Bab 4
Tiana menatap anak kecil yang duduk di sofa seraya berkacak pinggang.
Lihatlah tatapan anak itu begitu polos saat menatapnya. Rasa-rasanya Tiana ingin sekali terbang meninggalkan dunia ini.
Anak kecil!
Kalian bayangkan, sejak berusia belasan tahun ia sudah terbiasa hidup mandiri bersama neneknya. Kemudian saat neneknya meninggal dunia, Tiana sudah bisa mencari uang sendiri.
Wanita itu bahkan sekolah dengan biaya sendiri dan kuliah dengan uang hasil kerjanya.
Fokus hidup Tiana adalah bekerja dan mencari uang, lalu bersenang-senang. Merasa jika ia tetap di Indonesia hidupnya tidak akan maju, Tiana memutuskan untuk merantau setelah lulus kuliah. Wanita itu menetap di luar negeri dan bekerja di sebuah perusahaan asing dimulai dari cleaning service sampai akhirnya ia bisa menduduki jabatan dengan posisi yang bagus. Tentunya semua ini berkat kerja keras Tiana dalam mendekati bos-bos besar sehingga mereka selalu menganggap kehadirannya ada.
Tiana hidup dengan bebas melalang buana kemanapun dia pergi. Tidak ada orang tua yang bisa mencegahnya tidak ada rumah tempat di mana ia bisa pulang.
Tiana mendedikasi kehidupannya untuk bekerja, mengumpulkan uang yang banyak, kemudian bersenang-senang.
Penghianatan yang dilakukan oleh papanya terhadap mamanya membuat Tiana muak untuk dekat dengan laki-laki. Namun, ketika ia jatuh cinta sekali pada seorang pria dan menjalin hubungan lebih dari 2 tahun, ternyata laki-laki itu menghianatinya, di saat itu pula Tiana berjanji pada dirinya sendiri jika ia tidak akan terjerumus untuk yang kedua kalinya.
Sayang sekali, motto kehidupan Tiana yang tidak akan menikah dalam hidup ini, bisa musnah begitu saja saat sahabatnya sedang dalam kondisi sekarat, menginginkan agar ia menggantikan posisinya menjadi istri dari suami sahabatnya sendiri.
Belum lagi tiga orang anak yang sudah menanti kasih sayang dari seorang mama yang sudah pergi menghadap sang pencipta, membuat Tiana tidak bisa membayangkan bagaimana cara membesarkan anak-anak itu.
"Kenapa kamu menatap tante begitu?" Tiana berkacak pinggang menatap pada Elle.
"Kata papa kalau Tante itu mama baru aku dan adik-adik aku. Berarti aku harus panggilnya apa? Mama Tiana?" Elle menatap polos pada sosok wanita yang selalu ceritakan oleh mamanya.
Bisa hampir setiap hari Elle mendengar mamanya menceritakan tentang Tiana yang akan merawat mereka.
"Heh, nggak bisa gitu. Kamu harus panggil tante dengan sebutan tante aja. Tante ini sahabatnya Mama kamu. Kamu boleh anggap Tante seperti mama kamu sendiri, tapi panggilannya tetap tante."
Elle menggeleng pelan kepala kecilnya. "Kata Mama, aku harus panggil tante Tiana dengan sebutan mama."
"Hah? Kapan Mama kamu bilang begitu?" Tiana mendadak waspada takut-takut jika Elle ternyata bisa melihat hantu mamanya.
Bukankah anak kecil bisa melihat hantu? Itu sih yang diketahui oleh Tiana dari orang-orang zaman dulu yang mengatakan jika anak kecil bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang dewasa.
Tiana mendadak duduk di sebelah Elle ketika melihat anak itu mengalihkan tatapannya ke arah lain.
Merinding mulai muncul di sekujur tubuh Tiana membuat wanita itu semakin was-was jika Elle ternyata benar-benar bisa melihat hantu.
Walaupun tadi Tiana sempat khilaf ingin menarik kepala batu nisan Silvi, tetap saja ia masih takut dengan hal-hal yang berbaur horor.
"Mama sering suruh aku panggil tante dengan sebutan mama. Sebelum Mama melahirkan adik-adik kembar, Mama juga suruh aku panggil tante Tiana dengan sebutan mama."
Perkataan Elle membuat Tiana segera menatap gadis kecil itu.
"Mama kamu sering bilang kayak gitu? Mama tiri itu jahat lho, Ell. Kamu memangnya nggak takut kalau nanti kamu bakalan tante siksa tante kurung di dalam kamar mandi?"'
Elle menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak takut. Nanti tinggal aku lapor sama Papa aja," kata gadis Itu polos.
"Eh, nanti 'kan Tante bisa akting di depan Papa kamu dan bilang kalau Tante nggak ada kurung kamu di kamar mandi."
"Ada itu. Papa bisa lebih percaya sama itu."
Tiana mengikuti arah telunjuk Elle yang mengarah pada beberapa CCTV yang memang terpasang di dalam rumah ini.
Segera wanita itu merebahkan tubuhnya di atas sofa. "Tapi Tante ini nggak mau jadi mamanya kamu, Elle. Kamu dan adik-adik kamu tetap jadi keponakan tante."
"Kata papa kalau Tante udah jadi istrinya papa aku berarti udah jadi mamanya aku."
"Aihhh!"
Tiana yang kesal berteriak dan mengacak-acak rambutnya, membuat Elle tanpa sadar bergerak menjauh dari wanita yang rambutnya sudah acak-acakan.
"Takut 'kan kamu sama tante?"
Sepertinya Tiana harus menakut-nakuti anak ini agar dia bisa melaporkan pada papanya Jika dia bukan wanita yang baik untuk dijadikan Mama tiri.
Elle ditanya tentu saja menganggukkan kepalanya dengan ekspresi takut. "Iya, Mama Tiana mirip sama orang gila yang di pinggir jalan."
Kali ini Tiana bahkan tidak bisa berkata apa-apa lagi dan berteriak dengan suara yang nyaring melampiaskan rasa kesalnya karena kejadian yang menimpanya begitu tiba-tiba.
Kalau tahu seperti ini ia tidak akan pulang ke Indonesia! Argh! Wanita itu berteriak kembali hingga membuat Hadi yang berada di dalam kamarnya segera melangkah keluar dan menatap wanita yang baru saja tadi malam menjadi istrinya itu duduk di sofa dengan rambut yang acak-acakan.
Sementara putrinya Elle berdiri di atas sofa sambil menatap takut pada Tiana.
"Pa, Mama Tiana sepertinya harus minum obat." Melihat kehadiran papanya segera Elle melapor.
"Iya, Elle ke tempat Mbak dan masuk ke dalam kamar. Nanti papa bakalan temenin Elle tidur."
Hadi memberi kode pada salah satu baby sitter yang berada di dekatnya untuk segera membawa Elle menuju kamarnya.
Sepertinya ia memang harus berbicara serius dengan wanita yang mungkin sebentar lagi akan stress ini.
Hadi juga tidak mengerti mengapa istrinya ngebet sekali ia harus menikah dengan Tiana. Padahal mencari wanita lain saja ataupun tidak berniat menikah bisa dilakukan oleh Hadi.
Setelah melihat tidak ada orang lagi di ruangan ini, barulah Hadi mengambil langkah dan duduk di sebelah Tiana.
"Saya tidak tahu kenapa istri saya menginginkan kamu menjadi istri saya, menggantikan posisinya. Tapi, apapun itu saya yakin ini adalah yang terbaik yang dipikirkan oleh Silvi. Terima saja kenyataan kalau kamu sudah menjadi istri saya begitu pula sebaliknya." Hadi berkata seraya menatap Tiana yang duduk dengan kepala menunduk.
"Saya nggak akan bisa jadi istri apalagi menjadi ibu buat anak-anak Mas. Mas tahu sendiri kalau hidup saya ini terlalu bebas. Saya nggak bisa dikekang dengan segala aturan pernikahan yang ada," kata Tiana.
Wanita itu mengangkat kepalanya dan membalas tatapan Hadi.
"Bagaimana kalau kita pisah saja?"
Hadi menggelengkan kepalanya. "Saya nggak ingin mempermainkan pernikahan. Almarhumah istri saya sudah mengamanatkan kamu untuk menjadi istri saya. Jadi, kamu akan tetap selamanya menjadi istri saya. Kecuali, maut yang memisahkan kita, baru kamu boleh pergi."
Tiana tidak bisa berkata-kata lagi ketika mendengar apa yang diucapkan oleh Hadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kunikahi Sahabat Istriku [21+]
RomantizmCerita 21+ ⚠️ Harap bijak dalam membaca sebuah cerita. Ini kisah ada adegan yang tidak patut dibaca oleh anak di bawah umur. Sudah diberi peringatan tapi masih memaksa untuk membaca, bukan urusan saya lagi. Cristiana Loventa atau kerap disapa seb...