Chapter 17

1.4K 168 26
                                    

Gue nggak suka dengan perasaan yang berkecamuk dalam hati saat ini. Kayak bukan gue tapi ini gue. Waktu Rara tidur dengan kondisi masih demam, doi ngigo. Bukan ngigo biasa tapi doi sampe nangis sesenggukan sambil bilang:

"'Jangan pukul, Ma. Rara janji nggak gitu lagi."

"Papa, kepala Rara sakit. Kalo Rara salah, tolong bilang tapi jangan pukul Rara. Rara sakit."

Dua kalimat yang sempet gue denger waktu ngantuk berat itu terus berkumandang di kepala. Emangnya masih zaman bedain anak cewek sama anak cowok? Tinggal di zaman apa itu? Gue nggak habis pikir.

Nggak heran kalo Rara mutusin kuar rumah kalo isian rumah modelannya dajjal gitu. Tiap orang nggak bisa pilih untuk dilahirin keluarga macam apa, dalam hal ini adalah takdir, dan itu nggak bisa diubah. Tapi nasib, kita masih bisa usaha dan gue menilai Rara berusaha memperbaiki nasib dengan keluar dari toxicity keluarga yang mengekangnya.

Rara bukan tipikal cewek nakal yang rela lakuin apa aja demi dapetin duit, juga bukan tipikal gampangan yang bisa dipake. Doi cenderung aman dan skeptical, tapi kalo sampe nekat, itu berarti apa yang doi terima dalam rumah udah melebihi apa yang doi sanggup tahan.

"Kenapa lu suka banget makan nasi pake telor ceplok?" tanya gue saat melihat Rara membuat telor ceplok kedua.

Selama tinggal bareng, gue selalu melihat Rara membuat telor ceplok dan dimasak pake kecap-kecapan. Itu enak, gue baru tahu kalo telor ceplok dimasak pake kecap bisa seenak itu. Tapi nggak yang tiap hari juga, bosen liatnya.

"Ini adalah masakan pertama yang gue bisa lakuin dan kebetulan gue doyan telur," jawabnya.

"Nggak ada menu lain?" tanya gue lagi.

Doi menggeleng. "Di kulkas selalu stok telur, tapi kalo bahan daging biasanya nyokap yang masak dan itu buat sodara gue karena katanya anak laki harus makan banyak daging."

"Kenapa gitu?"

"Karena mereka kerja lebih berat, juga energi yang keluar lebih berat."

"Kena tekanan mental itu jauh lebih berat, bahkan nggak sedikit yang bisa mati karena itu. Nyokap lu tahu soal itu, gak?" sewot gue keki.

Gila aja soal makanan harus dibedain juga. Kenapa nggak ada empati sebagai sesama cewek gitu sih?

"Nggak tahu deh, gue udah biasa soalnya. Toh makan telor itu enak, dan gue suka," balas Rara sambil mengangkat bahu dan mengangkat telor ceplok yang udah matang.

"Suka karena terbiasa dan mau nggak mau," koreksi gue.

"Gue beneran suka telor," ucap Rara dengan muka serius. Kalo mau dibilang bener sih iya, soalnya doi tetep makan telor ceplok meski gue udah nyetok daging dan bahan makanan lainnya.

"Tapi harus makan hal lain biar nggak norak," ujar gue.

"Hanya karena gue suka telor dan itu dibilang norak?"

"Bukan, tapi mencoba hal baru. Sama aja kayak hidup, makanan itu ada banyak varian yang bisa lu pilih dan nggak itu-itu aja. Simple, alasan bosan itu jadi masalah umum dan itu normal."

"Tapi gue kurang suka."

"Suka nggak suka, yang penting coba. Biar yang lu tahu nggak cuma sekedar telor aja. Masih ada ayam, sapi, tempe, babi, dan gue keki banget ya sampe harus ngomong kayak begini. Lu itu bukan anak SMP, ANJIR! Even anak SD aja udah tahu makanan enak!"

"Standart enak buat orang itu beda-beda."

"Bukan berarti lu diamkan waktu lu tahu standart lu segitu-gitu aja. Sesekali, naikin standart lu, selera lu, dan apa yang lu suka. Dari hal itu, lu bisa belajar dan tahu lebih banyak. Inget, banyak varian, bukan cuma satu."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Benching ChadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang