7. Rumah

4 0 0
                                    

Dia tidak boleh hancur, justru dia harus berhasil. Dan aku berharap, jika suatu saat bukan aku yang terus menemani prosesnya, ia akan tetap melanjutkan hidup dengan semestinya. Selayaknya bumi yang terus berputar, ia akan tetap tegar dalam menghadapi cobaan apa pun.

_Cendana_


"Duduk, sini!" titah Bumi.

Setelah perbincangan singkat sebelumnya, Bumi mengajak Cendana untuk duduk di kursi yang terletak di depan perpustakaan. 

"Mau ngobrolin apa?" tanya Cendana yang belum berani menatap Bumi lagi. 

Lelaki itu kembali tersenyum manis dan memeluk bahu Cendana. Hangat dirasakan oleh gadis yang kini tengah menahan getaran hebat dalam dadanya. 

"Bum, tapi aku takut akan sesuatu," ucap Cendana.

"Takut apa?"

"Masa lalumu kelihatannya masih belum terima kalau kamu memulai hubungan dengan orang baru."

Hubungan Bumi dengan kakak kelasnya waktu itu terbilang lama dan bukan hanya itu, ada Prita yang berada dalam satu kelas dengan mereka. Cendana takut jika Prita akan menghancurkan hubungannya demi membantu masa lalu Bumi yang belum selesai dengan perasaannya. 

"Nda, aku udah enggak ada urusannya sama dia," ucap Bumi yang masih terus saja meyakinkan Cendana. 

Bahkan ketakutan itu telah diungkapkan Cendana berulang kali melalui pesan singkat mereka. 

"Kami sudah selesai, Nda. Sekarang hanya ada kamu dan aku, kalau dia masih terus berusaha untuk mengganggu hubungan kita, hiraukan saja. Percayalah jika aku hanya akan memilihmu dan sudah melupakan dia." 

Cendana menoleh, menatap Bumi dengan begitu dalam. Ia sedang mencari keseriusan di sana. Hatinya sedang begitu bimbang, apakah lelaki di hadapannya sekarang patut untuk dipercaya? 

Lagi-lagi tatapan teduh dari Bumi berhasil membuat pertahanannya runtuh. Keduanya terdiam dan masih terus saling memandang. Mereka hanyut pada perasaan yang baru saja datang.

"Hm." Bumi berdeham seraya mengubah posisi duduknya kembali tegak dan melingkarkan lengannya ke bahu Cendana.

"Bum, aku enggak main-main, ya. Sekarang aja aku bilang sekalian sama kamu. Aku nggak mau menjalin hubungan yang di dalamnya masih berisi tiga orang, dua orang itu aku dan kamu, sedangkan satunya lagi adalah bayang-bayang masa lalumu. Waktuku terlalu berharga untuk menanggapi seseorang yang masih belum usai dengan masa lalunya. Selanjutnya, aku tekankan sama kamu, perjalanan kita masih panjang, tapi aku mau kita sama-sama berproses. Ketika kamu datang ke kehidupan aku, tolong jangan hanya datang kemudian pergi. Jika memang niatmu hanya bermain, silakan pergi dari sekarang dan temui banyak perempuan di luar sana." 

Niatnya berkenalan dan dekat dengan Bumi adalah untuk menambah semangatnya ketika bersekolah. Cendana tidak ingin menambah kekecewaannya dalam suatu hubungan. Ditambah lagi ia sudah kelas XII dan memang harus fokus pada pembelajaran di detik-detik akhir menuju kelulusan. Maka dari itu, ia sedang meminta pada Bumi untuk sederhananya berjanji. 

"Na, kita jalani sama-sama, ya. Biar waktu yang bisa buat kamu semakin yakin sama aku. Aku juga sedang berusaha untuk membuat kepercayaanmu kembali." Bumi mengusap puncak kepala Cendana. 

Perlakuan sederhana semacam inilah yang membuat Cendana meleleh. 

"Sudah makan?" tanya Bumi. "Kalau belum, ayo ke kantin bareng, kita beli soto. Di kantin atas sotonya juara banget, loh." 

"Enggak deh, Bum. Kamu aja yang makan, tadi katanya kan belum sarapan," tolak Cendana yang merasa sungkan.

"Kok gitu, sih, aku lagi pengin disuapin."

Bumi adalah seorang pemain volly yang ketika di lapangan berhasil membuat banyak perempuan terkagum dengan capaiannya. Namun, ketika sudah bersama Cendana, lelaki itu menunjukkan sisi manja dan kekanak-kanakannya. Hari ini adalah hari pertama mereka bertemu setelah menjalin hubungan yang entah namanya apa. 

"Kalau di rumah begini juga kah?" tanya Cendana seraya merapikan rambut Bumi yang tampak sedikit berantakan. 

Pertanyaan itu tampaknya kurang tepat didengar oleh Bumi. Cendana menyadari perubahan raut wajah lelaki itu dengan sangat drastis.

"Kenapa, Bum?" tanya Cendana yang merasa takut jika pertanyaannya salah.

"Bisa terus sama-sama, biar bisa bangun rumah yang isinya utuh? Biar nanti kalau anak-anak kita minta disuapin, aku juga bisa ikut gantian sama mereka. Biar mereka bisa punya orang tua lengkap yang mengasuh dengan baik dan harmonis." 

Ah, lelaki yang dicintai Cendana ini adalah seorang anak yang harus merasakan perpecahan keluarga. Pantas saja jika sebelum ini Bumi mencari sosok pasangan yang usianya lebih dewasa ketimbang dirinya. Bumi sedang mencari sosok ibu dari pasangannya, ia ingin diperlakukan layaknya anak kecil, bukan ia yang memperlakukan pasangannya seperti itu.

Namun, mengingat hal itu kembali membuat Cendana merasa sakit. Rasa takut itu kembali muncul, yang mana ia juga butuh dimanja, mencari figur seorang ayah dari lelaki yang dicintai. Cendana tidak kehilangan ayahnya, akan tetapi ia kehilangan peran itu. 

Anak laki-laki itu sudah kehilangan hangat dari rumah yang dikira akan indah. Ayah dan ibunya tidak lagi bersama dan ia dibiarkan tinggal bersama neneknya. Ibunya terlalu jauh untuk bisa memenuhi peran yang semestinya. Sedangkan sang ayah juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan mereka. 

Melihat Bumi yang terus-menerus menunduk dan tak lagi melingkarkan tangannya di pundak Cendana, berhasil membuat gadis itu merasa iba. 

"Bum, aku enggak janji untuk menciptakan banyak kebahagiaan dalam kisah kita, tapi aku berusaha untuk memenuhi keinginan anak kecil yang ada dalam diri kamu," ucap Cendana dengan sungguh-sungguh. 






Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang