𖥸 - 同行する。

1K 159 6
                                    

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

Jantung Sae rasanya ingin lepas, berdetak tidak karuan semenjak dua puluh menit yang lalu. Tidak tenang, keringatnya terus bercucuran keluar dan mengalir dari pelipisnya.

Sae mengendarai mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, beberapa mobil ia beranikan untuk melewatinya, tidak peduli ia akan diteriaki atau bagaimana.

Mendengar kabar dari Ryusei bahwa sang adik, Rin, yang kala itu sedang berada di sekolah tiba-tiba pingsan di lorong, segera Rin dipulangkan ke rumahnya, dan karena tidak ada satupun yang bisa menghubungi Sae, jadi Rin terpaksa dipulangkan oleh dua temannya.

Kebetulan saat berada di rumah, ada Ryusei yang ingin pergi dari sana membawa sebuah bola futsal. Tidak pikir panjang Ryusei segera membaringkan Rin di kasurnya dan menghubungi Sae supaya pulang.

Tidak lama juga Sae sudah tiba di rumahnya, langsung masuk ke kamar dan ajaibnya Rin langsung membuka matanya saat mendengar pintu kamar terbuka.

"Rin, kamu gapapa? Apa yang sakit?"

"Badan Rin panas, Abang, tapi Rin kedinginan."

Jika dibilang Rin baik-baik saja, tentu tidak. Kondisinya lebih parah dari Rin sakit biasanya, tubuhnya sangat panas saat Sae menyentuhnya menggunakan telapak tangan, cara bernafasnya juga berbeda, Rin seperti harus berusaha lebih keras supaya bisa menghirup oksigen.

Suaranya parau, sekujur tubuhnya sedikit bergetar, menggigil sesuai apa yang Rin ucapkan tadi.

"Kenapa ga bilang kalo Rin sakit tadi pagi?"

"Rin kira cuma sakit pilek, tapi ternyata makin parah pas Rin sampe sekolah, maaf Abang."

Sae menggigit bibir bawahnya, "Udah makan?" Rin menggeleng.

"Abang beli makan dulu ya, sekalian obat buat Rin." Sae membuka kemeja putihnya, menggantinya dengan kaos rumahan yang tergantung di belakang pintu.

Meletakkan kunci mobilnya di nakas kemudian mengambil kunci motor di dalam laci, kakinya ingin melangkah keluar kamar, namun baju bagian belakangnya terasa ada yang menahannya.

"Kenapa? Rin mau minum?"

Rin menggeleng, "Abang jangan tinggalin Rin.."

"Tapi kamu harus makan Rin, ga mungkin Abang bawa kamu keluar."

"Abang ga bisa mesen aja di ponsel?"

"Abang harus beli obat juga, nanti mereka ga bakal paham apa yang harus dibeli, Rin tunggu di sini aja ya? Abang ga lama."

Rin semakin menggeleng keras, kali ini ia meraih tangan Sae dan menggenggamnya. Jujur ini kondisi yang sulit bagi Sae, disaat seperti ini ia harus berpikir lebih jernih supaya tidak melukai perasaan Rin.

Rasa memaksanya yang tinggi harus ia hilangkan untuk hal seperti ini. Merasakan tangan panas Rin yang menggenggam tangannya saja membuat hati Sae berdenyut.

Sae membalikkan tubuhnya, berlutut di samping kasur tepat di mana Rin berbaring, "Rin kenapa?"

"Rin ga mau ditinggal Abang..."

• 𝗛𝗲𝗺𝗹𝗼𝗰𝗸 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang