Chapter 1

1.9K 309 34
                                    

Written by. CH.

Sebelum memulai cerita nggak jelas ini, baiknya gue memulai dengan perkenalan dulu biar disayang karena katanya kalau nggak kenal, nggak bakalan sayang. Apa iya? Rasanya nggak, soalnya udah biasa jadi rebutan karena cewek-cewek bakalan caper.

Since gue emang sopan sejak lahir yang tahu tata krama, gue kenalan dulu sama yang mageran dan nggak ada kerjaan kayak kalian yang sedang membaca tulisan ini.

Nama lengkap gue, Kenzo Esa Widjanto. Bermula dari nyokap yang suka banget sama brand dengan gambar harimau norak itu, maka semena-mena nama Kenzo jadi nama gue. Seperti nggak mau mengurangi kesan jijik dalam nama, panggilan gue jadi Zozo, katanya lucu. Fak!

Nama tengah gue adalah Esa, yang artinya gue anak tunggal, which means cukup tertekan dengan sejuta harapan yang dikasih sama ortu, yang ngarepnya anak jadi pinter, cerdas, bijak, dan semua hal bagus dalam hidup. Well, agak cringe sendiri karena gue nggak merasa perlu kayak gitu.

Waktu kecil, cita-cita jadi pilot. Udah gede, cita-cita berubah jadi seniman karena gue suka gambar. Tapi kenyataan membawa gue untuk bergelut di bidang kreatif dengan bangun usaha agency bareng temen kuliah, Tomo.

"Gue diminta untuk tinggal bareng sama nyokap, Zo," ucap Tomo setelah mengisap rokoknya.

Gue auto menoleh dan menatap Tomo kaget. 'Maksud lu?"

"Nyokap jual rumah yang di Bekasi dan beli rumah di area Pejaten," jawab Tomo sambil menekan puntung rokok di asbak, lalu mengangkat satu kaki ke kursi sambil melihat ke arah gue.

"Lu tuh laki, Bro! Masa tinggal bareng sama nyokap? Emang adek lu nggak bisa tinggal bareng sama nyokap lu?" tanya gue nggak habis pikir.

"Adek gue kan udah nikah, Bego! Dia ikut lakinya lah, maka dari itu, nyokap gue lebih milih buat jual rumah dan beli rumah deket ruko kita supaya gue bisa pulang tiap hari," jawab Tomo dengan nada malas.

"Terus gue tinggal sendirian di sini?" balas gue lagi.

"Eh, lu bisa bilang gue laki tapi kelakuan lu sendiri kayak bencong!" sahut Tomo judes.

"Gue bukan takut tinggal sendiri, Monyet! Kalau lu nggak tinggal di lantai atas, itu berarti nggak ada yang patungan sama gue buat bayar maintenance dong!" seru gue nggak terima.

Kampret banget si Tomo ngatain gue bencong, apa nggak liat modelan gue yang kayak cowok laris di pasaran gini?

"Yah mau gimana, Zo? Nyokap gue udah tua, mumpung gue masih bisa temenin, ya gue temenin. Lagian juga, maintenance lantai satu dan lantai dua tetep kita patungan karena itu biaya operasional dari agency. Lu tinggal di lantai atas kan buat pribadi, harusnya nggak masalah karena lu yang pake sendiri," ujar Tomo kemudian.

Sejak lulus kuliah, kami berdua sama-sama membuka agency karena jam kerja yang fleksibel tapi nggak punya tempat yang proper buat kerja. Kebanyakan gawe di kafe, yang cuma modal beli gelas seharga lima puluh ribu dan bisa pake tempat di pojokan dari pagi sampe sore buat ketemu varian klien.

Sampai akhirnya, usaha yang kami jalani cukup oke dan bisa menghasilkan pendapatan yang memampukan kami untuk membayar dua orang staff dan menyewa sebuah ruko tiga lantai di area Senayan.

Lantai satu khusus buat resepsionis dan ruang meeting, plus pantry buat nyeduh kopi atau bikin mi instan, sedangkan lantai dua adalah kantor. Di lantai tiga adalah tempat tinggal gue dan Tomo yang terdiri dari satu ruang tengah yang digabung sama dapur kecil dan meja makan, plus dua kamar tidur dengan ukuran yang sama.

"Kalau lu merasa keberatan, lu sewain aja kamar bekas gue. Kan lumayan banget duit sewanya buat isi token sama stok sembako," usul Tomo yang membuat mata gue melebar dan merasa itu adalah ide yang brilian.

"Boleh juga, tapi emang ada yang mau?" balas gue.

"Ya ada lah! Disini tuh area-nya udah paling strategis, deket perkantoran sama mall, pasti banyak yang mau, apalagi dedek-dedek gemesh yang baru mulai kerja. Lu pake sistim pembayarannya langsung setahun di muka biar nggak ada drama," tukas Tomo.

Dan ide Tomo itulah yang gue lakukan setelah dia keluar dari ruko untuk tinggal bareng sama nyokapnya. Gue memasarkan kamar Tomo lewat aplikasi, juga dari mulut ke mulut, dan sampailah pada satu orang yang berminat untuk menyewa kamar itu dengan sangat berani membayar lunas tanpa melihat kamar lebih dulu lewat seorang perantara yang adalah salah satu klien gue.

Syarat tentang sewa setahun langsung disetujui dan nggak membutuhkan perjanjian untuk temu muka guna sekedar lihat bentuk kamar. Tahu-tahu orang itu minta untuk segera pindah karena dia sudah siap. Kamar Tomo yang bau dan berantakan harus gue rapikan dengan bantuan cleaning service yang gue sewa untuk bersihin.

Tiba hari dimana penyewa itu datang dan gue kaget bukan main. Selama ini, kami transaksi lewat aplikasi whatsapp dengan nama kontak Demon dan tanpa foto profil disana. Bahasa yang digunakan lebih terkesan maskulin dan gue sama sekali nggak nyangka kalau ternyata Demon itu cewek.

Cewek dengan nama kontak Demon itu datang dengan hanya membawa satu koper seukuran kabin, lengkap dengan boneka bebek yang gedenya hampir seukuran badannya, dan ekspresi mukanya bete abis.

Tanpa melihat ke arah gue sekali pun, dia melihat sekeliling dengan penuh penilaian, lalu berjalan perlahan melewati ruang tengah, kemudian berdiri di ambang pintu kamarnya yang terbuka, melangkah masuk sambil menarik koper dan tetap memeluk bonekanya, dan langsung menutup pintu tanpa ngomong apa-apa.

Fak! Bedebah banget tuh cewek.


Sheliu akan update besok setelah gue.
Nantinya kyk gitu.
Jatah gue, maka gue yg update dulu, doi nyusul.
Qlo doi, gue yg samper buat ksh jatah sblm doi minta lol.

050223 (00.40)

Benching ChadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang