"Ami, suatu saat kamu mau punya anak yang pintar atau biasa saja?"
Aku nggak bisa mengabaikan pertanyaan yang kelewat absurd itu. Setelah meletakkan gelas beaker, kutatap Abinanda yang senyum-senyum padaku.
Aduh, cowok buaya ini kesambet apa? Tumben sekali dia nggak mengajak bertengkar atau beradu kecepatan mengerjakan soal.
"Jawab dong, jangan bengong."
"Emang penting banget dijawab? Itu kan privasiku, mau punya anak yang pintar atau biasa aja. Lagian, bukan urusanmu juga kok."
Buaya Abinanda malah cemberut dan mengikutiku berjalan ke ruangan siswa. Dia bertanya ulang.
"Serius, kamu mau punya anak yang pintar atau biasa aja juga nggak masalah?"
"Memangnya kenapa?"
"Jawab aja, kamu akan tau kenapanya setelah menjawab."
Aku mendengkus, dan Abinanda masih gigih menunggu jawabanku.
"Asal anakku dan suamiku, mau dia pintar atau enggak juga nggak masalah."
"Kamu calon ibu yang bijak deh."
"Tapi Aku prefer ngajarin anak Aku untuk jadi pribadi yang pintar sih."
"Kamu tau kan, 80% kecerdasan anak diturunkan dari ibunya?" Aku bergumam acuh, dan Abinanda meneruskan penjelasannya yang sebenarnya enggak perlu juga kudengarkan. "Kamu udah cerdas, pasti 80% anak kamu juga cerdas. Tapi ada kemungkinan 20% anak kamu nggak cerdas kalau bapaknya nggak cerdas. Makanya kamu harus cari bapak untuk anak kamu yang cerdas juga."
"Mau ngomong apa sih? Nggak penting banget deh dijelasin ini, Aku juga udah tau."
"Mau nikah sama aku aja enggak? Biar 100% anak kamu dan anak aku jadi anak pintar."
Aku hampir melongo saking kagetnya dengan ucapan buaya Abinanda. Apa dia bilang? Nikah?
Ugh... perutku tergelitik!
"Nikah sama buku!" Kataku sambil memukul kepalanya dengan buku paket Fisika. "Sinting kamu, Aku mau anak cerdas bukannya gila kayak kamu!"
"Tapi aku serius."
Aku mendengus kesal, lalu memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas untuk meninggalkan cowo sinting itu secepatnya. Suara Abinanda memanggilku masih terdengar beberapa kali, sampai aku menutup pintu laboratorium sedikit keras dan suaranya akhirnya hilang.
Aduh... Cowok sinting itu... apa yang dia lakukan padaku? Dia nembak aku, atau ngelamar sih? Bahkan dia masih pakai seragam, dan kami masih memikirkan strategi menjawab soal olimpiade yang rumitnya ngalahin rumitnya perasaan. Bisa-bisanya dia membuat candaan yang kelewatan.
Jantungku... jantungku mau copot. Aku bersandar di tembok dan memegangi dada sebelah kiri. Ugh... debarannya menyebalkan sekaligus menyenangkan. Sebenarnya, kakiku agak dingin dan gemetar.
Bagaimana ya menjelaskannya. Ini memang betul perasaan yang rumit yang kusimpan sendirian. Aku suka Abinanda, tapi aku nggak sudi jadi pacarnya dan kayaknya juga ogah jadi istrinya. Masalahnya dia itu playboy senior di sekolah ini.
Mantan pacarnya tersebar di mana-mana. Kalau pacaran itu semacam menebar benih, pasti sekarang sudah tumbuh di seluruh sisi sekolah.
"Ami, hey Ami..."
"Ya?!" Aku berjingkat saat bahuku disentuh. Oh... Nayla, gadis cantik yang suka mengagetkan.
"Kamu kenapa? Kerasukan?"
Aku menoleh ke belakang. Wajah Abinanda kelihatan di ujung lorong. Aku buru-buru menarik Nayla masuk ke dalam kelas yang kosong.
"Kenapa sih? Ketahuan kamu naksir Abin?"
"Enak aja kamu." Aku mekamutot padanya. "Dia ngajak Aku nikah."
"Hah?!"
Tuh kan, semua orang juga akan kaget meskipun sejak dua tahun lalu aku dan Abin suka dijodohkan-jodohkan karena keseringan bareng untuk belajar.
"Serius kamu?" tanya Nayla. "Terus nggak kamu terima?"
"Ya nggak mungkin lah aku terima. Kamu kira aku sinting."
"Tapi kan kamu naksir dia?"
Aku membuang napas. Aku memang naksir Abinanda. Aku naksir dia saat dia memperhatikan adiknya, saat dia melindungi anak perempuan dari pem-bully-an, saat dia menjawab soal dengan cara yang elegan dan cerdas, saat dia ... ah, pokoknya ada banyak kesempatan untuk naksir Abinanda.
"Tapi dia playboy," kataku kesal. "Dia sudah dimiliki banyak perempuan. Kamu kira aku mau sama barang bekas orang lain?"
"Oh, jadi kamu maunya sama cowok yang ekslusif buat Ami seorang." Seloroh Nayla.
"Nggak gitu juga," kataku, malas menanggapi. Aku manyun saat Nayla malah mengejek seleraku yang kelewat susah didapatkan.
Sialnya, Abinanda malah muncul di pintu dengan senyumnya yang garing. Aduh jantung, tolong kompromi untuk jadi cewek yang sangattt jual mahal. Jangan sampai tergoda sebesar apa pun godaan yang diberikan cowok buaya itu.
"Ami, kok masih di sini?" tanyanya, santai sekali.
Sial, padahal aku sudah kelewat grogi.
"Emang mau ke mana lagi?" tanyaku pura-pura acuh.
"Kita kan ada janji belajar di perpus hari ini. Di meeting room B, jam 10.15."
Ah, rencanaku tadi setelah dari lab adalah ke perpus. Aku menyambar tas lagi, lalu buru-buru pergi.
"Be good girl ya, Amiya!" seru Nayla menyebalkan. Aku mendengus kesal.
Di tengah perjalanan, Abinanda justru menyamai langkahku meski sudah berusaha kutinggalkan. Dia menoel bahuku, yang kubalas dengan mata melotot siap membunuhnya.
"Jadi, Aku ini barang seperti apa?" tanyanya.
"Barang apa? Maksud kamu, sejenis barang dapur atau peralatan rumah gitu?"
"Barang murah atau barang mahal? Diciptakan eksklusif atau untuk semua orang?"
Aku berhenti dan menatapnya dengan tatapan sehoror mungkin. Aduh, cowok ini nguping pembicaraanku dengan Nayla ya? Kok dia bertanya?
"Amiya, Aku simpulkan sendiri deh. Di mata kamu Aku ini barang thrift ya." Dia menghela napas kelihatan kecewa. "Padahal barang thrift itu bisa jadi barang yang sangat berharga lho. Tinggal penggunanya aja yang mau memperlakukan bagaimana."
Kelewat malu, aku berdecih menantangnya. Sudahlah, Ami, dia sudah terlanjur dengar, perjelas saja sekalian. Buat cowok buaya itu tenggelam ke kolam yang kamu ciptakan. Jangan biarkan hanya berenang.
"Tapi Aku nggak pernah beli barang thrift, Aku juga nggak minat pakai barang yang pernah dipakai orang lain."
"Omong-omong soal dipakai orang lain, aku masih perjaka lho. Satu-satunya yang pernah disentuh orang itu tanganku doang. Tapi sekarang aku rela kok, kalau kamu mau sentuh-sentuh yang lain."
Aku yakin nggak salah mengartikan ekspresi wajahnya yang mesum dan kelewat genit. Demi harga diriku yang setinggi monas, kutendang kakinya sampai dia menjerit keras.
"Gila kamu, Abin! Minggir dari hadapanku!"
"Aku juga serius soal itu," katanya masih ngeyel, meskipun wajahnya sudah meringis-ringis kesakitan. "Aku rela kehilangan perjaka demi kamu, Ami!"
"Abinanda brengsek, kamu mau diem atau aku colok pake pensil?!"
Akhirnya dia mundur dengan wajah cemberut. Namun, saat aku melangkah dia masih berusaha mengikuti.
"Liat aja, kamu yang bakal ambil perjaka aku, Ami."
Aku mengacungkan pensil dan dia langsung diam. Wajahnya semakin masam, tapi bahkan nggak menunjukkan penyesalan sama sekali.
~
Sejak kapan abinanda itu diam? Ah, dia nggak pernah bisa diam kok! Ayo temani perjalanannya dalam menemukan cinta sejati haha.

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Unite
ChickLitKetika Ami butuh pelarian, Abinanda muncul seperti pangeran. Sekarang, saat Ami butuh rumah baru untuk meninggalkan rumah lama, Abinanda menawarkan pernikahan. Ami Thalia--Amiya--tahu benar bahwa Abinanda adalah rajanya para buaya di masa SMA. Nam...