Di tengah kesibukan mencari berkas deposito, notif whatsApp menginfokan ada kelas pengganti dadakan hari ini sehingga Eve harus ke kampus. Tak sempat mandi, yang penting pakai deodorant.
Kelas telah berakhir. Dia memasukkan buku dan alat tulis ke dalam ransel berwarna ungu yang memiliki mata, mulut dan peta di sisinya. Beberapa tahun silam, tas itu adalah pemberian tetangga. Dulunya sering dipakai berpetualangan anak tetangganya itu bersama monyet yang memakai sepatu boots merah.
Saat hendak beranjak dari kursi, dua mahasiswa laki-laki datang menghampirinya.
"Heh, gue tau lo ambis, suka berdebat. Tapi kalo ada temen lo presentasi, lo nggak usah nanya aneh-aneh. Apalagi menyudutkan demi cari nilai ke dosen," ucap seorang laki-laki bersurai almond ditemani tanuki kesayangannya yang sedang memakan silperkuin.
Eve menaikkan sebelah alis, salah satu ujung bibirnya terangkat, terkekeh pelan atas protes yang disampaikan.
"Songong nih orang. Heh, lo kalo mau tau secara gamblang jawabannya, lebih baik tanyakan setelah presentasi, di luar kelas. Jangan bunuh karakter temen lo!"
"Sampaikan ke anggota kelompokmu, jangan asal membaca ulang jawaban dari gugel apalagi nyontek breinli. Aku tadi cuma menyampaikan argumen berdasarkan fakta lapangan, kebetulan bertolak belakang sama pernyataan salah satu anggotamu. Maka dari itu kupertanyakan," sahut Eve.
Tangan laki-laki itu mengepal, hendak meninju Eve. "Bacot anj-"
"Weh, weh, jangan gelud. Oh ... gue tandain lo, Evita!" tunjuk laki-laki bersurai merah yang baru saja datang dan menyeret pergi temannya keluar kelas.
Eve melotot kepada dua mahasiswa barusan. "EVI-hah ... terserah." Ia menilik jam tangan dan saatnya bergegas menuju kafe, tempat kerjanya sebagai seorang waitress. Tetapi saat ia keluar kelas, tiba-tiba ada seekor tanuki mencakarnya lalu kabur.
"Dasar rakun sinting," sungut Eve.
Setelah pemuda bersurai cokelat klasik itu menyelesaikan shift malam, ia tak langsung pulang melainkan kembali ke rumah Sou.
Ia membuka pintu dengan kunci yang dibawanya, menyalakan lampu, mengedarkan pandangan, mencari si pemilik rumah.
Tak sulit menemukan Sou. Ia selalu bersembunyi di tempat favoritnya, kolong meja. Duduk di situ, mendekap dress merah muda dan bertanya-tanya mengapa ibunya tak kunjung pulang. Tak menyadari, Eve masuk ke rumahnya.
Eve mengangkat bahu, bersikap tak peduli. Ia meminjam dapur, memasak mie instan.
"Jangan sampai orang itu tau kalau keadaanku begini," keluh Eve dengan raut wajah letih. Tak butuh waktu lama, pemuda itu bersiap untuk menyantap masakannya.
Aroma sedap dari mie--yang ada gambar telur di bungkusnya--buatan Eve tercium oleh Sou. Anak itu mengendus, keluar dari persembunyian, mencari sumber aroma tersebut.
Eve menyeruput mie sambil menonton konten youtube berfaedah judulnya "Tutorial Rebus Batu Sampai Empuk". Terlalu fokus sampai tak menyadari ada sosok kecil mendekatinya.
Saat ia hendak mengambil mie lagi dengan sumpit, mulutnya sedikit menganga dengan wajah tertekuk. Ada tangan kecil masuk ke mangkuk mienya.
Sou mengambil mie langsung dengan kedua tangan lalu mengendusnya. Aroma yang belum pernah tercium. Ia mencoba makanan itu, memasukkan semua mie di genggaman kedua tangannya ke mulut. Dahinya berkerut, tak suka dengan rasa pedas, ia pun memuntahkannya tepat ke dalam mangkuk dan pergi begitu saja.
"EH?! Aish ...."
Mempercepat langkah menuju pojok ruangan, Sou mengambil roti dalam kerdus, dibuka bungkusnya lalu dimakan olahan tepung itu dan bersembunyi lagi di bawah kolong meja. Ia merasa lebih nyaman berada di sana.
Selera makan Eve menghilang. Ia menatap anak kecil itu dengan geram, membuang mienya yang masih tersisa banyak dan membanting mangkuknya ke pencucian piring.
"Mau dimarahin juga percuma. Dianya tuli."
Rintik hujan mulai turun, semakin deras dan disertai petir. Eve merasa sangat lelah dan memilih tidur lebih cepat. Ketika hendak merebahkan badannya di ruang tengah, ia melihat anak kecil di kolong meja tadi sudah terlelap dengan posisi duduk dan masih mendekap baju sang ibu.
Eve menarik anak itu perlahan sampai sedikit keluar dari kolong meja, menggendongnya, membaringkan di ruang tengah. Ia tidur di samping Sou, saling memunggungi.
Belum sepenuhnya tidur, overthinking sebelum terlelap adalah rutinitas Eve. Tiba-tiba ia merasakan kehangatan menyentuh punggungnya. Anak kecil dengan pakaian berlengan pendek dan celana selutut itu merasa kedinginan sehingga ia mendekat pada punggung Eve.
Pemuda itu tersenyum samar, hatinya sedikit tergelitik. Ia pun mengubah posisi tidurnya menghadap Sou, menatap wajahnya, meraih tangan kecilnya, mengusap pelan dengan ibu jari.
Sou merasakan ketenangan. Ia semakin meretas jarak di antara mereka, ingin merasa lebih hangat. Tak ada perlawanan dari Eve, ia membiarkan anak kecil itu memeluknya.
◆◇◆◇◆◇◆◇
"Demi sendal jepit Ijat ... coba kek, kalo nelpon lihat jam. Masih subuh begini." Eve segera mematikan ponsel ketika melihat kontak pemanggil dan langsung bangkit dari posisi tidurnya.
"Dari mana dia dapat nomorku! Nggak lama, kuganti lagi kartu hp ini pakai kartu uno," gerutunya sembari mengusik tatanan rambut dilanjutkan menguap.
Eve sedikit tersentak, ia sempat tidak menyadari keberadaan Sou yang sudah bangun lebih dulu, duduk di sebelahnya dengan wajah berseri-seri sembari memakan roti.
"Kamu nggak bosan makan roti begitu? Mau coba cara baru makan roti, nggak? Pake nasi uduk, misalnya."
Eve mencoba iseng. Ia merampas roti yang dipegang Sou, membuat bocah itu merengek dan segera mengembalikannya.
Duduk berhadapan dengan Sou, menatap netra tanpa sinar milik anak itu, membuat Eve bertanya-tanya, apa yang sekiranya terlihat oleh Sou? Apakah hanya gelap?
"Sou, sini tanganmu." Eve mengukir huruf demi huruf di atas telapak tangan Sou dengan ibu jarinya. "E ... v ... e ..., itu namaku, ingat? Coba kamu tulis ulang."
Dia mengarahkan jari telunjuk Sou ke telapak tangannya, dengan cepat, Sou bisa menirukan tulisan dari nama Eve yang baru saja diajarkan.
"Betul! Begini bacanya." Kali ini Eve menempelkan telapak tangan Sou ke bibirnya. "Eve."
Anak itu tersenyum riang. "Uh! Uh!" Sou menunjuk dirinya sendiri.
"Kamu mau tau gimana tulisan namamu?" Eve melakukan hal yang sama, memberitahukan tulisan dan penyebutan nama Sou seperti sebelumnya, menggunakan kombinasi metode komunikasi Tadoma dan Print on Palm.
Tadoma adalah metode komunikasi dengan membaca bibir lawan bicaranya menggunakan indra peraba. Sedangkan Print on palm adalah metode dengan menuliskan bentuk huruf yang dimaksud, mengejanya per huruf pada telapak tangan. (Bamandhita, 2019)
Wajah bahagia terpancar dari keduanya. Tetapi, bak awan mendung yang tiba-tiba menutupi hangatnya sinar mentari pagi, senyum Eve seketika meredup. Ia sadar telah terbawa suasana, hampir lupa dengan tujuannya kembali ke rumah ini.
Eve menyipitkan mata, mengamati setiap sudut ruangan, mengingat-ingat bagian mana yang belum digeledah. Atensinya tertuju pada kerdus stok roti milik Sou.
"Ada satu tempat ... yang belum kuperiksa."
■□■□■□■□■■□■□■□■□■
8 Februari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
『𝕸𝖞 𝕲𝖚𝖆𝖗𝖉𝖎𝖆𝖓 𝕬𝖓𝖌𝖊𝖑』 ✔ 𝙴𝚟𝚎𝚂𝚘𝚞
Fanfiction[[INI RECEHAN]] 13+ [Brothership, Psychological, Comedy] Eve adalah pemuda yang kekurangan zat empati dan simpati. Tak akan segan mendebat siapapun, baik orang tua atau muda, miskin atau kaya. Sangat perhitungan terhadap apa pun yang berkaitan denga...