Ami masih memakai sepatu saat sebuah mobil berhenti di depan rumahnya yang sepi. Lelaki dengan setelan batik dan celana bahan hitam itu turun dari kendaraan dan menghampirinya yang sedikit kesulitan mengancingkan sepatu sebelah kiri.
"Butuh bantuan?"
"Selesai!" Ami tersenyum sumringah, lalu menepuk kedua telapak tangannya. Dia mengambil tas tangan di meja yang warnanya senada dengan gaunnya dan juga senada dengan warna batik Abin: navy. "Mau langsung berangkat?"
"Sepertinya aku mau mengagumi betapa cantiknya wajah di depanku dulu."
Mendengar itu, Ami tidak bisa merasa tersanjung apa lagi sampai tersipu-sipu. Sebaliknya, dia mendorong bahu Abin yang lebih tinggi darinya untuk segera meninggalkan halaman rumah sebelum ibunya tiba dengan lelaki entah siapa itu.
Akhirnya ya, setelah diskusi yang singkat dengan Abin melalui pesan WhatsApp, dia menyetujui untuk pergi bareng ke pernikahan Nayla. Selanjutnya bisa ditebak, Abin bertanya soal warna baju apa yang akan dipakai Ami dan jam berapa mereka akan berangkat. Ami, katanya, hanya perlu berdandan dan menunggu di rumah. Abin akan menjemputnya lalu mengantarnya pulang, sebab lelaki memang harus bertanggung jawab untuk itu.
"Berala lama kamu dandan seperti itu?" tanya Abin di perjalanan.
Ami melihat wajahnya di kaca depan, menoleh ke kanan kiri memastikan nggak ada bagian mana pun yang ngecrack.
"Lama, sekitar satu setengah jam belum termasuk mandi dan ganti pakaian." Ami melirik lelaki ifu sekilas. "Kenapa memangnya? Ini kelihatan berlebihan."
"Nggak terbiasa aja lihat wajahmu begitu. Kelihatan tebal dan nggak nyaman."
"Kelihatan ketebalan? Harus aku perbaiki?"
"Jangan!" Abin menggunakan tangannya untuk mengode agar Ami nggak melakukan apa pun di wajahnya. Demi apa pun, Abin tahu betapa perempuan sangat ribet hanya perkara alisnya yang nggak sama atau blush on-nya yang kemerahan. Makanya dia berkata kalem. "Itu bagus, kamu kelihatan nyaman."
"Katanya ketebalan. Nanti kamu malu bareng aku."
"Kenapa harus malu?"
"Ya karena aku nggak jadi cantik."
"Kayaknya di awal tadi aku udah bilang kalau kamu cantik." Abin tersenyum lebar masih menatap jalanan. "Ami, mau jadi pacarku aja?"
"Sinting!" balas Ami seketika.
Abin meliriknya sekilas sebelum menatap jalanan lagi dan berkata, "Aku ganteng kamu cantik. Kita sama-sama pintar. Bayangkan anak seperti apa yang akan kita miliki nanti."
"Jangan bercanda begitu. Kita sudah dewasa bukan anak SMA lagi."
"Bagaimana kalau serius?"
"Kalau serius, maka aku tolak."
"Ada alasan lain selain karena aku playboy?"
"Karena kamu belum move on."
Abin menarik napas panjang dan melepaskannya. Dia belum move on, itu kah yang ada di pikiran Ami? Kisah cintanya yang terakhir memang berkesan, hubungan tujuh tahun bersama perempuan yang keren. Orang-orang akan berpikir bahwa dia mungkin nggak bisa move on dalam waktu lama, atau sedikitnya setahun. Namun, apa artinya mlove on untuk seorang lelaki seperti Abin, yang jelas-jelas akan menolak jika mantannya datang dan meminta balikan.
"Bagaimana kalau sudah?" tanya Abin setelah berpikir cukup lama.
"Nggak mungkin sudah," jawab Ami. Dia tersenyum lebar sehingga terbentuk kerutan di sudut bibirnya. "Aku nggak mau berhubungan sama orang yang masih jatuh cinta setengah mati sama mantannya tau!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Unite
ChickLitKetika Ami butuh pelarian, Abinanda muncul seperti pangeran. Sekarang, saat Ami butuh rumah baru untuk meninggalkan rumah lama, Abinanda menawarkan pernikahan. Ami Thalia--Amiya--tahu benar bahwa Abinanda adalah rajanya para buaya di masa SMA. Nam...