Aga ingin mengumpat pagi ini.
Pertama kali buka mata, rasa pedih yang menjalar dari perut ke punggungnya menjadi sambutan. Kepala Aga terasa kosong, ringan, seakan semua isinya pindah ke kerongkongan, berontak ingin keluar.
Aga berusaha keras menggapai napasnya. Pendek-pendek. Tiap udara yang lolos ke paru-paru seperti dilucuti jarum-jarum.
Kepala, perut, dan dada Aga sakit. Seperti ada mahasiswa yang hidup di dalam sana, dan pagi ini mereka sedang berdemo, bakar-bakar ban, dan merusak fasilitas umum di dalam perut Aga.
"Ssssssss."
"Siaaaaa ... lan."
Aga mengumpat pelan. Nyaris seperti bisikan. Suaranya enggan keluar. Tertahan di kerongkongan.
Salahnya sendiri. Kemarin cuma minum kopi dan makan kerupuk pangsit, enggan minum air putih. Sekarang ia harus menanggung akibatnya. Pagi-pagi pula.
Lebih sialnya, obat maghnya sudah habis, dan gajian masih beberapa hari lagi.
Masih ada sisa-sisa kekuatan yang tersisa. Aga menggunakannya untuk berjalan keluar kamar--meskipun tertatih.
"Bunda, ada obat?" tanya Aga pelan, nyaris berbisik, pada Widya yang sudah siap-siap ke rumah sakit. Bundanya itu memang seorang dokter spesialis syaraf.
Anya yang berdiri di samping Widya mendelik.
"Lo lagi bikin konten prank kan? Bunda, jangan ketipu!" tuduh Anya.
Aga menghela napas kesal. Ingin sekali rasanya menabok mulut Anya, tapi ia tidak kuat.
"Magh aku kambuh, Bun," ucap Aga lagi, berusaha mengabaikan Anya.
"Jangan mau diprank, Bun!" Tapi Anya terus memprovokasi
"Jangan sotoy lo."
"Lah iya kan, lo sering banget pura-pura sakit buat caper. Atau buat bolos sekolah. Udah deh, nggak ada lagi yang bisa lo tipu di rumah ini."
"Ayok, Bun, antar aku sama Alya ke sekolah. Nanti terlambat."
"Bun." Aga pasang tampang memohon, berharap Widya luluh. Tapi sepertinya, Aga sudah lama dibuang dari hati bundanya. Karena berapa kali pun Aga pasang tampang kesakitan, dan memohon dengan suara memelas, Widya terus berjalan meninggalkannya, bersama dua puteri yang ia banggakan.
Aga menatap nanar kepergian bunda dan kedua adiknya. Lalu menjatuhkan tubuhnya di sofa, bersandar lemas, dan berusaha meraup udara dengan rakus.
"Gue heran, apa yang bikin orang kayak lo mau repot-repot bertahan hidup!"
Kepala Aga makin menyentak saat suara Sam tiba-tiba terdengar dari dalam kepalanya.
"Kenapa lo nggak mikir buat mati aja?"
"Gimana kalau ...." Suara Sam hilang sejenak dari kepala Aga, berganti suara deruman yang menggema hingga ke jantung.
".... kita mati sama-sama."
Napas Aga tertahan di tenggorokan. Tanganya yang mengcengkeram perut mulai kehilangan tenaga.
Langit-langit yang semula berwarna putih, perlahan menjadi kelabu.
"Gue janji, setelah ini bakal nyetok banyak obat magh," batin Aga, sebelum kelabu di matanya berganti menjadi hitam pekat.
.
"Dari tadi udah di sini?"
Samar-samar, suara yang tak asing itu masuk ke telinga Aga, bergetar di koklea, hingga akhirnya ia sadar, siapa sang pemilik suara.
"Tidak ke sekolah?"
"Tidak, Pak."
"Suruh bangun! Sebentar lagi tamu saya datang."
Hanya selang beberapa detik kalimat itu terlontar, Aga merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya.
"Mas Aga, bangun, Mas."
Telinga Aga bekerja dengan baik, tapi kesadarannya masih terombang-ambing.
"Mas Aga!"
Aga membuka mata pelan, wajah Siti, ART yang bertugas untuk bersih-bersih mulai tertangkap penglihatannya.
"Mas Aga kok ketiduran di sini? Ndak sekolah?"
Aga menatap Siti sedetik, menggeleng, lalu detik selanjutnya ia menatap Bagaskara.
"Aku sakit, Yah," ucap Aga pelan. Ia hanya meminta pengertian, bukan dikasihani.
"Tidak usah banyak drama!"
"Kenapa sih, Ayah, Bunda, sama semua orang di rumah ini selalu menilai aku negatif?"
"Aku lagi sakit, Yah. Magh aku kambuh. Obat habis. Apa aku harus jadi tulang-tulang dulu baru orang-orang di rumah ini bakal percaya kalau aku bener-bener sakit?"
"Ini hidup yang kamu pilih kan?" ucap Bagaskara lugas, membungkam Aga dengan telak.
"Bik Siti, kalau anak ini tidak mau pergi dari ruang tamu, panggil Pak Rudi! Suruh seret saja ke kamarnya!"
"Nggak usah repot-repot." Seusai mengucap kalimat itu, Aga bangkit, melangkah ke kamar. Tertatih dengan jantung berdebar dan napas yang makin sesak.
Westafel di dalam toilet menjadi tujuan utama. Aga memutar kran air, lalu memuntahkan seluruh kopi yang kemarin ia minum, bersama sakit hati dan kecewa yang tak kunjung ada habisnya.
"Katanya, kalau kita bunuh diri, kita akan bereinkarnasi jadi babi." Suara Sam yang hidup dalam kepala Aga kembali berceloteh.
"Tapi bukannya jadi babi lebih baik? Kita akan dipelihara baik-baik, dibikin gemuk, dan nanti akan dimakan, dihidangkan di atas meja, dan membuat orang yang makan jadi kenyang."
"Orang-orang yang membesarkan kita nggak akan ngeluh, dan ngumpat ....."
"Kayak ... dasar babi nggak guna! Sudah dibesarkan baik-baik, makan biaya, tapi nggak ada gunanya! Nggak, mereka nggak akan bilang gitu."
"Kalau jadi anjing?" Aga berbisik.
"Kita akan jadi anjing yang setia. Yang berbakti pada tuan sampai kita mati."
"Kalau nanti kita kena rabies, atau dibuang karena penyakitan, setidaknya kita pernah berguna. Dan lagi-lagi, kita nggak perlu dengar kalimat, dasar anjing nggak berguna!"
Aga menghela napas yang masih pendek-pendek, menatap pantulan wajahnya di cermin. Pucat, kuyu, mengenaskan.
"Sam."
Tidak ada sahutan, selain suara air kran yang mengalir deras.
"Trus sekarang lo gimana? Dibakar di neraka atau lahir kembali sebagai babi?"
Tetap tidak ada sahutan selama beberapa saat selain suara air kran yang mengalir.
Hingga, suara Sam dalam kepala Aga kembali menyahut.
"Nggak dua-duanya. Soalnya gue belum mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tales from the Abyss
Ficção Adolescente"Setelah mati, lalu apa?" Agra selalu mempertanyakan hal ini. Apa kita akan reinkarnasi jadi makhluk lain, atau malah hidup dalam kepala orang lain? Seperti yang Sam lakukan. Hidup dalam kepala Agra.