04. Selalu Ada di Hati

36 31 10
                                    

Selamat datang kembali di bab empat.

Willing to let go of the body, but hard to let go of the soul that has been attached to the heart.

____

"Kak Elang?" keningnya berkerut bingung melihat Elang yang berdiri di depannya. Sama seperti dirinya, Elang juga basah karena hujan-hujanan.

"Iya ini gue," ujar Elang sambil merangkul Kaira dan mengajaknya kembali berjalan, "yuk pulang."

"Tadi bilang ga bisa jemput."

"Sekarang udah bisa."

Kepala Kaira menoleh kebelakang, mencari-cari sesuatu.

"Nyari apa?" tanya cowok itu dengan tangan yang memaksa Kaira untuk kembali menatap ke depan.

"Motor lo, kak. Kenapa ngga naik motor lo aja?"

"Males. Motornya terbang, ga tau pergi kemana," jawabnya asal.

Kaira memutar bola matanya malas dengan alasan yang sungguh tak masuk akal itu. Elang melihat wajah kesal Kaira, ia tertawa.

"Gue tinggal, Ra. Gue pingin nemenin lo jalan. Jarang-jarang kita ujan-ujanan gini."

"Tumben, biasanya ga peduli," ujar Kaira dengan suara dikecilkan. Meskipun begitu Elang tetap mendengarnya.

Cowok itu tersenyum simpul mendengar tuturan Kaira. "Yaudah sih, jalan aja." tangannya mengacak-acak rambut Kaira. Sadar rambut Kaira masih terikat seperti biasa, ia menarik ikat rambutnya, membiarkan rambut basah gadisnya terurai.

"Kenapa dilepas sih!" Kaira kesal karena ikat rambutnya dilepas begitu saja. Meski Elang tau Kaira tak suka rambutnya diurai, cowok itu tetap melakukannya.

"Lo tetep cantik kok kalo gini."

"Ew..." Kaira berpura-pura muntah mendengar bualan Elang, meski kini hatinya merasa terbang. Padahal bagi Elang ia serius mengatakannya.

Tanpa sadar mereka sudah sampai di depan perumahan Kaira. Hujan juga telah berhenti turun.

"Yaudah sana," ujar Elang, ia tak mengantarnya sampai depan rumah Kaira. Ia selalu bilang kalau dirinya tak ingin di lihat tetangga. Ia tak mau orang-orang berfikir yang tidak-tidak tentangnya.

Kaira tak pernah mempermasalahkan itu. Ia bahkan setuju jika tak akan membawa Elang ke rumahnya, ia takut papanya marah.

"Lo duluan sana, kak."

"Udah sana, Kaira. Gue liat dari sini." tangannya medorong punggung Kaira pelan agar cewek itu segera pulang ke rumahnya.

"Oke. Gue duluan, makasih dan hati-hati kak Elang."

Elang melihat Kaira yang sudah berlari menjauh darinya. Senyumnya tak pernah luntur, tapi saat ini perasaannya khawatir terhadap gadisnya. Bukan, bukan hanya saat ini, tapi setiap hari, setiap ia menatap mata Kaira, setiap ia bertemu dengannya, setiap ia melihatnya dari jauh, bahkan setiap ia selalu ada dipikirannya.

Ia ingin sekali mengantarnya sampai rumah, tapi tak bisa, mungkin tak akan pernah bisa.

"It's okay Elang. Suatu saat nanti, setelah semuanya baik-baik saja." ia menyemangati dirinya sendiri. Lalu beranjak pergi dari sana ketika Kaira hilang dari pandangan matanya.

***

Prank!!!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Prank!!!

Suara barang pecah membuat Kaira terkejut saat baru saja melangkahkan kakinya ke dalam rumah.

Ia berlari ke arah kamar bundanya. Tak peduli dengan keadaannya sekarang yang masih basah dan rambut yang lepek karena air hujan. Ia tau itu pasti perbuatan Raya.

Gadis itu melihat Raya yang bersimpuh dengan air mata yang bercucuran begitu deras di samping tempat tidurnya. Ibu terlihat berusaha menenangkan Raya.

"JAHAT! JAHAT! JAHATTTT!!" teriakan Raya terdengar begitu pilu di telinga Kaira. Membuat bagian dari dirinya merasa sesak.

Gadis itu langsung berlari menghampiri Raya. Memeluknya dengan erat, berusaha menenangkan tangisannya.

"Bunda sudah ya, bunda nanti terluka." melihat banyaknya kaca pecah berserakan di sekitarnya.

"Bunda ini Ira, ini Kaira, bun." suaranya bergetar menahan isakannya. Ia tak boleh terlihat lemah disaat keadaan Raya seperti ini.

"Kaira?" Raya mulai tenang, ia menatap Kaira penuh kasih sayang.

"Iya bun, ini Ira."

"Kaira udah pulang? Kok sendiri? Kakak mana, dek?"

Bagai ditikam ribuan pisau di jantungnya mendengar pertanyaan sang bunda. Matanya kembali berkaca-kaca setelah berhasil merdakannya. Ia benci disaat seperti ini.

Dengan lembut Kaira membelai sayang rambut Raya.

"Bunda... k-kak Langit udah ngga ada."

Tatapan kasih sayang yang baru saja diberikan Raya kini berubah menjadi tatapan penuh amarah.

"Apa maksud kamu? Langit itu masih ada! Pagi tadi dia pamitan sama bunda buat ke sekolah!" tangan Raya mendorong Kaira hingga jatuh terjerembab ke belakang.

Sekuat tenaga Kaira menahan air matanya hingga tidak jatuh.

"Ikhlas bunda. Kakak udah ngga sama kita lagi."

"Diam Ira! Ngapain suruh-suruh bunda ikhlas?!!"

Gadis itu kembali mendekati bundanya.

"Kakak udah tenang di sana, bunda. Biarin kakak istira-"

"BUNDA BILANG DIAMMMM!!"

"Non!" pekik ibu melihat kejadian di depannya, ia menutup mulut untuk menahan suaranya.

Satu tamparan keras mengenai pipi kanan Kaira. Panas menjalar di wajahnya. Sakit. Tapi itu tak lebih sakit ketika melihat Raya dalam kondisi seperti ini.

Runtuh sudah pertahanannya. Kaira tak kuat menahan tangisnya. Ia memeluk Raya, sekuat tenaga menahan agar Raya tetap dalam pelukannya meski wanita itu memberontak.

"Bunda tenang. Kaira mohon bunda tenang." ujarnya dengan airmata yang terus jatuh di wajahnya.

"Langit masih ada, Ra. Langit ga mungkin ninggalin bunda." tangannya memukul-mukul tubuh Kaira berusaha melepaskan pelukannya.

Tapi sungguh Kaira tak akan membiarkannya.

Mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu yang terasa amat berat di tenggorokannya. Dengan sangat terpaksa Kaira harus mengatakan ini.

"Iya bunda kak Langit masih tetap sama kita." di hati, lanjutnya dalam hati. Ia tau ia salah. Tapi ia tidak ingin melihat bundanya seperti ini.

Setelah mengatakan itu emosi Raya mulai reda.

"Bunda sekarang tidur ya. Bunda istirahat," kata Kaira tenang. Ia kembali mengelus rambut Raya dengan lembut. Membimbingnya untuk berbaring di tempat tidur.

Raya mengganguk. "Langit masih sama kita." Ia terus menggumamkan itu berulang kali hingga akhirnya terlelap dalam keheningan.

Ibu sudah keluar kamar lebih dulu. Sedangkan Kaira masih setia di sisi Raya. Ia menatap wajah tenang Raya ketika tidur. Ia tersenyum dengan segala perasaan campur aduk dihatinya.

"Adek sayang bunda, sayang kakak, dan... sayang papa," ujarnya pelan dengan airmata yang kembali membasahi wajahnya.

___

Maafkan atas ketidaksempurnaannya.

Pict by Pinterest.

Kaira NadiraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang