Chapter. 4

945 158 4
                                    

Written by. She_Liu

Sebenarnya aku nggak tahu apa yang Zozo bilang itu bener atau nggak karena aku nggak merasa kayak gitu. Kalau dia bilang aku nggak sopan dan kurang ajar, rasanya aku udah cukup sopan buat permisi. Tapi apa yang dia bilang itu menyakitkan hati. Dadaku sesak dan susah napas. Berniat untuk keluar rumah supaya nggak ada masalah serupa, tapi kenapa aku justru ketemu lagi sama orang yang dengan mudah menuduh dan mengira-ngira tentang aku padahal nggak kenal?

Papa dan Mama nggak pernah kasih tahu harus seperti apa dan bagaimana. Yang mereka suruh adalah aku harus jadi anak yang penurut, anak yang bersikap baik, dan nggak cari masalah. Seberapa besar aku mencoba dan berusaha untuk jadi orang yang mereka inginkan, tapi mereka semakin mencari celah dan salah.

Sehari aku pergi dari rumah, Galbert dan Garry mencoba mencariku dengan telepon dan chat bertubi-tubi. Aku nggak balas atau angkat telepon mereka. Aku nggak mau berhubungan dulu. Papa dan Mama sudah pasti menyuruh mereka tapi aku nggak peduli. Penghakiman mereka atas diriku sudah nggak mampu aku tahan lagi.

Di hari berikutnya, yaitu hari ini, aku mencoba menguatkan diri untuk bekerja. Baru lulus sekitar dua bulan, Om menawariku sebuah pekerjaan sebagai staff accounting di sebuah perusahaan travel milik teman baiknya. Aku baru bekerja sekitar satu bulan.

Aku keluar dari kamar jam tujuh pagi dan hanya ada lampu kecil yang menerangi di koridor lantai. Nggak ada Zozo, nggak ada siapapun juga di lantai dua, jadinya aku turun dan mendapati seorang bapak yang memakai seragam coklat, sepertinya dia itu satpam.

"Pagi, Dek," sapanya. "Adek siapa ya?"

"Saya yang sewa kamar di lantai tiga, Pak. Nama saya Rara, Bapak siapa?" balasku.

"Panggil Pak Bejo aja, Dek. Maaf saya baru tahu kalau udah ada yang sewa kamar Pak Tomo," sahutnya.

"Saya baru pindah semalam, Pak. Saya permisi dulu, harus berangkat kerja," pamitku sambil melewati Pak Bejo yang mempersilakanku untuk keluar dari area ruko.

Dengan menggunakan angkutan umum, aku menuju ke kantor meski sebenarnya agak waswas karena biasanya Papa atau Garry yang akan anterin aku kesana. Tidak sampai sejam, aku berhasil tiba di kantor tapi ada masalah. Kakak dan adikku, yaitu Galbert dan Garry udah nungguin di ruang tunggu kantor.

Mood aku yang berantakan, ditambah rasa capek karena naik angkot, aku jadi makin bete waktu ngeliat mereka berdua. Dengan enggan, aku melangkah untuk mencapai ruang tunggu, berusaha untuk melewati mereka tapi Om Rian datang menghampiri kami.

Om Rian adalah orang yang sangat ramah dan baik hati. Dia selalu menyapa dengan hangat kepada seluruh karyawannya dan membelikan makan siang di setiap hari Sabtu. Aku cukup kagum sama Om Rian yang rendah hati dan nggak pernah sok bossy meski dia adalah boss.

"Kamu sudah datang, Rara," sapa Om Rian dan aku mengangguk.

"Disini ada Galbert dan Garry nih. Mereka udah nungguin kamu daritadi. Yuk, ngobrol di dalam saja, jangan diluar kayak gini," ajak Om Rian kemudian.

Aku cuma bisa mendengus pelan sambil berjalan mengikuti Om Rian dan nggak kepengen melihat Galbert dan Garry yang mengikutiku di belakang. Om Rian membawa kami ke ruang meeting dan menutup pintu. Dia duduk di kursi utama, lalu aku duduk di sisi kanan, sementara dua saudaraku duduk di sisi kiri.

Aku merasa kedatangan mereka bener-bener nggak perlu. Selama aku diperlakukan nggak adil di rumah, mereka berdua selalu cuek dan nggak pernah ambil pusing. Aku pernah coba curhat sama mereka, tapi mereka selalu bilangnya aku terlalu perasa, aku nggak pernah belajar, dan aku selalu cari gara-gara.

Benching ChadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang