Part 30

7.9K 486 27
                                    

"Fay, dipanggil pak Bagas," ujar Bela rekan satu divisi, yang baru bekerja lima bulan belakangan ini.

"Iya," jawabku langsung berdiri sebelum mendapat amukkan pak Bagas.

Saat akan mengetuk pintu, tiba-tiba pintu terbuka dengan kasar, ternyata Melisa pelakunya. Gadis itu menatapku dengan wajah sembab, seperti habis menangis, tidak mungkin kan pak Bagas memarahinya, semua orang juga tahu Melisa itu staf kesayangannya pak Bagas, hanya beberapa detik mata kami bertemu, sebelum Melisa melesat pergi.

"Bapak memanggil saya?" Tanyaku sopan.

"Selesaikan laporan ini, besok pagi sudah harus ada di meja pak Axel," ujar pak Bagas sambil menyodorkan setumpuk berkas padaku, aku menghela napas lelah.

Sial. Heran sama si botak! Dia punya otak tidak sih? Seharusnya dia tahu kalau aku juga punya pekerjaan yang harus selesai sore ini. Apa dia akan memintaku lembur, ohh tidak! Hari ini aku tidak punya semangat untuk lembur.

Tubuhku sedang tidak berada dalam stamina yang prima untuk bekerja, kisah cinta sialan yang membelengguku, membuatku  tidak bisa berpikir jernih dalam hal apapun. Bayangan kemesraan Revan dan Carisa terus saja merajamku.

"Maaf pak, saya masih merekap pengeluaran bulan ini, yang harus selesai sore ini."

Mata pak Bagas nyalang tajam,"Siapa yang peduli, aku tidak mau tahu, besok pagi semua laporan ini harus selesai."

Aku tidak bisa menahan kekesalanku. Ini bukan pertama kalinya pak Bagas bersikap semena-mena, sebagai atasan seharusnya dia tahu, bahwa semua bawahannya sudah mempunyai tugas  tupoksi masing-masing.  Oke, tidak masalah jika dalam rekan satu divisi saling membantu. Tapi  masalahnya saat ini aku juga mempunyai segudang pekerjaan yang harus segera selesai.

Entah keberanian darimana, aku yang biasanya patuh, kini mencoba menolak.

"Maaf Pak, saya tidak bisa, bukankah kita sudah mempunyai pekerjaan masing-masing. Melisa seharusnya belajar menyelesaikan pekerjaannya sendiri."

Pak Bagas tersenyum menakutkan, dengan langkah lebarnya, ia menghampiriku, tanpa kuduga ia melayangkan sebuah tamparan yang cukup keras padaku, hingga tubuhku terhuyung. Diseperkian detik, aku merasa pandanganku berkunang-kunang. Sial. Aku berusaha berdiri tegak, dan tetap pada pendirianku untuk tetap menolak perintahnya.

Ini pertama kalinya, aku memperoleh kekerasan fisik selama bertahun-tahun bekerja di perusahaan ini. Biasanya pak Bagas hanya melontarkan kata-kata pedasnya. Kali ini tindakannya cukup keterlaluan, tapi tidak apa, aku masih bisa berdiri tegak untuk meninggalkan ruangan  ini, meski pipiku terasa panas dan berdenyut nyeri.

"Kamu siapa hah? Berani mengatur!" Sentaknya.

Aku tidak peduli, tanpa sepatah kata, aku langsung keluar dari ruangannya.

"Pipi lo, kenapa?" tegur Luna saat aku berjalan kearah kubikelku. Beberapa teman satu divisi juga terkejut melihat pipiku yang mungkin mulai memerah.

"Lihat pipi lo?" Luna menyodorkan kaca di depan wajahku. Sial, pipiku tidak hanya memerah, tapi sudah terlihat kebiruan, pantes saja rasa nyerinya semakin menekan.

"Lo di pukul sama pak Bagas?" Tanya Bela, orang yang menjadi saksi kalau aku baru saja keluar dari ruangan pak Bagas.

"Kalau iya, sudah keterlaluan banget, Fay. Enggak bisa dibiarin," sahut Kevin.

"Beneran, pak Bagas yang buat pipi lo memar?" Kali ini Luna yang bersuara.

"Udah aku nggak apa-apa, tidak usah diperpanjang, lebih baik sekarang kita fokus ngelarin pekerjaan, besok ada rapat direksi, divisi kita tentu yang akan menjadi sorotan, pak Axel bisa murka kalau semua pekerjaan belum beres," ujarku menahan perih yang menyiksa.

Bring My HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang