutnya dan mulai memakan bubur buatan Gabriel dengan beberapa suapan.

Setelah selesai dengan sarapannya, Gabriel mengambil salep dan mengoleskannya pada lebam Rona.

"Kamu kenapa bisa sampe kayak gini, Rona..?" tanya Gabriel yang tidak dibalas Rona.

"Siapa yang bikin kamu kayak gini?" Gabriel kembali bertanya. Namun lagi-lagi tidak mendapat jawaban.

"Rona gak mau jawab kakak? Jangan takut, kakak bakal kasih perhitungan ke orang itu."

"Kakk..." dengan masih menunduk, suara lirih Rona kembali terdengar, namun sedikit gemetar.

"Ya Rona, kakak di sini." Gabriel mengelus kepala Rona lembut.

"Ak-akku hikkss... gak mau se-sekolah hhikks.. lagi..."

Mendengar Rona yang kembali menangis, Gabriel lagi-lagi membawa adiknya itu ke dalam pelukannya.

"Sttt... iya gak papa.. Semua bakal baik-baik aja, Rona..."

"Hikkss... gak kakk, Rona hikkkss... gak mau sekolah lagi..."

Tangis Rona semakin menjadi. Gabriel mengeratkan pelukannya.

"Yudah kalo Rona maunya gitu. Kakak gak maksa, udah yaa... gak papa..."

Pagi itu, Gabriel tidak berangkat bekerja. Mau bagaimanapun, adiknyalah yang lebih penting. Ia tidak bisa meninggalkan Rona dalam keadaan seperti ini.

Bad DestinyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang