Chapter 4

115 25 6
                                        

Sesampainya di sebuah pondok bambu tidak terlalu jauh dari Jiu Yi San, Yibo langsung masuk begitu saja ke dalam, seperti sudah terbiasa dengan pondok itu. Zhan terlihat lega begitu Yibo sudah tidak terlihat. Pondok itu benar-benar tempat tinggal muridnya. Hanya sebuah tempat kecil yang terlihat seperti gubuk tempat minum-minum. Beratap jerami dengan halaman depan luas berpagar bambu reyot.

Dia hendak beranjak, saat tiba-tiba ada sebuah pergerakan dari arah berlawanan. Seseorang berpakaian tertutup dan penutup kepala dari jerami. Wajahnya mengenakan cadar, berjalan mengendap-endap ke arah pintu pondok tempat tinggal Yibo. Zhan mengamati orang itu dari kejauhan, terlihat sangat mencurigakan hingga membuatnya harus mengurungkan niat untuk kembali ke paviliun. Langkahnya bergerak mendekat ke pondok tempat tinggal Yibo, mengamati dari jarak yang lebih dekat.

Tok … tok … tok ….

Pria itu pun mengetuk pintu, hal itu sedikit membuat Zhan lega, karena artinya pria bercadar itu bukanlah orang berbahaya, seperti perampok atau penyusup. Lagi pula apa yang Zhan pikirkan, bagaimana bisa dia begitu mengkhawatirkan bocah dua belas tahun yang baru diakuinya sebagai murid. Ini karena dalam hati Zhan merasa harus mengetahui kehidupan bocah itu lebih dalam, dia penasaran dengan anak itu. Pergolakan yang membuat fokusnya sedikit memudar itu menyadarkan diamnya.

“Masuklah, Paman Han,” Yibo berteriak dari dalam mempersilakan orang itu untuk masuk. Begitu pintu ia buka, orang yang dipanggil Paman Han seketika memberi hormat dengan menekuk satu kakinya kemudian menyatukan kedua tangannya sejajar dengan dada.

Dianxia, apa Anda baik-baik saja? Saya baru saja kembali dan mendapati Anda tidak ada di tempat. Saya mencari Anda dan tidak mampu menemukan. Maafkan hamba, Yang Mulia,” terang Paman Han, raut wajahnya tampak sangat penuh kekhawatiran.

“Bangunlah, Paman,” ucap Yibo sambil menepuk pundak Paman Han. “Sudah berapa kali aku bilang, jangan memanggilku seperti itu, sekarang aku bukan siapa-siapa, dan Paman tau itu. Paman, bisakah lebih santai saja. Ya Dewa … tidak ada yang mengenaliku di sini dan Paman ini masih saja terus memanggilku seperti itu. Aku bahkan tinggal di gubug seperti ini, Paman,” keluhnya.

“Tapi, Yang—”

“Yibo, panggil seperti itu saja,” potong Yibo. Dirinya benar-benar tidak suka saat kata itu terucap. Baginya panggilan itu adalah sebuah beban tanggung jawab yang belum tentu bisa dia pikul, juga membuatnya harus kembali kesakitan mengingat kenangan akan keluarga. Yibo merasa saat ini dirinya bukanlah siapa-siapa.

“Tuan Muda, mungkin seperti itu saja. Saya merasa terlalu lancang bila memanggil Anda dengan nama saja. Maaf karena tidak menuruti keinginan, Anda,” ungkapnya.

“Baiklah, terserah Paman saja,” pungkas Yibo kemudian berlalu meninggalkan Paman Han untuk membersihkan diri. “Ah, iya, hari ini aku sedang sangat bahagia, Paman. Akhirnya Tuan Pendeta Abadi menerimaku menjadi muridnya. Astaga aku benar-benar senang, akhirnya aku memiliki guru. Aku akan berlatih dengan sungguh-sungguh agar bisa menjadi ahli pedang yang hebat, dan suatu saat nanti ‘orang itu’ akan menerima pembalasan dariku,” ungkap Yibo sebelum benar-benar menghilang dari hadapan Paman Han, sementara orang di hadapannya hanya mampu tersenyum kecut. Dia tahu semua itu mungkin tidak akan pernah terjadi.

“Tentu saja, Dianxia,” balasnya sendu, kemudian ia beranjak keluar dari gubuk bambu dan bersandar di pintu sambil memeluk pedang yang dibawanya. “Ya Dewa, lindungi Yang Mulia. Sepertinya aku harus membicarakan ini dengan Tuan Pendeta Abadi,” monolognya sambil menatap ambang pintu.

THE BROKEN THRONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang