2. Gelagat

585 127 78
                                        

"Yud, dicari anaknya big boss, tuh. Mau diajakin keluar katanya." Salah satu staf di tempat Wahyudi magang memberitahu sembari menepuk pundaknya.

"Eh, siapa, Mas? Pak Dimas?"

"Pak Dimas mah menantu. Ini levelnya lebih tinggi. Anak kesayangan big boss. Boloe pean jare."

"Oh, Andro?"

"Yess. Bener. Mas Andromeda Angkasa."

"Kuwalik, Mas. Angkasa Andromeda. Di-SP mbuh lho yo," gurau Wahyudi yang sudah akrab dengan sebagian pekerja di sana meski baru bergabung beberapa hari.

"Pean kudune sing keno SP, Mas. Baru di sini berapa hari lho, udah bisa keluar di tengah-tengah jam kerja." Staf lain menimpali. Bercanda memang, tapi agak tak nyaman di telinga Wahyudi.

"Enak ya sahabatan sama anak bos, mesti ada privilege. Nggak kayak kita-kita yang bukan siapa-siapa." Ada lagi yang menyahut, tapi sepertinya yang satu ini tidak bercanda, sebab wajahnya yang manis terlihat ketus.

Wahyudi menghela napas, pendek saja. Risiko semacam ini sudah masuk dalam perhitungannya, jadi ya sudahlah, cukup didengarkan dan disenyumi. Toh dari obrolan dengan beberapa karyawan yang sudah akrab dengannya, ia tahu bahwa Pak Antariksa tipe bos yang selalu berusaha bersikap adil kepada karyawannya, meski tentu saja tidak terjun langsung mengurusi mereka semua.

Ditinggalkannya direksi keet, melangkahkan kaki menuju MPV hitam yang mesinnya menyala. Sahabatnya menunggu di dalam sana.

Kaca mobil terbuka, seraut wajah tampan menyambut dengan senyum jenaka. "Semangat semangat! Mukamu lho, kayak muka-muka minta dipecat."

"Asem kowe, yo." Wahyudi tergelak. Kejadian tadi ternyata mempengaruhi hatinya juga.

"Mau ngapain ke sini, Ndro?"

"Mau jemput kamu. Pokoknya wajib ikut ke Banyuwangi."

"Acara apa?"

"Piknik. Udahlah, iya aja. Sok-sokan banget, kayak yang udah pernah ke sana aja."

"Nggak usah lah, Ndro, nggak enak sama yang lain. Mana ada anak magang baru hitungan hari udah bisa santai-santai melenggang sebelum habis jam kerja."

"Lha piye? Apa perlu bosnya langsung yang telpon ke sini?"

"Ya nggak gitu juga, Ndro."

"Wes ta lah, tinggal melok ae kok ribet, lho."

Dasar Andro. Dia mana pernah merasa tak enak hati untuk urusan macam begini? Nggak pernah. Nggak tahu. Dan mungkin nggak pernah mau tahu. Ini perusahaan papanya, dan semua orang tahu seperti apa sayangnya Antariksa pada anak laki-laki kebanggaannya itu. Hubungan keduanya memang pernah memburuk, itu pula yang membuat Andro malah makin seenaknya.

"Mau berangkat jam berapa memangnya?" Wahyudi bertanya lagi. Mencari kemungkinan untuk menyelesaikan dulu jam kerjanya hari itu.

"Yo saiki, lah. Udah ditungguin Salma sama keluarganya. Mas Dim sama Mbak Re juga ikut kok. Malah eyangku segala pada ikut. Ini memang yang mau omanya Salma, beliau kan deket banget sama eyang mami eyang papi, makanya pada ikutan semua. Ayolah, pantainya juga bagus lho."

"Tapi...."

"Ya udah, kalau gitu ini hari terakhirmu magang. Nanti sore papa kusuruh mecat kamu aja lah. Kerja malah jadi nggak asyik sama temen."

"Kamu nggak pernah ada di posisi ini sih, Ndro. Aku pekewuh sama yang lain."

Wahyudi menghela napas. Andro kalau sudah punya mau susah sekali untuk berkompromi. Suka memaksakan kehendak dan seringkali tak memikirkan sekeliling. Apalagi pada hal-hal yang dia merasa punya wewenang.

Por Tu AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang