2) Outsider

451 97 110
                                    

Ini hanyalah cerita fanfiksi. Tidak ada maksud memperburuk image tokoh utaite yang bersangkutan.

.・゜-: ✧ :-🌹-: ✧ :-゜・.

Eve tak bisa tidur. Ia sudah mengikuti beberapa tutorial menghilangkan insomnia. Mulai dari tips normal seperti membaca buku, meminum susu hangat, menghitung domba, sampai ke cara yang tidak normal seperti meminjam selimut tetangga, kayang sambil minum ekstra jos, dan mencabuti rumput di halaman dengan pemotong kuku.

Satu hal yang membuatnya tak bisa tidur karena masih terbayang insiden pembunuhan. Terdengar suara sirine mobil polisi yang berkeliaran di kawasan rumahnya.

Beberapa waktu lalu ketika terjadi insiden tersebut, ia langsung menelpon polisi menggunakan ponsel korban. Tapi sebelum polisi datang, ia beranjak pergi pulang ke rumah. Sengaja, tak ingin diinterogasi sebagai saksi. Menurutnya hal itu sangat merepotkan.

Kali ini Eve duduk di sofa ruang tamu. Menyalakan televisi yang menampilkan sebuah acara berita pembunuhan barusan. Disampaikan bahwa muncul dugaan pelaku sengaja menelpon polisi untuk meringkus korban.

Eve tersenyum mengejek dan meneguk air di botol. "Media ini pintar juga mengarang cerita."

Tanpa pertimbangan lagi, Pemuda dengan netra azure blue itu memakai jaket dengan tudung menutup kepala dan masker.

"Seandainya aja yang banyak itu saldo rekening, bukan beban pikiran." Eve tergerak pergi menuju tempat kejadian perkara yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.

Terlihat di sekeliling rumah minimalis 1 lantai sederhana itu dipasangi police line dan dua aparat berjaga di sekitar.

Saat Eve hampir sampai, ia menghentikan langkahnya. Tampak seorang pria mendekati dua polisi yang berjaga di sana. Ia menanyakan keberadaan anak korban yang ternyata ada di rumah tersebut.

"Dia berteriak histeris, tak mau dibawa keluar rumah. Itulah sebabnya kami berjaga di sini. Khawatir si pelaku datang," jawab salah satu polisi.

Tangan Eve mengepal. Dari postur tubuh dan suara pria di sana, sangat persis dengan si pelaku.

"Dia mengincar anak itu juga?!" gumam Eve geram. Ia mempercepat langkah, meraih kedua tangan pria itu dan mengunci ke belakang badan.

"Apa-apaan ini!" seru kedua polisi yang berusaha memisahkan Eve dan pelaku yang menyamar.

"Dia pembunuhnya!"

"Jangan ngadi-ngadi lo, jamir, eh, jamur!" elaknya.

Eve mengela napas. Pada akhirnya ia ikut campur juga dan memberitahukan pada polisi bahwa dia yang melapor mengenai peristiwa pembunuhan yang terjadi, juga membeberkan gerak-gerik pelaku sebelum dan sesudah kejadian. Tentu saja, polisi tak langsung percaya.

Seketika Eve teringat dengan cap jari yang membekas di jalanan saat ia bertubrukan dengan pelaku, sehingga memperlihatkan hal tersebut kepada polisi.

Setelah beberapa saat dilakukan penyidikan, pagi harinya didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa sidik jari tersebut sama dengan milik pelaku. Didukung juga dengan beberapa rekaman cctv tetangga sekitar.

Salah satu polisi bersurai ungu dengan tahi lalat di dekat matanya menepuk pundak Eve. "Terima kasih bantuannya, Dek. Berkat sidik jarjit ini-"

"Sidik jari, Pak."

"Iya, begitulah maksudnya. Kau telah membantu kami menemukan identitas pelaku yang sebenarnya.

Urusan dengan polisi serta penangkapan pelaku sudah teratasi. Salah satu sudut bibir Eve terangkat. Ia menjentikkan jari. "Wanita itu pasti punya tabungan dan deposito rumah, kan?"

Eve menutup setengah wajah dengan lengan saat memasuki rumah yang menjadi saksi biksu pembunuhan semalam. Ia menghirup aroma kurang sedap. Sirkulasi udara dan penerangan rumah itu sangat buruk. Barang-barang berantakan, begitu juga dengan sampah. Tak ada barang elektronik seperti televisi atau kulkas, satu-satunya pengguna listrik di sini hanya lampu. Sunyi, sepi seperti tak ada kehidupan.

Dibukanya pintu dan jendela lebar-lebar, membiarkan udara dan cahaya matahari masuk. "Berantakan, kotor, bisa-bisanya ada manusia hidup di tempat begini."

Eve mendekat pada sosok kecil yang berdiam diri di bawah kolong meja, mengibaskan telapak tangan di depan anak itu.

Tidak berkedip. Netranya tidak merespon. Tatapannya tampak kosong.

"Ah, dia buta," batin Eve, "jadi ... apa dia nggak tau kalau ibunya sudah tiada?" Ia menelisik pada nama yang tertera di cover buku yang dipegang anak itu. Sou.

Eve meraih tangan Sou, mencoba mengajaknya bersalaman. "Aku Eve, kakakmu."

Sou terkejut saat disentuh dan segera menarik tangannya. "Uh!" Ia mendorong Eve, menunjuk ke pintu keluar, mengisyaratkan untuk pergi.

"Hei, kenapa pas ibumu terbunuh, kamu malah senyum sambil makan roti, hm? Apa kamu nggak sedih? Aneh. Aku sampai salah mengira, kupikir kamu punya gangguan jiwa."

Sou tidak menjawab. Ia mengerutkan dahi dengan bibir mengerucut dan mendekap erat bukunya.

Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, seorang perempuan paruh baya. "Jadi bener, kakaknya datang?" tanyanya, tetangga sekaligus si pemilik kontrakan 4 pintu di sebelah rumah Sou.

Eve tersenyum samar. Sepertinya pemilik kontrakan tidak mengenali bahwa pemuda di depannya adalah pemilik salah satu hunian yang tak jauh dari sini. "Y-ya ... aku kakaknya Sou."

"Kau kakak yang tangguh. Pasti butuh kesabaran banget ngasuh adik yang buta dan tuli."

Eve sedikit terkejut mendengar penuturan wanita tersebut. Ternyata selain tak bisa melihat, anak kecil itu juga tidak memiliki kemampuan mendengar. Orang yang mengalami dua kondisi ini disebut deafblindness.

"Aku sering ke sini, sempat khawatir sama Sou. Untunglah kalau kakaknya datang."

"Oh ya, hm ... kenapa Sou bersikap seperti tak suka bertemu orang?" tanya Eve.

"Sudah lama anak itu dikurung terus di dalam rumah, mungkin itu penyebabnya. Lah? Kau kan kakaknya? Masa nggak tau?"

Eve tersenyum getir. Ia jadi was-was, khawatir kebohongannya diketahui. "A-aku kan sudah lama merantau, pas aku pergi ... dia masih dalam bentuk orok."

Ibunya Sou memang kurang berinteraksi dengan anaknya sebab berangkat kerja pagi dan pulang malam. Apalagi dengan kondisi terus menerus dikurung membuat Sou tak punya kesempatan mempelajari bagaimana metode komunikasi yang khusus untuk anak sepertinya.

Wanita yang menjadi korban pembunuhan itu sudah tujuh tahun lamanya menjadi single parent. Ia jarang sekali bersosialisasi dengan para tetangga dan memilih mengurung Sou karena khawatir anaknya menjadi omongan tetangga dan diserang anak-anak kecil yang nakal.

Setelah pemilik kontrakan pergi, Eve pun menutup pintu. Ia segera menggeledah rumah Sou. Mencari berkas yang akan menjadi sumber pendapatannya.

Kondisi Eve saat ini sebenarnya sedang mengalami krisis kehidupan. Harus kuliah dan bekerja untuk membiayai kebutuhannya seorang diri.

Bak mendapatkan durian runtuh, ia berencana mengambil uang dan mencairkan deposito rumah yang ditempati Sou, dengan identitas palsu sebagai seorang kakak. Jika deposito berhasil diuangkan, ia akan pergi meninggalkan anak itu.

Pencariannya belum membuahkan hasil. Padahal Eve merasa sudah hampir memeriksa seluruh rumah Sou. "Hei anak kecil, di mana mamamu menyimpan berkas penting itu?"

■□■□■□■□■■□■□■□■□■

6 Februari 2023

『𝕸𝖞 𝕲𝖚𝖆𝖗𝖉𝖎𝖆𝖓 𝕬𝖓𝖌𝖊𝖑』 ✔ 𝙴𝚟𝚎𝚂𝚘𝚞 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang