3. Berdua Saja

518 114 37
                                    

"Apakah kamu menyukai dia, Leticia Gomez?"

Leticia beserta mama dan omanya baru usai sarapan. Tantenya, Dita, ikut serta berada di meja makan, menemani saja, sebab ia sudah makan lebih dulu pagi tadi. Jam biologis mereka memang berbeda.

Obrolan tentang suasana di Indonesia, khususnya Surabaya, menjadi topik yang menghangatkan permulaan hari mereka. Tapi pertanyaan yang mendebarkan hati Leticia mendadak tercetus dari Sara, sang mama.

"Ehk, d-dia siapa maksud Mama?" Leticia mendadak gugup menjawab pertanyaan mamanya.

"Judi. Temannya Andro."

Tentu saja Leticia sebenarnya sudah tahu maksud sang ibu. Dia cuma kura-kura dalam perahu, berpura-pura tidak tahu.

"Namanya Yudi, Mama. Dengan i griega yang dibaca seperti double elle, bukan je."

"Ya, itulah pokoknya. Mama sengaja salah ucap, mau tahu respon kamu." Sara terkikik, Oma Lucia dan Tante Dita juga. Tapi ketiganya segera diam begitu melihat wajah si anak gadis yang tersipu-sipu.

"Mama mau puding lagi?"

"Jangan mengalihkan topik pembicaraan wahai anak perempuan Baltasar Gomez Garrido." Mamanya mengultimatum. Leticia ganti cekikikan, lalu berdiri, hendak beranjak meninggalkan meja makan. Menghindar dari pertanyaan sang ibu yang membuatnya malu-malu.

"Eit, mau ke mana? Jawab dulu pertanyaan mama." Dicekalnya lengan Leticia. Gadis itu terpaksa duduk kembali sambil cemberut.

"Mama sudah bikin aku malu waktu di mobil kemarin. Mama mau bikin aku malu lagi di depan Oma dan Tante Dita, begitu?"

"Kamu menyukai dia?"

"Kenapa Mama bertanya dan men-judge aku seperti itu?"

"Karena sejak malam kamu beli ronde dengan Andro dan Salma, dan dia juga, Yudi, mama mendengar kamu sering menanyakan tentang anak itu setiap kali bertemu sepupumu. Terus responmu tadi, waktu Iksa menawarimu berpindah ke mobilnya, itu terlalu berlebihan untuk orang yang perasaannya biasa saja, Leti."

"Ya, so...."

"Kamu menyukai dia?"

"Kalau sudah mengamati dan bahkan sampai mengambil kesimpulan segala, apakah mama masih perlu bertanya?"

"Baiklah. Berarti feeling mama benar. Kamu menyukai dia. Kamu menyukai Yudi. Wahyudi."

"Ya, Mama. Aku menyukainya. Terus kenapa?"

"Dia berbeda dengan kita, Leticia?"

Raut wajah Leticia berubah seketika. Rahangnya mengeras. Ia kecewa.

"Berbeda? Berbeda apanya, Mama? Dia manusia, sama dengan kita." Nadanya datar saja, tapi terlihat jelas ia memendam perasaan tak nyaman.

"Banyak hal, Leticia."

"So... sejak kapan Mama mempermasalahkan suatu perbedaan? Dan sejak kapan Mama menilai manusia dengan tidak adil semacam itu?" Leticia mulai menunjukkan perlawanan.

"Leticia, Mama menyayangi kamu. Mama takut kamu akan pergi jauh dari pandangan mama. Mama takut kamu akan berbeda dari kami semua. Keyakinan kita dengan Wahyudi juga berbeda, Leticia. Kamu tahu itu, kan?"

Tentu saja Leticia tahu. Tahu bagaimana posesifnya sang mama akan dirinya. Tahu bagaimana kedua orang tuanya selalu mengkhawatirkan dirinya. Tahu bahwa ia selalu mendapatkan penjagaan dan perlakuan berbeda dengan kakak-kakak laki-lakinya.

Pada sebagian sisi hidupnya, sang mama membesarkan Leticia dengan cara Indonesia. Itu karena dia anak perempuan satu-satunya, juga yang paling kecil diantara ketiga anak pasangan Baltasar Gomez dan Sara. Selama ini Leticia selalu merasa senang dengan itu semua. Merasa menjadi seseorang yang kaya adat dan budaya karena dibesarkan oleh pasangan berbeda tradisi. Merasa menjadi seseorang yang paling diperhatikan dan disayangi. Merasa beruntung karena dibesarkan dengan pemikiran yang modern dan terbuka. Ia menikmati semuanya. Tapi begitulah, kehadiran perasaan baru yang belum pernah ia rasai sebelumnya memang bisa mengubah segalanya.

Por Tu AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang