Chapter 3

1.1K 217 20
                                    

Gue sering lupa sm dunia halu.

Sejujurnya, gue udah bingung sampe pengen angkut kurcaci gembel yang sewa kamar bekas Tomo. Niatnya buat ringanin beban, gue merasa beban jadi nambah dengan kehadiran doi yang namanya Rara. Gue cuma takut doi ngemeng sewa, nggak tahunya buat ajang bunuh diri. Belum lagi boneka bebeknya itu mencurigakan. Jangan-jangan, doi bandar narkoba. Fak! Otak gue makin rese mikirnya.

Matanya bengkak kayak abis ditonjok walau gue tahu dia abis nangis. Literally nangis berat di dalam kamar sejak mendarat ke sini. Gue sampe kesel dan minta Ray, klien yang kenalin gue sama kurcaci gembel itu buat kasih tahu kalau gue batal sewain tempat.

"Gak bisa, Bro. Lu kan udah ajuin syarat, dan doi bisa penuhin dengan bayar setahun dimuka, nggak bawa macem-macem selain baju sekoper, dan nggak gila," ujar Ray yang bikin gue emosi.

"Tapi lu nggak bilang kalau itu cewek!" balas gue gemas.

"Lu nggak nanya, trus juga gue nggak merasa harus kasih tahu panjang lebar karena kan lu yang negosiasi langsung sama doi," sahut Ray defensif.

Bener juga kata si Ray. Dalam hal ini, gue yang bego. Kenapa nggak nanya sejak awal? Emang dasarnya gue lagi kena sial. Ancuk.

Karena nggak mendapat jalan keluar, gue pun matiin telepon karena udah males ngomong sama Ray. Sedangkan kurcaci gembel masih di kamar lagi setelah sesi kenalan yang maksa abis. Gue nggak terima doi ngakak karena nama gue. Sial! Siapa dia berani kayak gitu sama gue?

Gue auto menoleh ke arah pintu karena ada ketukan. Mendesah malas, gue beranjak dari kursi dan membukanya. Si kurcaci gembel udah mandi lengkap dengan rambutnya yang masih basah dan hoodie yang kegedean di badannya.

"Kenapa?" tanya gue ketus.

"Gue laper, Kak. Bisa minta makanan dulu, gak? Atau gue bayar aja?" jawabnya langsung.

Sial! Dia pikir gue buka warmindo 24 jam apa? Ck!

"Lu nggak bisa beli sendiri diluar?" balas gue nyolot.

"Kalau bisa juga nggak bakalan nanya, Kak. Ini udah jam 12 malem," sahutnya santuy.

"Kebanyakan nangis gak jelas sih lu!" sewot gue sambil meloyor keluar dari kamar dan doi auto mundur untuk kasih gue jalan.

Gue dan Tomo termasuk orang yang cukup rapi soal makan karena nggak gitu suka makan diluar, kecuali terpaksa karena harus ketemuan sama klien. Seminggu sekali bakalan isi kulkas untuk kebutuhan sehari-hari.

"Lu bisa cari sendiri tanpa perlu ketok kamar gue," ujar gue sambil membuka drawer atas untuk memamerkan varian stok mi instan dan sereal.

"Ini bukan area gue dan gue nggak merasa berhak untuk buka-buka tanpa izin," sahut Rara yang bikin gue auto nengok.

"Lu kepengen makan apa? Paling gampang indomie dan..."

"Ada oatmeal? Atau susu aja? Gue nggak bisa makan berat kalau udah jam segini takutnya kembung," selanya cepat.

"Ada," ujar gue sambil membuka kulkas dan memamerkan barisan susu segar di sisi kanan kulkas.

"Gue harus bayar berapa?" tanyanya lagi.

"Nggak perlu bayar, tapi jangan diabisin. Gue paling nggak suka kalau punya makanan, terus giliran mau makan malah habis karena dimakan orang," jawab gue.

"Gue juga nggak suka main ambil makanan orang tanpa permisi, makanya gue tanya sama lu tadi," sahut Rara dengan ekspresi datarnya yang ngeselin.

"Gue nggak nuduh lu ngambil," balas gue ketus.

"Gue cuma jelasin soal yang tadi lu bilang kenapa nggak bisa cari makan sendiri tapi malah ketuk pintu kamar lu," sahutnya lagi.

Gue mendengus sambil menatapnya kesal. Kalau biasanya sama Tomo nggak pernah ribut soal makan, tapi kenapa gue harus ribet sama kurcaci gembel yang satu ini? Apa mungkin gue emang nggak suka tinggal bareng sama cewek selain ajak tidur bareng? Karena cewek lebih baik berisik pas lagi enak ketimbang ribet urusin hidup apalagi mulai ganggu ketenangan gue.

"Rules nomor satu!" cetus gue sambil menutup pintu kulkas dan menaruh satu karton susu di meja pantry tanpa mengalilhkan tatapan pada Rara yang keliatan mulai bete disana. "Kita gantian beli stok makanan. Minggu ini giliran gue, minggu depan giliran lu, dan seterusnya."

Mata Rara langsung melotot. "Kenapa harus gitu? Porsi makan kita udah pasti nggak sama!"

"Itu bisa disesuaikan," sahut gue kalem. "Gue bersedia kuarin satu banding dua. Misalkan lu 100, gue 200."

"Nggak bisa!" tolak Rara mentah-mentah. "Gue masih fresh graduated, yang gajinya masih UMR dan banyak keperluan. Lagian juga, stok makanan di kulkas lu yang kayak buat warga satu RT itu nggak diperlukan sama gue. Terlalu banyak, ribet, dan makanan beku semua. Nggak sehat!"

Sialan! Kok gue makin gerah ladenin nih anak ya?

"Gue nggak mau kebanyakan barang di tempat ini! Lu tahu sendiri kalau kita cuma nempatin satu lantai atas sebuah ruko untuk kita bagi buat tinggal bareng! Lagian juga, ini adalah pertama kalinya gue tinggal bareng cewek!" desis gue geram.

"Ini juga pertama kalinya gue tinggal bareng sama cowok freak kayak lu," balas Rara nyolot.

"Pardon? Freak?" seru gue nggak terima.

Rara terdiam dan hanya menatap gue bete. Entah males balesin gue atau nggak berani, gue nggak tahu karena gue nggak terima. Siapa dia berani ngatain gue?

"Satu hal yang paling penting dalam hidup itu adalah satu! Sopan! Dan lu nggak punya sikap sopan itu! Jadi anak macam apa lu kalau buat sopan sama orang aja nggak bisa? Gue yakin kalau orangtua lu pasti ngajarin sopan santun tapi lu yang nggak bisa jadi anak yang bener sampe harus kurang ajar kayak gini! Nggak heran banget lu bisa sampe bisa tinggal diluar dan end up tinggal bareng cowok yang lu ngatain freak barusan! Gue yakin kalau mereka juga nggak sudi punya anak model kayak lu!" sewot gue emosi.

Kalau tadi mukanya bete, kali ini Rara melihat gue kayak kaget dan nggak percaya. Cewek itu bergeming cukup lama, bahkan seperti menahan napas sambil terus melihat gue dengan tatapan lirih. Matanya yang masih bengkak itu kemudian berkaca-kaca, napasnya terdengar memburu, lalu tanpa membalas apapun, Rara langsung berlalu untuk kembali ke kamarnya dan mengunci pintu.

Nggak lama setelah itu, gue bisa mendengar cewek itu kembali menangis, terdengar semakin berat dan pilu dalam setiap isakannya. Sampai gue meninggalkan dapur dan kembali ke kamar, gue masih mendengar isakan cewek itu semalaman.

Cerita ini baru dimulai tapi kenapa udah seberat ini urusan yang harus gue hadapi? Tai kuda banget sih yang nulis. Fak!

Happy belated valentine, Fellas.
Gosah minta coklat, bunga, ato perhiasan. Minta nyawa aja biar qlo doi cari masalah, lu tinggal ambil. Lol.

150223 (22.40)

Benching ChadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang