7

355 44 5
                                    

"Ali."

Tanpa menengok pun, Alya bisa menebak makhluk kurang ajar mana yang berani memangggilnya begitu. Benar saja, saat memutar tubuh, senyum pecicilan Aga sudah menyambutnya.

"Mas?" ucap Alya kikuk.

"Boleh bicara bentar?"

"Ini udah bicara."

Aga tergelak kaku. "Iya sih. Betewe, gue mau tanya soal cincin Bunda yang hilang."

Alya memejamkan mata dengan gusar. "Mas Aga nuduh gue?"

"Eh ... itu ...."

"Jadi sejak kemarin Mas Aga nuduh gue?"

Respon Alya yang di luar dugaan membuat darah Aga tiba-tiba menguap.

"Jadi kemarin pas Mas Aga ngaku itu bohong? Demi apa? Buat lindungi gue? Nggak usah sok baik, Mas, trus ujung-ujungnya malah nuduh."

Satu lagi kalimat yang membuat Aga terhenyak. Tiba-tiba ia merasa kehilangan keseimbangan. Kendati begitu, Aga berusaha keras menopang tubuhnya untuk tetap berdiri tegak, meski suara riuh dari ratusan Sam dalam kepalanya mengatakan bahwa lantai yang ia pijak mungkin bisa runtuh kapan saja.

"Maaf, Lya," ucap Aga pada akhirnya. Ia menyodorkan tangannya dengan tulus, yang segera ditebas dengan semena-mena oleh Alya. "Udah! Nggak usah bicara sama gue lagi."

Waktu seakan terhenti tepat Ketika Alya menyelesaikan ucapannya dan melangkah menjauhi Aga.

Aga cuma bisa menatap punggung ALya dengan nanar. Lalu menarik napas panjang sambil menengadah ke langit. Hari ini langit berwarna biru cerah, tapi perasaan Aga mendadak kelabu.

Namun, bukan Aga namanya kalau menampakkan sisi kelamnya.

Buktinya, setelah dicampakkan Alya, ia melangkah ke kelas dan melemparkan tebak-tebakan alot---bukan garing lagi.

"Coba tebak, kalau ada batu sekilo, trus buku sekilo, kalau dijatuhkan ke kaki, mana yang lebih sakit?" teriak Aga begitu kepalanya masuk kelas. Teman-teman sekelasnya yang baru berjumlah 9 orang termasuk Reza, Sabda, dan Jason auto mendongak.

"Datang-datang bawa masalah." Radith mencibir, tapi ia yang paling duluan menjawab.

"Batu," jawab Radit asal-asalan.

"Buku. Soalnya abis jatuhin buku, dikeplak lagi sama Pak Albert. Chuaks!" jawab yang lain.

"SALAH SEMUA!"

"Trus apa?"

"Jawabannya adalah kaki. Kan kaki yang kena batu sama buku." Aga terbahak sendirian, sedang teman-temannya cuma planga-plongo, mencoba memaklumi betapa random dan recehnya seorang Pranadiva Agrata Bagaskara.

"Bisa ketawa lo sekarang?" gumam Reza begitu Agra mengempaskan bokong di bangkunya. Padahal kemarin pagi, Reza sudah berpikiran gelap. Mengira bahwa teman sengkleknya itu akan berpindah domisili ke dalam peti trus ditanam seperti singkong.

Jason lebih parah lagi, ia mulai melantur dengan menanyakan harga jas dan peti mati.

Lalu pagi ini, bisa-bisanya si brensek itu tertawa lepas tanpa dosa sambil melemparkan tebak-tebakan yang sangat alot.

"Lo jangan kebanyakan ketawa. Sepekan sebelum meninggal Sam ketawa tiap hari kayak orang gila," ucap Reza pelan.

"Abis ini gue makin overthinking." Reza memijit-mijit keningnya. "Pokoknya gue udah nggak bisa positif thinking lagi sama manusia yang nyengir lebar sepanjang hari. Takutnya besok-besok tiba-tiba cosplay jadi umbi-umbian."

Aga menyepak betis Reza dalam satu tarikan napas. "Lo punya masalah hidup apa sih, Ja?"

"Masalah hidup gue sekarang ya elo, bahlul!" ucap Reza disertai ringisian. Sepakan Aga bukan main sakitnya.

Tales from the AbyssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang