Bab 2-b

567 110 8
                                    

Ami heran sendiri kenapa dia sangat menyukai seorang pengantin. Melihat wanita di balut wedding dress yang menyilaukan mata, diperlakukan layaknya seorang princess, memakai mahkota dan sepatu kaca, digandeng oleh seorang pangeran. Dia senang melihat sepasang pengantin di pelaminan yang banyak senyum meskipun sudah menjalani hari yang padat seharian.

Meskipun pernikahan sendiri tidak selalu membawa kebahagiaan, tetapi di hari pernikahan sebagian pengantin kelihatan bahagia. Tidak tahu apa yang ada di hati dan pikirannya, yang Ami lihat adalah senyumnya yang menawan.

"Banyak teman seusia kita yang menikah, kamu nggak mau nyusul?"

Ami mengedikkan bahunya mendengar suara Abin di antara suara musik yang mengalun.

"Kita akan menikah saat sudah waktunya, Abin. Jangan terlalu buru-buru."

"Kamu optimis juga. Menarik."

Ami terkekeh kecil. Dia masih belum bisa memalingkan pandangannya dari Nayla dan Rangga yang sedang menyalami banyak orang, dan beberapa kali harua berfoto dengan tamu-tamunya. Ami sudah mendapatkan jatah fotonya tadi tidak lama setelah tiba di sini bersama teman SMA-nya yang lain.

"Kalau menikah kamu mau suasana yang seperti apa?"

Dia tidak berkedip beberapa saat menatap cup es krim vanila yang disodorkan Abin. Lelaki itu memagang satu cup lainnya di tangan kiri untuk dirinya sendiri. Mau tak mau senyumnya tetap terukir saat menerima es krim itu, lalu menjawab pertanyaan Abin sambil berpikir santai.

"Mauku... sederhana aja. Dihadiri keluarga inti, cukup acara inti juga, outdoor, playlist lagu romantis, menikah dengan orang yang aku cintai."

"Kamu masih serealistis dulu."

"Hidupmu akan hancur oleh ekspektasi kalau nggak mampu realistis."

"Kutipan dari Ami Thalia sepertinya harus aku ingat sepanjang hidup."

Ami memejamkan mata sejenak menikmati rasa es krim yang lumer di mulutnya. Sepertinya dia harus bertanya kepada Nayla es krim mana yang ada di sini karena rasanya sangat pas di lidahnya.

"Mau nyamperin mereka?" tanya Abin menunjuk sekumpulan orang yang sedang duduk di meja melingkar.

Belum sempat menjawab, salah satu perempuan yang duduk di sana melambaikan tangan dengan senyuman lebar. Abin menggandeng tangannya tanpa meminta persetujuannya lagi dan Ami tidak diberi pilihan menolak.

"Aku lupa nama mereka," bisiknya pelan. "Kamu masih ingat?"

"Cukup ingat namaku, jangan ingat nama orang lain."

Ami tertawa pelan. Dia memindahkan es krimnya ke tangan kiri dan menjabat tangan teman-temannya satu per satu, lalu duduk di salah satu kursi yang masih kosong berdampingan dengan Abin.

"Habis putus langsung gandengan sama orang lama nih?" tanya salah satu dari mereka, seorang perempuan dengan rambut tergerai sepunggung dan dress merah selutut.

"Kita ketemu di pintu masuk," jawab Ami cepat-cepat sebelum keduluan Abin. Namun, lelaki itu malah menambahkan dengan telak.

"Maksudnya pintu masuk rumahnya."

Suara gelak tawa terdengar cukup keras. Ami merasakan pipinya menghangat dan senyumnya muncul malu-malu mendengar mereka mentatakan 'cieee' serempak.

"Sumpah Abin nggak berubah banget ya, masih doyan nggombalin cewek," timpal perempuan yang bertanya tadi.

Bukannya malu, Abin malah semangat menanggapi. "Mana Ami nggak baper-baper lagi."

Ami yang kesal dengan tingkah lelaki itu memberanikan diri menyikut lengannya sambil melirik garang.

Re-UniteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang