Malu - malu meong

241 30 5
                                    

Perlahan aku membuka mata, denyutan nyeri di kepala masih aku rasakan, namun tak sesakit tadi. Saat ini aku berada di ruangan bercat serba putih, sudah bisa di pastikan jika saat ini aku berada di rumah sakit, entah siapa yang membawaku. Tunggu, seingatku tadi ada seseorang yang memanggil namaku, apa dia yang membawaku ke rumah sakit? Tapi siapa? Aku mengedarkan pandangan di setiap sudut ruangan, tak ada siapa - siapa, di sini hanya ada aku seorang diri.

Ceklek

Pintu kamar rawat inapku ada yang membuka dan betapa terkejutnya aku saat melihat sosok yang berjalan masuk ke ruangan dan mendekatiku dengan tatapan yang sulit di tebak, sumpah detak jantungku mulai tak beraturan, aku benar - benar takut dengan tatapan matanya.

"Ma ... maaf." Kataku lirih, aku tau pasti akan di marahi habis - habisan, sebelum di marahi alangkah baiknya aku meminta maaf terlebih dahulu.

"Mana yang masih sakit?"

Aku langsung menatap mas Andi, ya mas Andi yang masuk ke ruang rawat inapku, itu berarti suara bariton tadi benar milik mas Andi, aku tidak salah dengar.

Hey, apa katanya barusan? Dia tanya mana yang masih terasa sakit? Apa tidak salah? Sungguh rasanya aku ingin menjawab jika hatiku yang sakit. Luka di tubuhku saat ini tak ada apa - apanya di bandingkan dengan rasa sakit di hatiku karena kecewa. Bagaimana aku tidak kecewa, di foto yang Lesya kirim terlihat jelas jika mas Andi memeluk seorang wanita, bolehkan jika aku kecewa karena mas Andi bisa bersikap manis dengan wanita lain, tapi tidak denganku, rasanya seperti tertusuk ribuan anak panah yang tepat mengenai dadaku, benar - benar menyakitkan.

"Apa kepalamu masih sakit?" Lagi, mas Andi bertanya padaku, meski pertanyaan yang tadi belum aku jawab, "Andriana, apa kecelakaan tadi membuat telingamu tuli?"

"Bisa tinggalkan aku sendirian mas? Aku ingin sendiri." Kataku, tanpa menjawab pertanyaannya.

"Apa aku telah melakukan kesalahan?" Tanya mas Andi lagi, aku hanya menggeleng memberikan jawaban, "Lalu?"

"Aku ingin istirahat mas."

"Istirahatlah, aku akan tetap di sini."

"Mas."

"Kamu tanggungjawabku Andriana, suka atau tidak aku akan tetap di sini menemanimu, ingat perkataanku tadi pagi, jangan buat aku bersalah di depan keluargamu."

Aarrrgghhh, kenapa sih dengan mas Andi, kadang manis, kadang menyebalkan, ya ampun dia benar - benar membuat aku pusing tujuh keliling dengan segala perilakunya, ingin sekali aku mengatakan jika aku seperti ini juga karena ulahnya, tapi percuma dan aku yakin dia akan membantahnya, aku akan menanyakan semua itu nanti, saat semua bukti dan juga identitas wanita itu sudah aku ketahui, untuk saat ini aku harus menahan diri.

"Terserah." Kataku, sambil menarik selimut menutupi seluruh tubuhku, biarlah aku terlihat kekanakan daripada aku makin kesal melihat wajah mas Andi yang sekan tak berdosa, untung aku cinta mas, kalau nggak sudah pasti aku akan menendangmu ke lautan.

Ceklek

"Andi, bagaimana keadaan Andriana?" Suara pintu terbuka, berbarengan dengan suara mamah yang terdengar dan aku yakin pasti ada papah juga.

"Kata dokter yang memeriksa nggak papa mah, hanya syok saja, lukanya juga Alhamdulillah aman, tidak ada yang serius."

"Alhamdulillah, mana anaknya?"

"........"

"Andriana!" Tarikan pada selimutku, membuat wajah mamah terlihat jelas, tepat di depanku, "Kenapa di tutup selimut?"

Aku langsung nyengir, jurus andalan jika ibu negara terlihat sudah menggebu seakan ingin menelanku bulat - bulat, "Mamah." Rengekku, sambil merentangkan kedua tangan, meminta mamah memelukku, tapi ...

Plak

"Au, sakit mah, kenapa Nana di pukul!" Teriakku, karena bukannya memenuhi permintaanku untuk di peluk, mamah justru memukul tanganku, benar - benar ibu kowad satu ini, tak punya perasaan sama sekali, padahal anaknya sedang sakit, masih saja jiwa prajuritnya keluar.

"Berapakali mamah bilang Andriana, jangan nyetir mobil sendiri, kamu belum bisa mengontrol diri setiap kali mengemudi, tapi kamu bandel ya, coba kalau suamimu tidak cepat datang, bisa - bisa jadi remahan peyek dihajar warga karena kecerobohan kamu itu!"

"Mamah, ngeri amat remahan peyek, masa anak mamah yang cantik ini di samakan sama peyek, jahat banget."

"Protes mulu kerjaanmu, untung saja suamimu sabar kaya papah, coba kalau nggak sabar, pasti sudah di jitak bolak balik kamu."

"Iya iya menantu kesayangan, di puji mulu, rasa - rasanya Nana yang jadi menantu, bukan anak mamah." Gerutuku sambil melirik mas Andi, gerutuan yang justru membuat mas Andi tersenyum, ya dia tersenyum hanya karena mendengar aku dan mamah yang ribut nggak jelas.

Mas Andi tersenyum bahagia karena aku diomelin mamah atau justru karena faktor lainnya? Sungguh, suamiku ini penuh misteri, entah kapan aku bisa menjadi pemecah misterinya.

"Pah, sepertinya mereka berdua butuh waktu liburan berdua, biar kita segera nimang cucu." Kata mamah tiba - tiba, membuatku langsung cengo. Tunggu dulu, apa tadi? Cucu? Apa telingaku nggak salah dengar? Mamah mau minta cucu dari aku dan mas Andi? Oh ya ampun, bagaimana mau jadi cucu, jika adonan untuk membuatnya juga belum pernah bisa di satukan, aih mamah ngadi - ngadi saja, memangnya ini zaman pewayangan apa ya, nggak perlu kontak fisik bisa langsung bunting? Kalaupun bayi tabung, tetap saja butuh donatur agar benihnya bisa membuahi sel telurku.

Lah ini, donaturnya saja masih anteng nggak ada niatan memberi, bagaimana mau jadi? Ah mamah, bikin pikiranku mendadak traveling kemana - mana, membayangkan saat mas Andi mendonorkan benih terbaiknya. Andai saja mamah tau, anak gadisnya yang berstatus istri orang ini, pada kenyataannya masih benar - benar gadis, belum pernah buka segel sama sekali, ya ampun pastilah mamah bakal syok berat.

"Ide yang bagus mah, Andi ambil cuti tahunanmu, papah akan siapkan tempat honeymoon terbaik untuk kalian atau kalian berdua sudah ada planning ingin kemana?"

Apa - apaan papah, kenapa ikut - ikutan istrinya membicarakan honeymoon, buat apa jauh - jauh honeymoon kalau ujungnya tidur sendiri - sendiri, mending juga di rumah. Honeymoon itu untuk pasangan sehat yang benar - benar ingin menghabiskan waktunya berduaan, lah aku sama mas Andi bukan pasangan sehat, kami ini pasangan yang sulit dijelaskan dengan kata - kata.

"Nggak..."

"Siap pah, Andi segera urus cuti tahunan Andi, untuk destinasinya Andi serahkan pada Andriana, biar istri Andi yang memilih." Jawab mas Andi berbarengan dengan aku yang menjawab papah.

Hey, maksudnya apa itu? Kenapa mas Andi memberi jawaban seperti itu? Apa mas Andi siap menanam saham padaku, agar mertua yang begitu menyayanginya bisa cepat nimang cucu? Aih, kenapa pipiku terasa panas mendengar jawaban mas Andi, rasanya ingin loncat - loncat karena aku bahagia. Ya ampun, jangan - jangan saat ini pipiku sudah blushing, ah kenapa jadi lebay gini sih aku.

"Kenapa senyum - senyum kek gitu?" Kata mamah tiba - tiba, membuyarkan semua yang sudah berputar dikepalaku, ih gemas sekali sama mamah, kenapa juga harus tanya kaya gitu? Apa nggak ada pertanyaan biasa saja yang nggak bikin harga diriku jatuh di depan mas Andi? Aku melirik mas Andi dan tuuuhh kan benar, dia tersenyum penuh kemenangan karena mamah berhasil membuatku mati kutu.

"Apaan sih mah, siapa juga yang senyam senyum, orang Nana lagi nahan sakit." Kataku sambil memijat kaki yang sebenarnya nggak sakit.

"Yang luka jidat kamu ka, bukan kaki." Aih mamah kenapa makin membuatku mati kutu.

"Mamah apaan sih!" Kataku, langsung menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku karena malu.

"Cieeee ada yang malu - malu meong." Goda mamah lagi

.
.
.
💕💕💕
Terima kasih
Yang sudah memberi Votement
😊😘
.
.
Bagaimana part kali ini?
.
.
Jika suka karyaku jangan lupa tambhkan ke library + follow my Acc
🥰💞

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 18, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AndrianaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang