Najid menatap ibunya yang tengah mencuci piring, dia sudah berkali-kali menawarkan diri untuk membantu, tapi selalu saja mendapatkan penolakan."Umma ... cape loh, piring kotornya banyak. Gantian ya?"
Umma hanya merespon dengan senyuman. Putra sulungnya ini paling tidak bisa melihat Ummanya kecapean.
"Nanti sama istri bakal gitu juga?" tanya Umma.
"K-kenapa jadi ke arah sana pembicaraanya?"
Umma terkekeh pelan, melihat wajah putranya yang sedikit memerah.
"Mau ya, dijodohin sama anak bungsunya Tante Mira?"
"Kia?"
Umma mengangguk ringan.
"Umma dulu di pesantren suka gabung sama yang lebih tua. Dan waktu itu deket sama tante Mira. Kita pernah janjian waktu di pesantren. Kalo tante Mira punya anak perempuan dan Umma punya anak laki-laki, kita jodohin. Qodarullah, Umma punya kamu dan Mbak Mira punya Azkia, udah gitu cuma beda setahun tuaan kamu," jelas Umma.
Apa yang sedang Allah rencanakan? Apa perjuangan sepertiga malam Najid dahulu akan membuahkan hasilnya sekarang?
"Kalau Najid, gmana baiknya menurut Umma saja. Tapi ... masalahnya Kia udah punya pacar, Umma."
Uma terkekeh pelan, menutup keran air dan mengelap tangannya yang basah.
"Mau dia punya pacar, atau dia gak suka kamu, bahkan dia jauh dari kamu. Kalau sudah Allah takdirkan, sesulit apapun akan dipersatukan."
Najid mengangguk paham mendengar penjelasan umma.
"Cuma ... kalau ngebahas soal Azkia, Tante Mira sering cerita sama Umma, kamu sudah tahu sendiri dia seperti apa. Azkia berbeda dengan Azura dan Azka. Mbak Mira bilang, dia sedikit bandel. Tapi ingat, bukan berarti dia gak baik. Jika Allah menghendaki kamu berdampingan dengannya, Umma harap kamu bisa menuntunnya ke arah yang lebih baik."
Ada sedikit ketakutan dalam hati Najid. Apakah dia bisa menuntun Azkia ke arah yang lebih baik? Sedangkan dalam dirinya saja masih banyak yang harus diperbaiki.
. . . . . . .
"Lulusan S2 Manajement Bisnis. Tapi kerja di bengkel. Gak ada yang nerima kerja atau kamu yang gak mau nyari kerja."Azkia yang baru saja selesai mengambil air minum menghentikan langkahnya, menatap sekilas lelaki yang berubah 80° setelah berpacaran dengan Jeno dan bekerja di bengkel.
"Papah sendiri pernah bilang, jangan pernah merendahkan pekerjaan orang lain. Yang kita nilai itu bukan seberapa besar gajinya atau setinggi apa pangkatnya, tapi halal dan tidaknya," balas Azkia.
"Papah malu Kia, coba kamu lihat kakak-kakak kamu, mereka jauh berbeda dari kamu."
Azkia menatap Azka yang juga menatapnya dari kursi.
"Iya, tanpa disuruh pun Kia tahu. Kak Azura perempuan solehah, punya suami pengusaha. Kak Azka lulusan terbaik, dia juga membantu perusahaan Papah semakin maju. Begitu maksud Papah?"
"Kamu ini--setelah berpacaran dengan si Jeno itu, berubah banyak. Berani bantah orang tua, suka keluyuran gak jelas!"
Muak rasanya mendengar Papah yang senang membandingkan. Tanpa membalas sepatah katapun, Azkia berjalan masuk ke kamarnya, dia tidak mau air matanya turun jika terus-terusan di sana.
Beberapa menit setelahnya, terdengar ketukan dari pintu kamarnya.
Tok! Tok! Tok!
KAMU SEDANG MEMBACA
Nakia [ Na Jaemin ]
Romansa"Saya gak pinter merangkai kata, saya cuma mau bilang, mari terus bersama saling menggenggam tangan berjalan menuju jannah-Nya."