𖥸 - すべき。

1K 165 4
                                    

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───

"Rin? Lagi ngapain?"

"Ngerjain pr, Abang."

"Habis ini ke depan ya, Abang mau ngomong sebentar."

"Kenapa ga di sini aja, Abang?"

"Gapapa, nanti Rin ke depan ya? Abang tunggu di sana."

Setelah sang Abang keluar dari kamar, Rin yang seharusnya mengerjakan tugas menjadi melupakan tujuan awalnya. Apa yang ingin abangnya bicarakan?

Tidak biasanya Sae membicarakan sesuatu apapun itu sampai menyuruh Rin berbicara di depan, biasanya Sae akan langsung bicara kapan pun itu situasinya, dan di mana pun itu.

Tugas yang awalnya menjadi prioritas utama langsung Rin tutup, memasukannya ke dalam tas, kemudian turun dari kursi belajar yang lumayan tinggi itu -Karena dipakai oleh Sae juga-

Menurunkan knop pintu perlahan, mengintip dari sela pintu, berusaha melihat sang abang yang sedang duduk di sofa dengan kepala tertunduk, televisi di depannya juga tidak menyala, tidak mungkin Sae sedang menonton televisi.

Rin baru membuka pintu setengahnya, namun ia urungkan niatnya lagi untuk membuka semuanya setelah melihat Sae menyandarkan punggungnya ke sofa, kepalanya tidak tertunduk lagi melainkan mengadah ke atas.

Suara deritan pintu membuat kepala Sae menoleh ke samping, menatap Rin yang bersembunyi di balik pintu yang masih setengah tertutup, hanya diperlihatkan kening sampai matanya saja.

"Sini Rin, udah selesai tugasnya?" Rin mengangguk dari balik pintu.

Hal itu membuat Sae gemas, rambut hijau Rin terlihat bergoyang saat anak itu menggoyangkan kepalanya naik turun. Sae menegakkan tubuhnya, menepuk sofa di sebelahnya mengisyaratkan Rin untuk duduk di sana.

Pintu terbuka sepenuhnya, Rin berjalan ke sofa dengan pandangan ragu ke sang Abang, tubuh kecilnya naik ke sofa, sedikit dibantu sang abang yang mengangkat tubuhnya.

"Abang mau ngomong apa?"

"Gimana sekolahnya?"

Kedua saudara Itoshi itu berbicara secara bersamaan, Rin dengan rasa penasarannya dan Sae yang ingin mengulur waktu. Itu membuat Rin semakin penasaran dan Sae merasa bersalah.

Perbincangan ini sedikit fatal sebenarnya kalau Sae bicarakan sekarang, seharusnya dari hari-hari kemarin, namun rasa takut Sae terlalu besar dan mengalahkan rasa egoisnya, Sae tidak ingin Rin kepikiran dengan ucapannya nanti.

"Rin baik-baik aja kok di sekolah, kemarin Miss Rika ngasih Rin coklat soalnya udah bisa iket tali sepatu!"

"Kalo Abang di kantor gimana?"

Sae terdiam sebentar, "Sama, baik juga."

Tidak ada rasa curiga, Rin tersenyum, menganggukkan kepalanya, sepertinya anak itu tengah bersyukur karena tidak ada yang terjadi dengan Sae di kantor.

"Rin."

"Iya, Abang?"

"Kalo Abang pergi sebentar, Rin mau tunggu kan?"

"Abang mau pergi ke mana? Kalo sebentar satu jam dua jam Rin mau nunggu kok."

Sae menggeleng, "Tiga bulan, Rin."

Kali ini Rin yang terdiam, pandangannya terkunci di mata si sulung, tubuhnya terasa kaku, perlahan air mata itu menggenang di kelopak matanya.

"Rin, don't cry please?"

"A-abang mau ninggalin Rin?"

"Engga Rin, Abang cuma pergi sebentar buat kerja, soalnya kalo Abang ga ke sana gaji Abang ga bisa cair tiga bulan ini, nanti Abang ga bisa nafkahin kamu lagi-"

"Rin mau ikut Abang."

"Ga bisa Rin, di sana negara asing, Abang bahkan ga bisa jaga diri Abang sendiri-"

"Rin mau ikut Abang! Abang mau ninggalin Rin sendiri? Gimana kalo mama tiba-tiba dateng ke sini terus ambil Rin, Rin tinggal lagi di sana?"

"Rin takut, abang.." Sae menarik Rin ke dalam pelukannya, mengusap Surai hijau dan punggung kecil itu dengan lembut.

Bayang-bayang kenangan buruk itu terus berputar di otaknya. Sae juga sebenarnya takut, takut dengan apa yang Rin katakan tadi, namun Sae mau tidak mau harus pergi juga.

Ia harus bekerja, itu yang ia tanamkan di hatinya, se-lelah apapun dirinya, selembar kertas berharga itu harus ia dapatkan supaya bisa membuat sang adik bahagia. Tinggal bersama sang adik saja tidak cukup jika Sae tidak bisa memenuhi permintaannya.

Bekerja yang jauh dari Rin justru membuat dirinya merasa berbeda. Selembar kertas berharga itu menjadi tidak berharga kalau ia harus tinggal berjauhan dengan Rin.

Tapi kesalahan juga. Akan muncul jika ia tidak menerima untuk bekerja di luar negri selama tiga bulan, gajinya akan di tunda. Selama tiga bulan itu Sae tidak akan mendapat penghasilan apapun, atau bahkan bisa dipecat.

Tabungan Sae tidak sebanyak itu untuk menampung dua orang dirumah, belum lagi membayar listrik dan segalanya, Sae tidak punya pilihan lain.

Membawa Rin? Sae bahkan tidak yakin dirinya akan baik-baik saja di negara orang itu, dirinya akan sering berada di kantor dan jika ia membawa Rin, sama saja Rin akan sendiri di apartemen tanpa ada yang menjaganya.

Kalau di sini, Rin bisa bebas bermain dengan teman Sae, Ryusei misalnya, Sae tinggal meminta Ryusei untuk menemani Rin dan Rin tidak akan kesepian.

"Abang harus Rin, kalo bisa milih, Abang juga ga mau pergi ke sana, Abang ga mau tinggalin Rin."

"Nanti kalo Abang sakit gimana? Ga ada yang ngurus Abang."

Di saat seperti ini bocah itu masih memikirkan bagaimana jadinya kalau Sae terkena musibah. Hal yang membuat Sae terharu.

"Abang baik-baik aja di sana, temen Abang banyak, cuma kita ketemu di kantor aja."

"Nanti selama Abang pergi, Rin sama temen Abang ya?" Lanjut Sae.

Rin mengangkat kepalanya, mulutnya ingin terbuka mengucapkan sesuatu, namun langsung terkatup lagi saat Sae mengucapkan sesuatu.

"Abang dua hari lagi pergi."

Dua hari lagi, Sae sudah dapat kabar ia akan bekerja di luar negri dari dua Minggu yang lalu sebenarnya. Seperti apa yang ia pikirkan sebelumnya, rasa takutnya mengalahkan rasa egois yang memuncak.

"Tiga bulan bukan waktu yang sebentar, Rin. Abang cuma bisa liat Rin dari video call hp, itupun kalo Abang ga sibuk."

"Rin beneran ga bisa ikut Abang? Rin ga bisa jauh dari Abang, gimana kalo ada yang jahatin Rin? Siapa yang maju duluan nanti?"

Sae tersenyum tipis, "Temen-temen Abang banyak kok, Ryusei juga lebih serem daripada Abang kan?"

Rin menggeleng di dekapan Sae, meremat kaos abu-abu yang Sae kenakan, tangisannya lebih besar dari ini sebenarnya, hanya saja suara Rin teredam.

"Rin mau ikut Abang, Rin bisa jaga Rin kok kalo Abang lagi kerja, Rin ga nakal, Rin janji!"

"Ga bisa Rin, Abang takut Rin kenapa-napa di sana, itu negara orang, Abang ga bisa manggil siapapun kalo Rin hilang."

"Rin ga bakal hilang Abang, Rin bakal diem aja di rumah nanti sampe Abang pulang, bisa kan Abang?"

Sae mengeratkan dekapannya. "Maaf, Rin."

Keputusan yang bulat, Sae sudah menetapkan niatnya, ia akan tetap pergi sendiri. Mengesampingkan rasa takut, Sae harus memunculkan jiwa egois supaya hidupnya bisa berjalan.

─── ⋆⋅☆⋅⋆ ───























• 𝗛𝗲𝗺𝗹𝗼𝗰𝗸 Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang