10. Peringatan

461 98 36
                                        

Matahari sedang terik-teriknya, tempat di atas kepala. Wahyudi baru saja keluar dari musala kecil yang ada di salah satu sudut di luar direksi keet. Hendak makan siang, tapi diurungkan. Perutnya mendadak kenyang setelah membaca rentetan pesan dari seseorang.

[Dear Yudi]

[Aku sudah sampai di madrid. Sudah berkumpul lagi dengan papa, beni, dan sebastian. Ada mireya juga. Dan teman perempuan beni yang baru lagi. Oh dios mio.]

[Cuma kamu yang belum ada di sini. Jajaja...]

Wahyudi menggigit bibir bawahnya, menahan senyum yang memaksa lolos dari sana. Sejujurnya, ada yang berdesir-desir di dalam hatinya.

[Anyway, terima kasih sudah menemani waktu aku kesepian. Terima kasih sudah menjaga dan membuat aku merasa nyaman. Terima kasih tidak marah karena kejadian di airport.]

[I'm sorry. Sooooo sorry.]

[And....]

[I miss you. Sooooo miss you.]

[Are you the same as me?]

[What? You don't? Oh, I'm so saaad. Sad. Sad. Sad.]

[*lima emoticon menangis]

[*lima emoticon tertawa]

Wahyudi mengulang baca dari pesan yang pertama. Dadanya kembang kempis oleh rasa gembira.

Beberapa hari setelah kejadian di bandara, pesan dari Leticia akhirnya menghiasi gawainya. Diakui atau tidak, Wahyudi diam-diam menanti datangnya momentum ini. Pemuda itu tersenyum-senyum sendiri. Keukenhof mendadak pindah ke dadanya sebab bunga-bunga musim semi bermunculan di sana.

[Hola Leticia Gomez.]

[Enjoy your normal life again.]

[Maaf kalau aku punya banyak kesalahan selama menemanimu di Surabaya. Nice to know you.]

Yudi rasa balasan itu sudah cukup. Kalau mengikuti keinginan hati, tentunya ia ingin membalas dengan lebih banyak pesan nan penuh keakraban, tapi dia keburu sadar siapa dirinya, juga perasaan apa yang sedang coba dia jaga.

Kalau bicara tentang merindukan, tentu saja Wahyudi tahu persis bahwa dia telanjur melakukan. Bagaimana tidak, jika setiap kali sendirian yang melintas berulang-ulang di kepalanya adalah waktu-waktu bersama dengan gadis berambut keriwil kecoklatan yang selalu riang dan bersikap apa adanya itu? Senyum lebarnya, tawa lepasnya, obrolan yang tanpa tedeng aling-aling, sentuhannya yang sekilas-sekilas tapi menghangatkan hati.

"Ya Allah, apa ini yang namanya jatuh cinta?" gumamnya lirih.

Gawainya kembali berbunyi. Nama Leticia terbaca pada bilah notifikasi.

[Do you know that my life is no longer normal since we met?]

Degup jantungnya kembali tak beraturan. Apakah dia merasakan hal yang sama? Bahwa hidupnya tak lagi normal setelah pertemuan mereka.

Wahyudi tak berniat membalas lagi, hanya menelan ludah dan menghela napas berkali-kali. Satu hal baru dia sadari, jatuh cinta ternyata tak semudah gebet sana sini. Kebiasaan lamanya berkaitan dengan kaum hawa mendadak dia sesali.

Kenapa perasaan itu datang setelah dia berikrar tak akan berurusan dahulu dengan lawan jenis sampai dia mapan? Kalau rasa itu datang sebelum berikrar, mungkin tak akan sesulit ini menghadapinya.

Kenapa pula gadis yang memiliki perasaan khusus padanya harus Leticia? Terlalu tebal dan tinggi tembok yang membentang diantara mereka, yang mungkin hanya kalah bersaing dengan tembok Konstantinopel di Istanbul sana.

Por Tu AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang