14 Juni 2022Nyala api tampak merona di tengah kepungan masa. Diiringi dengan nyanyian serta tarian yang begitu meriah. Remaja-remaja dengan pakaian cokelat kebanggaan itu pun tampak bersuka cita. Gerimis tak menghalangi setiap rangkaian acara yang sudah seharusnya terlaksana.
"Kak Cendana, nanti yang menjadi perwakilan sangga Kakak siapa?"
Cendana menoleh lantas tersenyum. "Nanti aku yang maju, kenapa, Dek?" tanyanya pada adik kelas yang sudah dikenalnya sejak zaman Sekolah Dasar.
"Mau nampilin apa, Kak?"
"Mau baca puisi."
"Good luck, ya, Kak."
"Iya, terima kasih."
Sempat terlupa, Cendana segera merogoh ponsel di saku baju kanannya. Ia belum juga memberi kabar pada orang rumah mengenai kondisi terkini di tempat perkemahan. Wajar saja, Cendana terlampau kalut ketika apel api unggun dimulai. Satu per satu teman seangkatan atau bahkan adik kelasnya berjatuhan. Mereka semua kalah dalam bertarung dengan eksistensi makhluk halus di tengah kegiatan malam. Beruntungnya Cendana ingat setiap pesan yang orang tuanya berikan. Jangan berhenti berdoa supaya tetap terlindungi dari segala marabahaya yang mungkin saja terjadi.
Usai memberi kabar pada orang tuanya, Cendana membaca sebuah pesan dari Bumi, teman seangkatannya yang bertugas menjadi PMR di kegiatan Kemah Blok kali ini.
Bumi menanyakan perihal cuaca di sekolah. Apakah sedang hujan atau malah sebaliknya. Alis Cendana bertaut, merasa terheran dengan sosok Bumi yang selalu saja receh.
Cendana membalas pesan Bumi sambil mengoceh karena pertanyaan yang Bumi ajukan sangat tidak masuk akal.
"Memangnya kamu di mana? Kita berbeda planet atau bagaimana?"
Kemudian Cendana kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku. Malas menanggapi Bumi, karena memang sudah selayaknya seperti itu. Cendana sangat malas menanggapi pesan dari cowok yang menurutnya memang tidak terlalu dekat, bahkan jika itu teman sekelasnya sekalipun.
"Kerasukan, ya, Na?" tanya Melati, teman satu sangga Cendana yang sejak tadi asik menikmati pentas seni.
"Astagfirullah, Mel, ini loh, si Bumi nggak jelas banget," jawab Cendana dengan malas.
"Kenapa emang?"
"Dia di mana, sih? Masa dia mengirim pesan ke aku dan tanya di sini hujan atau enggak."
Melati terkekeh. "Nggak jelas banget si Bumi," ucapnya yang menyetujui perkataan Cendana.
Malam semakin larut dan Cendana merasa kedua kakinya mulai kebas. Setiap sendi tubuhnya terasa linu dan kepalanya juga berdenyut tak karuan. Api telah berhasil menghabiskan bongkahan kayu yang ditata indah menjulang. Hawa dingin kembali menusuk ke setiap kulit umat manusia. Satu per satu sangga telah kembali ke kelas tempat khusus untuk mereka tidur malam ini.
Berbeda dengan Cendana yang malah duduk di depan posko kesehatan. Ia bermain ponsel dengan kedua mata berkaca-kaca. Rasanya Cendana ingin pergi sejauh mungkin dan mencari pelukan hangat ibunya. Lelah, itu yang Cendana rasakan. Ia kesulitan berjalan karena kedua kakinya tampak membengkak usai melaksanakan rangkaian kegiatan sejak pagi tadi.
"Kenapa, Na?" tanya Minka, teman sekelas Cendana yang bertugas sebagai PMR.
Cendana meringis kesakitan tatkala tangannya memijat kakinya sendiri. "Sakit, Min," adunya dengan suara yang amat lirih.
"Aku ambilkan koyo dulu, ya," ucap Minka dengan cekatan.
"Iya." Cendana sudah pasrah. Apa saja yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan, ia biarkan saja. Selagi semua dapat menjamin jika rasa sakit di sekujur tubuhnya sembuh.
Tak lama kemudian, Minka datang dan membawakan koyo untuk Cendana. Koyo itu kemudian ditempelkan Minka di kedua lutut Cendana.
"Udah, kamu bawa tidur aja, Na. Besok juga sembuh sendiri kok," tuturnya.
Namun, Cendana enggan beranjak. Ia tidak mungkin bisa tidur dalam keadaan gelap. Napasnya kemungkinan akan sesak dan kedua matanya sudah tentu mengeluarkan air mata. Segala sesuatu yang mampu membuat Cendana tertekan, hari ini justru harus dijalani. Tentu saja dengan berat hati Cendana melewati semua ini.
"Tidur."
Cendana mendongak, menatap seorang lelaki yang berdiri di hadapannya. Dengan tatapan teduh dan raut wajah serius, Bumi menyuruh Cendana untuk beranjak dari sana.
"Apaan, sih, Bum."
"Nda, tidur!" titahnya.
"Enggak, Bum, nggak usah ngatur-ngatur!"
Padahal sejak tadi mereka masih saja bertukar pesan. Namun, entah mengapa lelaki itu justru menghampiri Cendana yang sedang duduk sendiri di depan posko kesehatan. Minka juga sudah pergi karena kondisi kesehatannya yang menurun usai menangani satu per satu siswa yang bertumbangan tadi.
"Nanti kamu kena marah, Nda," ucapnya lagi penuh dengan harap supaya Cendana bisa segera pergi dan tidur bersama teman-teman yang lain.
"Nggak usah ngurusin aku, Bum."
"Nanti kamu sakit, Nda."
"Peduli apa kamu." Usai mengucapkan kalimat itu, Cendana pun akhirnya pergi. Berjalan dengan tertatih dan menghiraukan Bumi yang masih menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Suasana malam ini begitu berbeda bagi Cendana. Berbaring di atas lantai keras beralas tikar, menjadikan tas berisi pakaian dan alat mandi sebagai bantal, serta dikelilingi oleh banyak anak-anak perempuan dari sangga lain. Sesak, apalagi yang lain sudah mulai tidur dengan pulas, sedangkan ia masih bergelut dengan rasa sakit yang berusaha ia nikmati.
Brak!
Pintu kelas dibuka dengan keras, tanpa peduli dengan penghuninya yang sudah mulai berenang dalam mimpi. Banyak yang terbangun dengan sekujur tubuh yang gemetar dan ada juga yang tampak linglung seolah kehilangan sukma pada saat itu juga.
"TIDUR! MATIKAN LAMPU! JANGAN ADA YANG BERMAIN PONSEL JIKA TIDAK INGIN KAMI SITA!"
Suara sakelar terdengar nyaring di seluruh penjuru ruang. Detik itu juga Cendana duduk dengan memegangi dadanya. Napasnya tidak teratur dan sepasang matanya sudah basah, ia tidak mampu menahan tangis karena rasa takut yang memuncak.
"Kak, saya tidak bisa tidur jika lampunya dimatikan," protes Cendana dengan suara yang mulai bergetar karena menahan tangis.
"BAGI SIAPA PUN JIKA INGIN TIDUR DALAM KEADAAN TERANG, SILAKAN PERGI KE RUANG TATA USAHA!"
Brak!
Pintu kembali ditutup dengan kasar, kemudian terdengar juga bahwa pintu terkunci dari luar. Mau tidak mau Cendana harus tenang, karena jika ia menangis, kemungkinan imbasnya akan membuat semua merasa tidak aman karena akan menjadi incaran.
Teman-temannya yang lain pun berusaha untuk menangkan Cendana. Ada yang menghidupkan lampu senter, tetapi Cendana mencegahnya karena takut jika akan menyulut kemarahan kakak tingkatnya yang kejamnya melebihi panitia yang bertugas.
Dengan susah payah Cendana mengatur napas dan kembali berbaring. Sempat ia melihat beberapa pesan masuk dari Bumi. Lelaki itu menyuruhnya untuk tetap tenang dan segera tidur. Juga tidak lupa untuk memasukkan ponsel ke dalam tas, ketimbang menerima risiko bahwa ponselnya akan disita dan dikembalikan besok siang usai apel penutupan.
"Na, tidur, ya. Banyak temannya di sini. Kamu jangan takut, kalau ada apa-apa kita semua nggak akan pergi," ucap Melati yang berada di samping Cendana dan berusaha menenangkan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gasal
Teen FictionTerima kasih sudah mengizinkanku bernaung serta memberiku tempat pulang. Dari gadis kecil yang kamu panggil dengan sebutan adik