Aga pernah hidup di rumah ini selama belasan tahun. Dari lahir, bertumbuh, belajar banyak hal--termasuk belajar menjadi anak penurut--, hingga akhirnya ia menyerah dan memutuskan untuk angkat kaki. Berlari menuju dunia liar yang penuh kebebasan. Dunia yang memaksanya menjadi dewasa melampaui umurnya.
Senyum Aga tercetak jelas saat melihat foto pernikahan Bagaskara dan Widya---ayah dan bundanya. Foto itu sebagai tanda bukti bahwa orang tua Aga adalah dua insan yang begitu saling mencintai.
Foto-foto yang berjejer rapi dan piala-piala yang tersusun sedemikian rupa juga menjadi pertanda betapa bahagianya keluarga ini.
Ada banyak cerita selama 16 tahun hidupnya menjadi bagian dari rumah ini---sebelum ia angkat kaki setahun lalu. Mulai dari cerita bahagia, lucu, konyol, juga sedih.
Rasanya baru kemarin Aga menjadi bagian dari rumah ini dengan rutinitas yang itu-itu saja tiap harinya.
Pertengkaran demi pertengkaran dengan Anya dan kejahilan Daniel, Widya yang mengomel tiap hari dan suara cambuk Bagaskara, juga suara tenang Bagaskara tapi selalu membuat Aga bergidik saat ia mengatakan, "Tidak boleh keluar kamar sebelum seluruh soal yang Ayah berikan benar semua."
Aga menghela napas saat matanya mengitari satu per satu foto-foto yang terpajang di dinding.
Mungkin tidak banyak yang berubah dari rumah ini. Catnya masih sama, didominasi warna abu-abu, dengan perabot yang letaknya bahkan tidak berpindah. Yang berbeda hanya: tidak ada lagi foto Aga di antara foto-foto yang terpajang di dinding. Juga tidak ada wajahnya di foto keluarga.
"Kok balik? Udah nggak sanggup hidup di jalanan? Makanya nggak usah songong jadi orang," sambut Anya, adik pertamanya.
Aga cengengesan seperti kuda. "Nggak rindu?"
"Ngapain rindu sama benalu?"
Aga tergelak mendengar ucapan Anya. Adiknya itu juga tidak berubah, mulutnya masih seperih gas air mata.
"Oke, oke, benalu ini lagi malas berantem. Pamit ke kamar ya, Anya-Anya Wae."
Begitu membuka pintu kamar, aroma rindu menguar dengan sangat kuat. Kamar Aga masih seperti terakhir kali ditinggal pemiliknya. Bed cover abu-abunya masih meringkuk di ujung tempat tidur tanpa ada seorang pun yang berbaik hati untuk membereskan.
Peralatan mandi di kamar mandi juga masih terisi setengah, tidak ada yang menggunakan.
Aga duduk di tepi tempat tidur. Membereskan bedcovernya sambil melarikan ingatannya pada pertengkaran dengan Bagaskara setahun lalu.
Dengan kedua hidung yang disumpal tisu, meski sudah tidak ada darah yang keluar, Aga berteriak pada Bagaskara---sebagai hal paling berani yang bisa ia lakukan untuk pertama kalinya.
"Ayah selalu nuntut aku seperti yang Ayah mau! Pdahal aku punya keinginan sendiri. Aku nggak bisa belajar sampai tengah malam kayak Daniel, kayak Anya, kayak Alya. Aku nggak bisa. Tiap malam kepalaku mau meledak karena belajar, tapi Ayah tidak pernah menghargai usahaku."
"Aku iri sama teman-temanku yang hidupnya bebas, nggak ditekan. Terserah mereka mau ngapain."
"Tiap tempat punya aturan, termasuk rumah ini. Kalau kamu ingin hidup seperti teman-teman kamu yang bebas itu, silakan angkat kaki dari rumah ini! Tapi ingat, kalau kamu kebingungan mau makan apa di luar sana, jangan pernah berani kembali ke sini. Jangan pernah menyesal dengan keputusan kamu."
Dulu, Aga tidak punya keinginan untuk pergi dari rumah--sebenarnya. Tapi kata-kata ayahnya begitu menyakitkan, hingga tanpa sadar ia berkata, "Ayah terlalu remehin aku! Aku bisa hidup sendiri tanpa uang ayah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales from the Abyss
Teen Fiction"Setelah mati, lalu apa?" Agra selalu mempertanyakan hal ini. Apa kita akan reinkarnasi jadi makhluk lain, atau malah hidup dalam kepala orang lain? Seperti yang Sam lakukan. Hidup dalam kepala Agra.