Jam sebelas siang. Dimas masuk ke direksi keet dan langsung menghampiri Wahyudi. Setelah bicara sedikit, dia menyampaikan pada staff di ruangan tersebut bahwa dia ada perlu di luar dengan Wahyudi. Tidak ada yang berani nyinyir, bagaimana pun Dimas adalah kepanjangan tangan dari pucuk pimpinan perusahaan.
Keduanya pergi dengan Mini Cooper milik Dimas. Lebih tepatnya milik Rea, istri Dimas. Kediaman keluarga Antariksa jadi tujuan. Dari sana, Yudi akan mengantar Andro dan Salma ke Juanda. Dimas dan istrinya juga akan ke sana, berdua.
Hari itu Andro akan mendampingi Salma dan ibunya ke Spanyol untuk mengunjungi keluarga Sara. Ini berarti Leticia akan pulang ke negeri tempatnya lahir dan dibesarkan. Dan seperti yang Yudi harapkan, kedekatan mereka —yang tak banyak juga frekuensinya— akan selesai dan menjadi kenangan. Mungkin.
"Mikir apa?" Pertanyaan Dimas membuat Wahyudi gelagapan. Edan, iso-isone ngalamun, Yud! rutuknya dalam hati.
"Soal pekerjaan atau soal lain?" tanya Dimas lagi.
"Nggak, Pak. Nggak sedang mikir apa-apa, kok."
Dimas tersenyum sambil melirik pemuda yang duduk di sebelah kirinya. "Gimana hubunganmu sama dia?"
"Eh, sama siapa ya, Pak?"
"Leticia."
Wahyudi tertawa kecil. Sayangnya Dimas menangkap dengan jelas kalau tawa itu tidak lepas. Hanya untuk menyamarkan perasaan saja.
"Cuma teman, Pak. Dia sering sendirian, nggak ada yang menemani. Kadang tanya ke saya bisa menemani atau nggak. Kalau saya sedang luang, ya saya usahakan menemani. Tapi saya jarang luang sih, Pak."
"Jarang luang apa sengaja cari-cari pekerjaan? Saya tahu lho update informasi dari lapangan."
Wahyudi tertawa lagi, kali ini tawa yang asli, berasal dari hati nurani.
"Saya mengaku kalah, Pak." Wahyudi tertawa lagi. Dimas hanya tersenyum lebar. Memang dia irit bicara dan hemat tawa.
"Ya begitulah dinamika kehidupan anak muda. Saya yakin kamu bisa baca gelagat. Yang penting jangan PHP saja. Kalau tidak, katakan tidak. Kalau iya... saya sarankan untuk dipikirkan lagi. Ya minimal bukan untuk sekarang ini."
"Siap, Pak. Delapan enam," guraunya.
"Bagus, lah. Bukan apa-apa, bukan saya mau ikut campur juga, tapi saya melihat kamu punya potensi untuk ke depannya. Dan menurut saya, salah satu cara menjaga potensi kamu itu adalah dengan menjaga diri agar tetap berada di jalan yang lurus. Jalan yang Allah ridhoi. Urusan lain yang sekiranya bisa melalaikan untuk sementara bisa dikesampingkan. Nggak harus lama, kan? Mungkin cuma empat lima tahun ke depan."
Wahyudi tentu tahu pembicaraan itu bermuara ke mana. Yang ia tidak sangka, gelagat Leticia rupanya sudah bukan rahasia di kalangan keluarga Antariksa.
"Istri saya mengikuti perkembangan terkini tentang keluarganya. Dan dia dekat sekali dengan Salma. Info yang berkembang sudah pasti sampai juga ke telinga saya." Dimas seperti bisa membaca pikiran si lawan bicara.
Mobil memasuki halaman rumah keluarga Antariksa. Dimas menganggukkan kepala pada Pak Surip, Wahyudi melakukan hal yang sama. Dalam hati merasa lega karena terbebas dari pembicaraan yang membuat jantungnya memompa darah lebih cepat dari seharusnya.
Menjelang pukul satu, Wahyudi bersama Andro dan Salma meluncur ke bandara. Papa dan mama Andro sejak pagi ada urusan di luar dan berpesan akan langsung bertemu di bandara saja. Keluarga Salma yang lain —termasuk Leticia— berangkat dari kediaman keluarga Johan.
Tiba di bandara, yang lain sudah lebih dulu ada di sana. Mama dan papa Andro. Dimas dan Rea. Juga kedua eyang Andro dari pihak papa. Keluarga Salma yang lain datang sepuluh menit kemudian. Suasana mendadak seperti family gathering, hingga tak ada yang menyadari ketika Leticia menarik lengan Wahyudi dan pergi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Por Tu Amor
Ficción GeneralBaru saja berikrar untuk tak berurusan dengan perempuan sebelum berhasil menjadi pria mapan, Wahyudi justru dipertemukan dengan Leticia, gadis blasteran Indonesia-Spanyol yang jatuh cinta kepadanya. Diam-diam Wahyudi menyimpan rasa yang sama. Alih-a...