Bab 1-b

1K 154 13
                                    

Ami tidak mengerti dengan apa yang terjadi di hidupnya baru-baru ini. Bosnya yang paling dia sayangi sepanjang pengalamannya bekerja mengundurkan diri. Maka, dia pun memilih mengundurkan diri sebagai sekretaris dan menikmati waktu sebagai pengangguran.

Lalu, ibunya malah membawa laki-laki masuk ke dalam rumah sampai menginap. Pak RT menegur ke rumahnya langsung, menuntut sebuah pernikahan antara ibunya dengan lelaki itu. Tapi ibunya yang keras kepala ngotot bahwa tidak terjadi apa pun di antara mereka. Ami yang menanggung malu dengan warga sekitar.

Isi kepalanya yang masih panas belum mendingin, seorang dari masa lalu mulai mengusiknya. Abinanda Ghifari Budiman datang ke hidupnya dan menjahilinya seperti zaman sekolah dulu. Memperlakukan Ami sama seperti gadis yang katanya menggemaskan dan lucu, seolah-olah Ami masih anak SMA.

Untuk hal paling akhir itu, Ami hanya bisa mengelus dada dan melebarkan rasa sabar. Meskipun sudah lama sekali tidak bertemu, tetapi dia masih mengingat bagaimana perilaku Abinanda yang menyebalkan. Semakin ditanggapi akan semakin menjadi.

Kenapa juga dia harus bertemu Abin di lapangan begini?

"Masih nganggur? Butuh kerjaan? Butuh bantuanku untuk dapat kerja?" tanya Abinanda dengan gayanya yang cerewet itu.

Ami memutar bola mata. Botol air mineral yang seluruh isinya baru saja dia habiskan dilemparkan ke tempat sampah di ujung jalan. Plung! Tepat sekali ke lubangnya. Kemampuannya dalam bermain basket pasti belum pudar.

"Apa aku kelihatan butuh bantuan?" tanya Ami congkak.

"Mau kerja di kantorku?" Abinanda nyengir lebar. "Bukan kantor seperti milik Bang Nevan sih, tapi ya aku butuh orang."

Ami melipat kedua tangannya di ddpan dada. "Aku lagi senang-senangnya jadi pengangguran."

"Kamu banyak berubah juga ya."

Ami menaikkan alisnya mendengar pendapat itu. Menurutnya wajar seseorang banyak berubah setelah bertahun-tahun. Yang tidak wajar adalah Abinanda yang masih saja tidak berubah: tetap saja nyebelin dan jahil. Ami sampai heran kenapa dulu dia sangat menyukai Abin, meski menolak lelaki itu mentah-mentah saat diminta jadi pacarnya. Mana sudi dia menjadi pacar seorang playboy cap kadal yang mantannya ada di setiap sudut penjuru sekolah, dari kakak kelas dua tingkat di atasnya sampai adik kelas dua tingkat di bawahnya. Tidak tahu kalau nambah-nambah.

"Ami, kamu punya pacar?"

Untuk satu pertanyaan itu, Ami langsung memberinya lirikan sinis.

"Kenapa? Aku nggak mau jadi pacarmu, tau!"

"Heyyyh!" Abinanda terkekeh-kekeh, lucu sekali Ami ini. "Aku mau ajak kamu datang ke acara nikannya Nayla. Kalau kamu punya pacar ya nggak jadi, tapi kalau kamu nggak punya siapa tau mau mempertimbangkan datang bareng aku."

Udara di sekitar Ami agak menghangat. Kepalang malu, dia menyahut masih dengan nada pongah.

"Pokoknya apa pun itu deh, aku nggak mau sama kamu." Ami mendengkus, jengkel. "Memangnya kamu nggak punya pasangan? Bukannya stok cewek yang bisa kamu gandeng nggak ada habisnya?"

"Aku belakangan jadi cowok setia lho, Ami. Tapi sekarang sih udah putus. Makanya aku ajakin kamu, kalau mau."

Berita Abinanda yang digosipkan akan segera menikah dengan perempuan bernama Aceline Luvena memang sampai di telinga Ami. Kata-katanya, mereka sudah pacaran bertahun-tahun, dari zaman kuliah sampai baru-baru ini. Namun berita itu cepat hilang dan berganti dengan berita Abinanda putus dengan pacarnya.

Bos Ami sendiri yang memberitakan itu. Kata Nevan Cakra, "Abin putus lho Mi sama Ace. Mau taruhan enggak dia akhirnya bakalan nikah sama siapa?"

"Pak Cakra masih percaya ramalan zaman SMA?"

Re-UniteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang