"Mau aku antar pulang?"
Ami menoleh pada sumber suara. Dilihatnya Abin yang sudah berhasil mengejarnya lagi setelah beberapa saat tertinggal. Dia jadi bernafsu memberi lelaki itu wejangan panjang dan menunjukkan sedikit emosinya lagi. Namun, apa artinya marah pagi-pagi pada Abinanda, karena lelaki itu hanya akan menganggapnya sebagai omelan tak berguna.
Maka, Ami menghela napas pelan, lalu menjawab pertanyaan Abin. "Aku bisa jalan kaki. Rumahku nggak jauh."
"Oke. Aku duluan kalau begitu, Ami." Abin berhenti tepat di pertigaan jalan. "Motorku ada di sana," katanya menunjuk parkir motor.
Ami tidak membalasnya berlebihan. Dia hanya mengangguk, lalu melanjutkan langkah dengan sesekali berlari kecil melewati trotoar. Dia baru tersadar akan sesuatu. Kenapa Abin harus jauh-jauh ke sini hanya untuk lari? Padahal rumahnya bukan di daerah sini.
Namun, sepertinya bukanlah Abin kalau dia tidak melakukan hal-hal random. Bahkan lelaki itu mengencani siswi dari sekolah di Bandung, dan pernah bolos sekolah hanya untuk menemui kekasihnya itu dan berkata bahwa mereka harus berakhir.
Cowok gila, batin Ami. Dia penasaran, siapa kah yang mengajarkan Abin untuk menjadi cowok playboy, karena Anindhya sama sekali berbeda.
Ami melanjutkan sisa perjalanan dengan balari-lari kecil. Dalam waktu sepuluh menit dia sudah memasuki area perumahan tempatnya tinggal selama ini. Ami berhenti di depan rumahnya saat mendengar suara cekcok dari dalam. Daripada masuk, dia memilih mundur dan duduk di pinggir halaman.
Suara kendaraan dari gerbang utama terdengar mendekat dengan laju memelan. Saat menoleh, Ami harus menghela napas lagi karena Abin adalah pelakunya. Cowok itu berhenti di depannya, memberinya senyuman lebar.
"Ini rumahmu kan? Kenapa nggak masuk?"
Lelaki itu sepertinya tidak butuh jawaban saat mendengar sesuatu telah pecah dari dalam rumahnya diikuti teriakan bersahut yang membuat Ami harus memejamkan mata demi menahan amarahnya sendiri. Saat membuka mata, yang Ami temukan adalah Abin. Dia tidak tahu harus mengatakan apa, dan hampir memilih masuk ke dalam sebelum Abin mendahuluinya berkata.
"Aku mau beli jajanan di luar perum ini. Mau ikut?" Seolah khawatir Ami berpikir yang tidak-tidak, Abin segera memberi penjelasan. "Akhir-akhir ini aku sering lewat sini. Mamaku dan Naya sering minta belikan bubur ayam di sana. Aku nggak ngikutin kamu."
Ami terdiam memikirkan tawaran Abin. Dibandingkan Abin yang hidup di keluarga cemara, Ami hidup di keluarga neraka. Abin satu-satunya orang yang mengetahui itu saat SMA, dan Ami terlalu malu untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang berubah dari keluarganya sampai sekarang.
***
"Wah, tempat ini belum banyak berubah."
Ami menatap setengah takjub pada sekelilingnya. Gerobak jajanan berjejer di pinggir trotoar dengan orang-orang yang berkerumun dan sebagian duduk-duduk beralas tikar.
"Berapa lama kamu nggak ke sini?" tanya Abin. Dia mengantongi kunci motornya dan menyapukan pandangannya ke berbagai jajanan.
"Terakhir waktu SMA."
"Aku mau takoyaki dan siomay. Kamu mau apa?"
"Aku mau empek-empek, siomay, dan bakso kuah. Minumnya mau es cincau?"
"Wah, makanmu masih tetap sebanyak dulu," gumam Abin mengabaikan pertanyaan Ami.
"Jadi anak pintar harus banyak makan tau!" Ami berjalan cepat menuju kerumunan orang yang mengelilingi gerobak es cincau. Di belakangnya, Abin berdiri dengan dua tangan masuk ke dalam kantong celana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Unite
ChickLitKetika Ami butuh pelarian, Abinanda muncul seperti pangeran. Sekarang, saat Ami butuh rumah baru untuk meninggalkan rumah lama, Abinanda menawarkan pernikahan. Ami Thalia--Amiya--tahu benar bahwa Abinanda adalah rajanya para buaya di masa SMA. Nam...