Satu

19.9K 309 15
                                    


Bab 1


Suara tarikan koper terdengar sepanjang langkah seorang wanita yang terburu-buru mencari ruangan di mana sahabatnya berada.

Dia adalah Cristiana Loventa, wanita 29 tahun yang kembali ke tanah air setelah hampir 6 tahun berada di luar negeri.

Napasnya terengah sambil menarik koper besar miliknya sampai akhirnya ia menemukan ruangan yang sudah disebutkan oleh perawat.

Tiana--sapaan akrabnya--membuka pintu ruang yang tertutup rapat hingga menimbulkan suara yang keras.

Aksinya tentu saja mengejutkan beberapa orang yang berada di dalam ruangan tersebut. Termasuk, seorang pria dengan wajah dingin yang duduk di samping ranjang tempat istrinya berada.

Tak peduli dengan tatapan beberapa orang tersebut, Tiana melangkah dengan tergesa-gesa menuju ranjang rumah sakit dan tanpa sungkan menyingkirkan dua orang wanita yang menghalangi penglihatannya.

"Silvi?" Tiana tercengang saat melihat wajah sahabatnya yang tampak pucat. Sementara tubuhnya tampak kurus dengan tulang yang hanya menempel dengan kulit. "Ini beneran elo? Sumpah demi apapun? Kenapa lo bisa jadi seperti ini, Sil? Laki lo nggak kasih lo makan?"

Tiana menatap shock pada tubuh sahabatnya. Kemudian, wanita itu melemparkan tatapan tajamnya pada pria yang diaduga sebagai suami dari sahabatnya.

"Lo nggak kasih sahabat gue makan? Woah, benar-benar lo jadi laki." Tiana mengepalkan tinjunya di udara sambil melempar tatapan tajamnya pada pria di seberang tempat tidur Silvi.

"Ti, suamiku orangnya baik, kok. Aku tentu saja diberi makan yang enak," sahut Silvi sambil tersenyum.

Tatapan Tiana kemudian beralih pada sahabatnya.

"Ya ampun, Silvi. Gue kangen banget sama lo." Tiana kemudian dengan hati-hati langsung memeluk Silvi agar tidak mengenai infus yang terpasang di tangan sahabatnya.

"Aku juga udah kangen banget sama kamu. Udah 6 tahun lebih kita nggak ketemu, semenjak kejadian itu."

"Iya, semenjak gue tahu kalau gue dikhianati sama laki-laki babi itu."

Silvi tersenyum menanggapi ucapan sahabatnya.

"Terus gimana dengan bayi-bayi lo? Mereka sehat-sehat aja 'kan? Gue mau ketemu dengan keponakan-keponakan gue itu." Tiana tersenyum menatap sahabatnya. Sementara air mata sudah menetes di pipinya ketika melihat Silvi yang tampak kurus dan pucat.

"Bayi aku sehat-sehat aja, Ti. Alhamdulillah." Wanita yang baru saja melahirkan itu tersenyum kemudian mengangkat tangannya untuk menggenggam tangan Tiana. "Aku bisa minta tolong sama kamu?"

"Mau minta tolong apa? Apapun yang bakal lo minta gue bakalan turuti. Buktinya aja lo kemarin minta gue datang, gue datang sekarang." Tiana tersenyum sambil menggenggam kedua tangan sahabatnya. "Lo itu sahabat terbaik gue. Gue nggak akan pernah mengecewakan lo."

Senyum lembut terukir di wajah Silvi mendengar perkataan sahabatnya.

Wanita itu melepaskan satu tangannya kemudian menggenggam tangan suaminya yang berada di sisi lain.

Meski tidak mengerti dengan aksi yang dilakukan oleh Silvi, Tiana tetap diam saat tangannya berada di bawah tangan suami dari Silvi dan tangan Silvi sendiri.

"Aku mau minta tolong sama kamu untuk jaga dan rawat anak-anak aku, Ti. Bisa?"

"Tentu saja bisa. Lagi pula ada keluarga lo dan juga suami lo yang pasti akan bantu lo untuk merawat anak-anak lo. Gue juga akan sering-sering berkunjung ke rumah lo buat ketemu elo dan keponakan-keponakan gue. Lo tenang aja, Sil. Gue udah resign dari pekerjaan gue di Amerika, dan memutuskan untuk buka usaha di sini. Lelah hayati kalau harus kerja terus sama orang. Lo pasti senang 'kan dengan kabar bahagia gue?"

  Tiana menaik turun alisnya sambil menatap sahabatnya dengan senyum miring.

Sebelum pulang ke Indonesia, memang Tiana sudah berniat untuk resign dan menetap di negara kelahirannya. Lagi pula ia juga sudah melupakan laki-laki babi yang sudah menghianatinya. Kemudian, kemarin sahabatnya meminta agar ia mempercepat pulangnya agar bisa bertemu. Tiana yang tidak tega menolak terlebih lagi  Silvi baru saja melahirkan langsung setuju tanpa ragu-ragu untuk melakukan penerbangan kemarin siang dan baru tiba hari ini.

Silvi menghela napas sambil menggenggam tangan sahabat dan juga suaminya. Kelopak matanya tertutup sejenak, sebelum kembali terbuka dengan senyuman manis yang menghiasi wajah cantiknya.

"Aku butuh kamu untuk menjadi Ibu dari anak-anak aku," kata Silvi dengan suara lemah.

"Kalau masalah itu, lo tenang aja. Gue juga nggak niat untuk menikah dan pasti akan menganggap anak-anak lo itu sebagai anak gue juga."

Terjadi keheningan sejenak setelah mendengar perkataan Tiana yang begitu enteng.

"--dan istri untuk suami aku."

Tiana menganggukkan kepalanya. "Kalau itu lo tenang aja, gue juga akan menganggap suami lo--" seketika itu Tiana langsung melotot menatap tajam pada sahabatnya. "Ada gila-gilanya lo! Kenapa pula gue harus menganggap suami lo sebagai suami gue juga? Sil, lo jangan salah paham. Gue akan menganggap anak-anak lo seperti anak gue juga. Kalau suami lo ya suami lo."

Sungguh demi apapun, Tiana tidak sadar dengan ucapan terakhir Silvi, makanya ia mengangguk saja.

Cengkraman di tangan Tiana semakin erat membuat wanita itu menatap sahabatnya dengan hati-hati.

"Aku tahu kalau hidupku nggak akan lama lagi, Ti. Aku sakit dan keadaanku semakin melemah. Kamu mau 'kan menggantikan posisiku untuk menjadi istri Mas Hadi dan ibu untuk anak-anakku? Aku mohon, Ti."

Segera Tiana langsung melepaskan tangannya dari genggaman Silvi dan mundur selangkah menatap sahabatnya dengan tatapan ngeri.

"Lo jangan berpikir yang aneh-aneh, Sil. Lo tahu 'kan background keluarga gue kayak gimana? Terus, ditambah dengan gagalnya pernikahan gue beberapa tahun silam karena penghianatan yang dilakukan laki-laki babi itu? Gue aja sudah lama memutuskan untuk menjomblo seumur hidup." Tiana menggelengkan kepalanya tidak setuju. "Gue menolak tegas. Lagian lo itu pasti bakalan sehat dan keluar rumah sakit, kita bisa senam zumba bareng-bareng. Jadi, enggak perlu lo buat drama seolah-olah lo akan mati."

"Aku serius, Cristiana Loventa. Aku memang sakit, dan aku membutuhkan kamu untuk menjadi istri Mas Hadi dan ibu untuk anak-anak aku." Silvi berbicara dengan suara terengah. "Anggap saja ini sebagai kado pernikahan yang belum pernah kamu kasih ke aku. Kado kelahiran anak pertama aku, dan kado untuk kelahiran anak kembar aku. Selama beberapa tahun ini juga, kamu nggak pernah memberikan aku kado ulang tahun. Jadi, aku mau menagihnya."

"Gila! Kalau lo mau hadiah bakalan gue kasih. Tapi, bukan berarti kado yang lo mau itu adalah kebebasan gue." Tiana menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Pokoknya lo bakalan keluar dari rumah sakit dan kita bakalan senam zumba bareng-bareng. Terus, kita bakalan nongkrong dekat sekolah SMA kita dulu. Okey? Kalau begitu gue permisi dulu, mau pulang ke rumah."

Tiana kemudian langsung berbalik pergi dan menarik kopernya meninggalkan ruangan yang dalam keadaan sunyi.

Kunikahi Sahabat Istriku [21+]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang