9

348 38 2
                                    

Siang ini Anya duduk di sudut lapangan, tapi matanya lebih tertarik pada arak-arakan awan yang memenuhi langit biru ketimbang menonton masnya—yang tidak pernah sudi ia panggil mas—bermain basket.

“Kak Aga ganteng bangeeeeet!”

Sebenarnya Anya tidak terlalu tertarik memenuhi telinganya dengan teriakan alay pemuja Aga. Kalau saja bukan karena Jovi, cowok yang baru ia pacari selama tiga bulan—yang dua minggu lalu entah kejedot di mana hingga tiba-tiba memutuskan masuk tim basket, Anya tidak akan sudi duduk di sini.

“Kak Aga liat bentar ke sini dong!”

“Anjir Aga ngehapus keringat pakai kaus! Gimana bisa kaus lebih beruntung dibanding gue?”

Kepala Anya pengar oleh puji-pujian yang sudah ia dengar hampir seumur hidupnya.

“Gimana sih rasanya jadi adik Kak Aga, Nya?” tanya Ira, salah seorang teman sekolah Anya, yang hari ini kebetulan duduk di sampingnya.

Pundak Anya terangkat tak acuh. “Biasa aja tuh.” Tapi ia melanjutkan dalam hati, Rasa ingin marah-marah tiap hari.

“Hah? Masa sih? Jangan bohong!” desak Ira.

Bola mata Anya merotasi begitu saja. Ia sudah beribu kali mendengarkan pertanyaan semacam itu.

“Bagaimana rasanya jadi adik Aga?”

“Bagaimana perasaan lo liat muka ganteng Aga tiap hari?”

“Yakin lo nggak pernah natap Aga trus teriak dalam hati, Tuhaaaaaan beneran ini kakak gue?”

“Pernah nggak sih lo kepikiran buat nikah sama kakak lo sendiri?”

“Nya, apa di kehidupan sebelumnya lo pernah menyelamatkan negara? Kok bisa sih terlahir sebagai adik Aga?”

Ada banyak pertanyaan-pertanyaan memusingkan lainnya, yang kalau semuanya Anya simpan dalam kepalanya, maka kepalanya akan meledak menjadi kepingan-kepingan galaksi.

“Lo ngarepnya gue ngasih jawaban apa? Rasa vanila? Rasa cokelat?” ucap Anya ketus. Tapi Ira yang duduk di sampingnya tidak menyadari betapa Anya tidak senang memasukkan Aga ke tiap pembicaraan.

“Tapi serius deh, Nya, gue tuh penasaran banget, gimana sih rasanya duduk di meja makan yang sama dengan Kak Aga? Trus liat muka bangun tidurnya tiap hari? Denger dia ngebanyol sepanjang hari?” Rasa-rasanya Anya ingin menempeleng mulut Ira detik itu juga.

Anya pernah melewati masa-masa seperti itu sebelum Aga angkat kaki dari rumah. Dan rasanya ... tensi Anya naik tiap hari. Anya selalu marah untuk alasan-alasan yang dia sendiri tidak mengerti.

“Nggak tau. Dia udah lama nggak tinggal di rumah. Ngekos.”

“Hebat, ya. Mandiri banget orangnya.” Yang bicara bukan Ira lagi, tapi cewek di samping Ira—yang Anya tidak tahu namanya—lagipula dia tidak punya kewajiban untuk menghafal semua nama siswa di sekolahnya.

“Kak Aga kan udah setahunan ini part time di kafe. Ngonten di Tiktok juga kan? Banyak yang endorse loh. Hebat! Bisa ngasilin duit sendiri di saat remaja lainnya cuma bisa nodong ortu,” tambah Ira. Otomatis membuat Anya tertohok. Nodong ortu katamu?

“Hebat banget, ya, Nya, kakak lo. Lo kadang terharu nggak sih kalau lagi kepikiran gimana beruntungnya lo bisa jadi jadi adek Kak Aga?” Cewek-cewek itu terus memuji Aga, tanpa tahu betapa gondoknya Anya mendengar ucapan mereka.

Seumur hidup Anya, semua yang dibicarakan orang lain hanya tentang kakaknya yang bernama Aga itu, bukan tentang Anya dan prestasi-prestasinya.

“Nggak,” jawab Anya singkat.

Tales from the AbyssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang