5

335 50 1
                                    

“Kita nggak pernah ditanya, apa kita baik-baik aja apa nggak. Apa kita sedih? Apa kita sakit hati? Apa yang kita inginkan dalam hidup? Nggak pernah ada yang tanya apa yang kita mau dan apa yang kita rasakan. Kita cuma ditanya, dapat nilai berapa? Kapan berhenti bikin malu?”

“Lo mau apa, Sam? Nah, gue udah nanya.”

“Gue mau mati, Ga. Lo mau ikut?”

“Lo udah mati, Sam.”

“Jadi gimana?”

“Lo udah reinkarnasi jadi apa?

“Gimana perasaan lo sekarang? Apa lo udah bahagia?”

“Gue nggak reinkarnasi, Ga. Gue belum mati.”

“Gue masih hidup.”

“Di dalam kepala lo.”

Saat kelopak mata Aga perlahan terbuka, bukan hanya cahaya temaram di dalam kamar yang menyambut, tapi juga denyutan hebat di dalam kepalanya. Mungkin—pikir Aga—Sam yang katanya hidup di dalam sana tengah berpesta. Mungkin berdisko, dengan DJ-DJ yang entah didatangkan dari mana.

Tangan kanan Aga bergerak sebentar, lalu  menggantung di udara. Tiba-tiba bingung, bagian mana yang harus ia usap? Kepalanya atau perutnya, yang kini sama-sama berdenyut hebat.

Aga memutuskan untuk menutup mata lagi. Menikmati rasa sakit yang titiknya makin banyak. Ringisan-ringisan kecil yang keluar dari bibirnya tidak bisa mengurangi rasa sakit itu.

Air mata Aga meluruh, tak mampu ia tahan.

Kata Philosofi, tidak ada norma apa pun yang melarang laki-laki menangis. Jadi, Aga akan membiarkan bendungan air yang tertampung di matanya meluap—kali ini. Sambil berjanji pada Tuhan—meski Aga belum akan percaya 100 persen kalau Tuhan itu memang ada—bahwa setelah sakit ini reda, ia akan minta obat magh ke bundanya.

Dan sepertinya Tuhan ingin menangih janji itu. Atau mungkin, Tuhan ingin menguji Aga, apa ia manusia yang menepati janji atau tidak.

Jam dinding di kamar Aga sudah menunjukkan pukul enam petang saat ia kembali membuka mata. Setengah jam lagi dia harus masuk kerja. Perut dan kepalanya sudah membaik, hanya sedikit berdenyut saat Aga bergerak, tapi ia sudah berjanji akan meminta obat magh.

Aga pikir, ia harus menepati janji pada Tuhan, agar Tuhan juga menepati janjinya—yang entah apa. Agra bahkan tidak tahu, apa Tuhan pernah berjanji.

Atau bahkan, apa Tuhan itu benar-benar ada?

Menyadari pikirannya tidak ada gunanya, Aga mengibaskan tangan di udara, berusaha memerintahkan otaknya agar berhenti memikirkan hal yang tidak berguna.

“Obat magh. Obat magh. Obat magh.” Aga mengulang kalimat itu berulang kali, takut lupa.

Ia sudah berganti pakaian, sudah rapi dan wangi, tinggal minta obat magh. Lagipula, setelah Aga pikir-pikir, tidak lucu kalau maghnya kambuh saat bekerja.

Akhir-akhir ini, maghnya memang sering kambuh. Hampir tiap hari. Dan tidak bisa diprediksi

Yang sialnya, stok obat Aga habis bersamaan dengan stok ongkos ke sekolah dan tempat kerja yang menipis. Prinsip Aga begini: lebih baik muntah-muntah kayak cewek yang lagi ngidam daripada jalan kaki ke sekolah ataupun kafe. Aga takut hitam. Cuma wajah ganteng dan kulit putih glowingnya yang bisa ia banggakan. Kalaupun otak nggak punya, setidaknya Aga punya wajah ganteng.

Dan kalaupun nanti ia mati gara-gara sakit magh, setidaknya ia mati dalam keadaan glowing.

Tapi karena Aga lelah juga bergulat dengan rasa mual yang makin hari makin menjadi, ia putuskan untuk mencoba meminta obat lagi pada bundanya. Berharap bundanya akhirnya luluh.

Tales from the AbyssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang