Meeting dengan klien berjalan lancar dan gue nggak nyangka kalo Rara bisa jadi partner yang sigap. Meski doi sempet rese waktu flight tadi, begitu udah landing balik lagi jadi waras. Selama perjalanan menuju ke tempat meeting, gue menjelaskan beberapa poin penting ke Rara dengan cepat dan doi menyimak dengan serius.
Gue akui cara kerjanya cepat, wawasan cukup luas, dan doi cepet beradaptasi dengan pola yang gue inginkan. Bertemu dengan klien pun nggak pake drama karena doi cukup luwes dalam meladeni topik obrolan yang dilemparkan. Kalo gue sama Tomo bakalan ngadepin topik yang konyol dari klien yang aneh, kali ini berbeda dengan biasanya.
Klien gue yang cukup unik ini malah lebih fokus sama Rara soal obrolan ngalor ngidui yang nggak jelas. Kali ini, klien yang seharusnya bertemu dengan gue adalah Wijaya, tapi karena ada halangan maka kirimin anaknya yang baru balik dari Jepang, namanya Wira.
Emang dasar monyet belang, Wira itu bukan kayak mau kerja tapi niatnya buat ganjenin anak orang. Presentasi yang gue udah siapin sama sekali nggak berguna karena dia bisa dibilang cuekin gue. Kalo nggak karena bokapnya yang cukup professional dan pembawaannya baik, gue udah pengen lempar ipad gue ke kepalanya.
Sejam terbuang dan tanpa bertanya sama bokapnya, Wira main okehin semua proposal dan main tanda tangan tanpa ragu. Gue cuma bisa cengo. Shit, Man! Buat nembus bokapnya supaya bisa meeting hari ini aja susah banget, tapi kali ini meeting sama anaknya yang nggak punya pengalaman, ditambah gue ditemenin Rara karena gantiin Tomo justru disetujui gitu aja.
"Pada prinsipnya, Papa saya udah setuju untuk apa yang ditawarkan sejak dari telepon waktu lalu. Saya disuruh kesini cuma buat dengerin aja biar tahu," ucap Wira tanpa beban.
Sial! Gue auto merasa dikerjai dengan klien lapuk macam Wijaya dan dikadalin karena ngirim anaknya yang ababil buat meeting hari ini.
"Sebenarnya kita itu mau kemana sih?" tanya Rara dengan nada judes dan bikin gue auto balik ke kenyataan bahwa meeting itu udah kelar dan kami lagi ada di mobil buat otw.
"Makan!" jawab gue ketus.
"Bukannya tadi kita udah makan?" tanya Rara balik.
Gue nengok ke arahnya yang lagi menatap gue dengan ekspresi protes. "Lu mungkin bisa makan tapi gue nggak! Eneg banget gue liat lu berdua ngoceh nggak jelas!"
"Kan lu sendiri yang bilang buat adapt and learn kalo ketemu klien. Dia ngajak ngobrol, ya gue ladenin. Kalo gue cuekin, lu sewot juga," balas Rara sotoy.
"Udah jago banget kalo adu bacot sekarang," komen gue gemes.
"Belajar banyak dari lu biar nggak terus dihina," sahut Rara nyolot.
Gue berdecak malas dan kembali melihat ke depan sambil menatap supir dari kaca spion yang kayaknya lagi nguping daritadi.
"Ke Seminyak, Bli. Mau cari makan," ujar gue ketus dan supir itu cuma nyengir karena ketahuan.
"Mau makan dimana, Pak?" tanyanya.
"Makan babi," jawab gue langsung.
"Siap."
"Kita kapan balik?" tanya Rara dan bikin gue auto nengok.
"Balik apaan?"
"Jakarta."
"Besok lah!"
"Bukannya pulang hari?"
"Nginep semalam."
"Nginep? Gue nggak bawa baju!"
Gue auto melotot. "Gimana bisa nggak bawa baju? Gue kasih lu koper itu buat apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Benching Chad
RomanceIn Collaboration with @She_Liu. The Story of Zozo and Rara. The peanut to my butter Glaze on my donut Cherry to my sundae Milk to my cookie Cheese to my macaroni But... Never an option. Just on benching Chad. WARNING: 21+ Here's for have some fun...