17. Bunga di Tengah Malam

52 10 7
                                    

« ??? »

Bunga-bunga putih kembali bermekaran. Meski terlihat kecil, aku tahu kalau kejadian ini tidak wajar, mengingat musim dingin akan datang dalam beberapa hari. Tanpa sebab, mereka mekar pada tengah malam ini, beberapa saat sebelumnya tanah ini kosong layaknya halaman depan rumah pada umumnya.

Siapa gerangan yang menanam bunga di tengah malam? Aku bertanya-tanya. Tidak bisa kutanyakan ini pada para tetangga besok, mereka bakal mengira aku telah kehilangan akal. Namun, lebih aneh lagi, bunga ini seakan tidak asing. Aku yakin pernah melihat bentuk yang sama beberapa waktu lalu. Seperti milik-

"Kau belum juga tidur?" tanya adikku. Dia pasti merasa heran melihatku tiba-tiba menghilang dan ditemukan sedang berdiri di depan rumah. Sudah pasti dia tidak berani tidur sendiri. Walau begitu, tindakannya cukup hebat karena berani keluar kamar di tengah malam untuk mencariku.

"Kau pernat lihat bunga ini?" Bukannya menjawab, aku justru mengalihkan topik. Namun, memang bunga itu jauh lebih penting dibahas saat ini.

Matanya menerawang ke tanah yang dipenuhi bunga putih, rambut panjangnya dibelai angin malam yang dingin. Untuk beberapa saat, adikku diam sebelum menatapku. Bibirnya tampak bergetar. "Seperti bunga di rambutnya Nanala."

Mendengar nama itu membuat bulu kudukku meremang. Ingatanku kembali pada kejadian beberapa minggu lalu.

***

Nanala, gadis yang pernah kami sapa beberapa waktu lalu. Dia anak gadis yang pernah jadi korban perundungan. Semua karena mereka ingin mengambil bunga penghias rambutnya. Dia selalu menahan kami dari bunga-bunga cantik itu, yang mana membuat kami kian penasaran.

Sejujurnya, aku tidak pernah merasa aman semenjak Nanala tinggal satu desa dengan kami. Kisah kelahiran tanpa ayahnya, serta dipenuhi bunga itu, sudah menjadi bendera merah bagiku. Membuatku jadi lebih mau menjauh alih-alih bergaul dengannya seperti yang lain. Sejauh dia bermain dengan kami, memang Nanala bertingkah seperti anak lain. Namun, aku merasa ada yang aneh darinya.

Hingga beberapa saat bermain bersama, salah satu bocah menarik paksa rambut Nanala hingga gadis itu tersungkur. Wajahnya dikotori dengan tanah. Bukannya membantu, aku justru terpaku menyaksikan dia ditertawakan sekumpulan bocah lainnya.

Bunga-bunga kecil yang melekat di rambutnya sebagian terjatuh. Menyatu dengan tanah yang kotor. Kulihat rambut pirangnya masih utuh, tapi gadis malang itu tampak kesakitan.

Nanala menangis. Dia bahkan tidak sanggup berdiri untuk kabur dari mereka. Untung mereka membiarkan saja gadis itu di tanah.

Mataku menangkap bayangan dari kejauhan, terlihat ibunya Nanala datang sambil memegang sapu. Beliau merupakan wanita paruh baya yang biasanya berkeliling desa untuk mencari bunga-bunga indah, sama dengan sang anak. Beliau mulai mengancam dengan sapu begitu melihat Nanala tersungkur di tanah. "Kalian apakan Nanala?!"

Kami semua terdiam. Hanya dengan itu, dua bocah yang berdiri depanku mulai saling tatap, menunggu keputusan.

Ibunya membantu Nanala berdiri dan menjauh, untung saja sapu itu tidak mengenai kami. Namun, sebelum mereka kian menjauh, wanita itu sempat mengucapkan kalimat yang tajam. "Tunggu saja sampai ayahnya datang!"

Begitu mereka pergi, adikku menatap bocah yang menyakiti Nanala. "Kau ini beraninya menyakiti Nala!"

"Kenapa, sih?" sahut salah satu bocah. "Kami cuma penasaran dengan hiasan rambutnya. Dia yang pamerin, masa gak mau disentuh?"

Wonderful World of Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang