6

377 49 0
                                    


"Malam ini giliran gue masak, ya? Jadi, kita makan apa? Ayam geprek atau Soto Banjar?" Suara Sam mengalun bersamaan dengan lagu Ujung Aspal Pondok Gede yang baru saja ia putar.

"Apa ajalah. Kan semuanya dalam bentuk indomi." Aga mengangkat pundak, menjawab acuh tak acuh. Tatapannya fokus ke arah jendela yang mulai dipenuhi titik-titik hujan.

"Sama telor ceplok atau telor dadar?" Sam menambahkan opsi.

Napas Aga terhela begitu saja. Percuma menjawab opsi-opsi yang dilemparkan Sam. Karena Aga sudah hafal, apa pun yang ia pilih, ujung-ujungnya Sam akan memasak Indomi rasa kaldu dan telur ceplok.

"Ga?" Suara Sam terdengar lagi, bersaing dengan suara Iwan Fals yang memenuhi apartemen.

"Sam?" Aga balik memanggil, tapi ia tidak berani membalikkan badan. Takut menghadapi kenyataan kalau Sam yang ada di balik punggungnya hanya ilusi.

"Apa sih, Ga? Lo kenapa sih? Salah makan?"

Suara Sam yang menyambut ucapan Aga alih-alih membuatnya lega, malah membuat dadanya jadi sesak.

Aga memutar tubuh hanya untuk menemukan Sam yang sudah memegang dua bungkus Indomie Kaldu. Seperti biasa, dan seperti yang selalu ada dalam ingatan Aga: Sam berdiri di depannya dengan kokoh. Sekokoh luka-luka yang disembunyikan cowok itu selama bertahun-tahun. Hingga akhirnya, luka-luka yang dipelihara dengan apik itu runtuh dan menimbun Sam ke dalam inti bumi.

Aga memandang Sam lebih lama, tanpa berkedip, sampai-sampai membuat cowok bongsor di depannya bergidik jijik.

"Gue siapa?" tanya Sam sambil menunjuk wajahnya. "Samuel apa Miyabi?"

"Hah?"

Sam sedikit tergelak. "Habisnya lo mandang gue nafsu banget. Kali aja lo ngira gue anu."

Karena tidak ada sedikit pun suara yang keluar dari bibir Aga, Sam kembali bicara, "Aneh banget lo hari ini, Ga. Lagi mabok, ya?"

Aga masih enggan menjawab. Ia lebih memilih untuk menghela napas panjang.

"Napa sih lo, Ga?"

"Sam, masa gue mimpiin lo mati." Aga berbicara dalam satu tarikan napas. Tapi dengan kurang ajarnya, Sam malah tergelak.

"Berarti gue bakal panjang umur dong."

"Gue mimpi lo bunuh diri."

Sam termangu selama beberapa saat, sebelum senyum simpul menghiasi bibirnya. "Mati kayak gimana?"

"Kayak gini?" Tiba-tiba suara parau Sam terdengar. Bukan suara yang barusan Agra dengar. Tapi suara yang keluar dari leher yang tercekik tali tambang.

Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Aga mendapati dirinya berbaring menghadap kamar Sam. Hanya matanya yang mengedip-ngedip, sedang seluruh tubuhnya mati rasa. Dan Sam sedang tergantung di atas sana. Meront-ronta dalam tawa. Menertawai Aga yang menangis dalam hening.

Untuk sesaat Aga merasa paru-parunya menolak segala oksigen yang ia hirup. Sementara Sam yang tubuhnya terayun-ayun di antara langit-langit kamar dan lantai tertawa lebih keras.

Tawa Sam bersaing dengan suara napas Aga yang lebih keras dari biasanya.

Aga berusaha menggerakkan jemarinya.

"Mulai dari jempol."

"Mulai dari jempol."

Aga bersusaha mensugesti dirinya sendiri.

Dan saat jempolnya berhasil digerakkan, Aga menemukan dirinya berbaring miring dengan pakaian yang hampir seluruhnya basah oleh keringat, juga suara Philosofi yang terus memanggil namanya.

Tales from the AbyssTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang