Cinta Tanpa Sebab

121 10 2
                                    


"Bang Azka di mana sih? Katanya nunggu di sini, tapi gak ada," gumam Azkia.

Azkia beralih menatap keresek putih di tangannya. Malas sekali rasanya harus berurusan dengan obat. Azkia langganan darah rendah, tapi kemarin ketika diperiksa di puskesmas, darahnya tinggi. Kebetulan persediaan obat penurun darah di puskesmas habis, terpaksa Azkia harus membeli sendiri obat penurun darah yang disarankan dokter kemarin.

"Azkia!"

Azkia menoleh ke belakang, melihat seseorang yang berjarak cukup dekat dengannya.

Apa ini? Kenapa harus sekarang?

Sebenarnya Azkia sempat berniat lari, tapi ia urungkan. Mencegah hal yang terjadi seperti di film-film yang biasanya kalau lari tangannya akan dicekal.

"Ternyata bener kamu, aku tadi sempet ragu," ucap laki-laki dengan sweater hitam.

Azkia melihat laki-laki di hadapannya sekilas, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jalan.

"Apa kabar, Jen?"

Tiba-tiba Azkia merasakan sesak di dadanya. Jujur ini adalah pertanyaan yang sudah lama ingin ia tanyakan.

"Bohong kalo aku jawab aku baik-baik aja. Apalagi sebelum aku ngejelasin sem--"

"Percuma, tanpa diperjelas pun semuanya udah jelas," potong Azkia.

Tiga bulan Azkia menunggu penjelasan, tapi Jeno malah menghilang. Sekarang tiba-tiba datang dan berkata ingin menjelaskan? Enak ya, pergi dan datang semaunya.

"Maaf, maaf untuk segalanya. Maaf aku gak bisa pertahanin kamu, maaf atas semua kebohongan yang keluar dari mulut aku. Jujur Kia, aku masih sayang sama kamu. Pernikahan aku dan Danita bukan kemauan aku. Aku tahu, maaf aja gak cukup buat nebus semua rasa sakit kamu. Tapi cuma itu yang aku bisa."

Azkia memberanikan diri menatap Jeno yang menunduk. Dia tahu, setiap orang memiliki alasan untuk apapun yang mereka lakukan, termasuk Jeno.

"Mari selesai dengan baik-baik."

Jeno mengangkat kepalanya, melihat Azkia yang tersenyum. Senyumannya masih sama, tapi dengan maksud yang berbeda. Karena ini bukan lagi senyuman bahagia yang dulu selalu Jeno lihat, senyuman Azkia kali ini terasa seperti ucapan perpisahan baginya.

"Jadi istri kedua mau?"

Sontak saja Azkia tertawa mendengar ucapan Jeno. Seandainya saja Azkia tahu, kalau Jeno tidak main-main dengan ucapannya.

"Nikah aja belum, lo udah ada niat buat punya istri dua," kata Azkia.

Jeno menatap keresek putih di tangan Azkia. Tadi ketika Jeno membeli charger di konter seberang apotik, dia tidak sengaja melihat Azkia, jadi Jeno mengikutinya sampai sini.

"Beli obat buat siapa?"

"Buat gue, biar gue kuat lihat lo nikah sama yang lain," ucap Azkia dibarengi kekehan kecil.

"K-kam, bakal dateng ke sana?"

Azkia menggidikan bahunya, bukan karena tidak mau atau takut menghadiri pernikahan Jeno dan Danita. Masalahnya yang mau nikah bukan hanya Jeno dan Danita saja, tapi Azkia juga. Azkia ragu dia memiliki waktu yang cukup, karena banyak yang harus ia urus untuk persiapan pernikahannya dengan Najid.

"Gue gak tahu, Jen. Tapi! Bukan berarti gue gak mau dateng, gue cuma ragu bisa ngeluangin waktu. Soalnya ... acara pernikahan lo cuma beda 4 hari dari pernikahan gue."

Jeno menatap Azkia kaget, pasalnya tidak pernah terdengar sedikit pun berita tentang pertunangan apalagi pernikahan Azkia. Dan rasanya tidak mungkin secepat itu Azkia berpaling pada hati lain.

Nakia [ Na Jaemin ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang