Ami harus merasa malu dan berterima kasih, sebab lelaki itu yang dia hindari justru memberinya ruang untuk bersedih yang cukup. Lelaki itu menghidangkan teh hangat dan sekotak biskuit diambil dari dalam kulkas yang ada di luar ruangannya.
Sebagai kantor, ruangan ini terlalu spesial. Ami sudah mengira bahwa usaha otomotif hanya akan dipenuhi oleh oli dan baut. Namun Abin punya kantor yang cukup keren. Di luar ruangan ini ada dapur kecil dan mesin kopi instan, juga microwave dan kulkas. Ruangan Abin terpisah sendiri, dilengkapi dengan kasur dan meja kerja, serta sofa penerima tamu. Ada juga lemari ukuran standar dan beberapa pasang sepatu di sampingnya.
Makanya Ami sebut ini spesial. Dia mengusap air matanya setelah mengamati seisi ruangan.
"Ini lebih kayak kamar."
"Memang biasa aku pakai istirahat."
"Sering nggak pulang?"
"Jarang." Mamanya akan meneleponnya sepanjang hari kalau Abin nggak pulang. Makanya dia selalu menyempatkan waktu untuk pulang.
Ami menyeruput teh buatan Abin dan kembali menatapnya.
"Berapa lama kamu tadi di depan rumahku?"
"Aku baru sampai."
"Kamu dengar?"
Abin terdiam sesaat, lalu menjawab pelan. "Sedikit. Pas kamu nangis."
Ami tertawa hambar. Begitulah keluarganya. Begitulah antara dia dan ibunya. Dia malu, tetapi Abin sudah mengetahui fakta ini sejak mereka masih SMA. Ami hanya malu sebab keluarganya sama sekali tidak berubah dan keadaannya tetap sama.
"Mobilku dipinjam pacar barunya. Tapi sekarang orangnya nggak bisa dihubungi sama sekali. Nomor ibuku diblokir dan waktu aku telepon, nomorku juga diblokir."
"Kenapa kamu nggak pisah rumah sama ibumu?"
"Nggak bisa. Dia selalu ngancam mau bunuh diri. Aku pernah nekat cari kontrakan sendiri dan akhirnya dia bener-bener masuk rumah sakit." Ami menarik napas panjang merasakan matanya kembali memanas. "Kadang aku mikir kapan dia matinya karena aku udah capek hidup kayak gini."
Ami meletakkan cangkir tehnya lalu menutup wajahnya yang kembali berlinang air mata dengan tangan.
"Jangam bilang aku durhaka. Aku tau aku salah," katanya dengan suara tergagap.
Abin menatap wanita itu dengan iba. Ami termasuk anak yang tidak mudah kelihatan bersedih dan menangis. Dia selalu memberi gambaran bahwa dia kuat, dia mandiri, dia bisa mengatasi semua masalahnya sendiri.
Mungkin hanya Abin yang tahu bahwa dia juga seperti manusia lainnya. Dia bisa menangis tersedu-sedu semalam suntuk, seperti sekarang ini.
Abin hanya menepuk punggungnya pelan, sebab memberinya pelukan kurang memungkinkan.
"Bertahan sampai sekarang aja udah bagus, Ami. Kamu nggak bunuh diri sampai sekarang aja udah hebat. Jangan menyiksa dirimu dengan kata-kata durhaka karena kamu udah kebanyakan menderita cuma buat menghindari kata itu."
Bukannya berhenti, Ami malah semakin keras menangis. Kenapa harus Abin yang mengatakannya. Kenapa harus lelaki yang sangat dia hindari yang memahami perasaannya. Kenapa harus lelaki ini yang mengusap punggungnya dan menenangkannya.
"Rasa sakit hati yang paling susah diakui anak memang kepada orang tua. Mengakui sakit hati mereka dianggap durhaka. Padahal orang tua juga manusia yang bisa berbuat salah dan anak juga punya hati." Amin menyentuh kepala Ami dan melanjutkan. "Nangislah sepuas kamu. Pasti berat menjalani hidup ini sampai sekarang."
Ami betul-betul mengeluarkan semua air matanya dengan suara yang cukup kencang. Sudah lama dia mengutuk kehidupannya. Sejak ayahnya pergi dan ibunya berkali-kali ganti lelaki, hidupnya sudah berubah menjadi seperti neraka.
Dia menangis cukup lama, sampai dadanya terasa lega dan air matanya mulai mengering. Saat tersadar, waktu sudah hampir pukul dua belas. Dia cepat mengusap air matanya.
"Maaf ganggu waktu kamu. Kamu pasti harus pulang."
"Istirahat di sini aja. Besok pagi aku antar pulang."
"Nggak usah. Aku udah cukup kok."
"Memang kalau di rumah bisa istirahat?"
Ami terdiam, lalu menggeleng. "Ibuku bakalan terjaga sampai pagi. Dia tidur waktu siang."
"Jadi istirahat di sini aja." Abin mengedik pada ranjang tak jauh dari mereka. "Selalu aku bersihkan. Kalau nggak percaya, ada sprei lain di lemari."
Melihat cewek itu terdiam, dia berkata lagi. "Pasti capek dan ngantuk habis nangis. Aku tau rasanya karena aku pernah nangis."
"Karena apa kamu nangis?"
"Karena kangen Naya," jawabnya jujur. "Waktu aku coba kuliah di luar negeri tapi ternyata aku nggak bisa jauh-jauh dari dia. Perutku sakit banget waktu itu, pasti Naya lagi stress dan haidnya nggak lancar. Akhirnya aku yang kesakitan dan aku nangis beberapa malam. Tapi aku nggak bisa bilang ke mama atau papa. Habis itu aku capek dan tidur."
Ami tersenyum. "Kamu masih sakit waktu Naya haid."
"Sampai sekarang belum berubah."
Ami diam lagi. Dia tidak punya cukup tenaga untuk merasa iri.
"Tidur aja, Mi. Aku nggak akan apa-apain kamu, kalau itu yang kamu khawatirkan. Aku bakalan tidur di luar atau di sofa ini kalau diizinkan."
Alih-alih ke kasur, Ami memilih merebahkan punggungnya ke sandaran sofa, menyandarkan kepalanya ke pundak Abin.
"Kenapa seseorang harus punya anak kalau nggak bisa jadi orang tua, Bin." Ami membuang napasnya berat. "Ibuku selalu bilang apa yang aku kasih selama ini nggak pernah cukup buat membalas sakitnya dia waktu melahirkan. Aku menyesali karena lahir dari orang seperti dia."
Ami merasa kepalanya sedikit pening dan matanya berkunang-kunang, tetapi bibirnya masih bicara.
"Aku takut masih membenci dia bahkan sampai dia mati. Aku takut membenci dia sampai mati."
"Kamu sayang ibumu?"
"Enggak. Aku benci ibuku. Aku bosan hidup dengan ibuku tapi aku nggak bisa pergi."
"Bagaimana kalau menikah?" Abin menatap perempuan yang menyandar di pundaknya itu serius. "Kalau menikah, kamu bisa tinggal terpisah dari ibumu?"
"Kasihan laki-laki yang akan jadi suamiku. Dia akan menghabiskan waktunya untuk jadi korban ibuku. Dia akan dimintai duit terus-terusan."
"Itu bukan jawabannya."
"Aku nggak tau."
Abin tersenyum membayangkan betapa menderitanya perasaan Ami. Ini bukan persoalan mobil yang mungkin hilang, atau uang yang habis. Ini persoalan kewarasan jiwanya.
"Berapa gajimu sebulan? Sampai tiga digit?" tanyanya setelah berpikir. Namun perempuan itu malah tertawa.
"Jangan ngejek mentang-mentang penghasilanmu tiga digit sebulan."
"Itu juga bukan jawabannya."
"Nggak sampai. Bahkan nggak sampai seperlimanya. Kenapa kamu tanya? Kamu juga mau tau ke mana perginya uang sebanyak itu?" Ami mendengkus sebelum melanjutkan dengan kesal. "Ibuku menghabiskan paling sedikit lima juta per bulan. Aku harus hemat dan menyembunyikan buku tabungan. Aku nggak pakai credit card soalnya ibuku bisa pakai semaunya."
"Aku juga nggak mau tau soal itu. Tapi aku senang kamu cerita."
Ami memejamkan matanya. Lama sekali dia tidak bicara pun dengan Abin. Perlahan-lahan kesadarannya terasa menghilang, dan tubuhnya terasa melayang. Lalu, tak lama setelah itu Ami betul-betul kehilangan kesadaran.
Tbc...
Wednesday, June 19, 2024.
Vote and comment, cintahhh 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Re-Unite
ChickLitKetika Ami butuh pelarian, Abinanda muncul seperti pangeran. Sekarang, saat Ami butuh rumah baru untuk meninggalkan rumah lama, Abinanda menawarkan pernikahan. Ami Thalia--Amiya--tahu benar bahwa Abinanda adalah rajanya para buaya di masa SMA. Nam...