Pandanganku kembali ke masa kini. Alih-alih kamar, sekarang aku berada di halaman depan rumah bersama Bunga. Kami berdiri menghadap ke arah matahari terbit, bunga-bunga bermekaran di sekitar kami, menyebarkan aroma wangi menyejukkan.
Aku tidak paham apa maksud Bunga dengan menceritakan kisah tragis tadi kepadaku. Padahal sebelumnya hanya bertanya dari mana dia dapat makanan ini. Apakah ada kaitannya dengan kelopak bunga putih yang menghiasi kepalanya? Barangkali, karena si pencerita tadi juga kebetulan pernah bersentuhan dengan kelopak bunga putih sepertiku.
Ingin bertanya, tapi aku kembali ingat jika Bunga tidak bisa bicara. Namun, tidak kusangka dia juga bisa bercerita dengan cara yang berbeda, dengan memperlihatkan segalanya padaku meski melalui sudut pandang yang berbeda.
Tidak ada yang bersuara sejak tadi selain embusan angin. Belum pernah kurasakan keheningan seperti ini. Biasanya ada saja suara yang melengkapi, aku jadi teringat dengan Ibu yang biasa memanggil namaku. Aku yakin saat ini Bunga tidak bisa melakukannya, bersuara saja belum pernah.
Aku menunduk, menatap bunga putih bermekaran di bawah sepatuku. Perlahan, aku berjongkok untuk mengamati lebih lanjut.
Bunga berjalan menjauh. Aku dapat merasakan kepergiannya, suara jejak kakinya terdengar samar ketika menyentuh tanah dan rerumputan.
"Bunga mau ke mana?" Aku bertanya sambil kembali menatapnya.
Bunga tidak menyahut, dia terus melangkah.
Niatku ingat tetap di sini sambil menikmati pemandangan. Namun, aku juga masih takut ditinggal sendirian. Terpaksa aku ikuti Bunga, meninggalkan area rumah baruku.
Bunga mengulurkan tangan, seakan memberi isyarat agar aku berpengangan padanya. Aku raih tangan dia dan kami pun meneruskan langkah semakin dalam menuju hutan.
Suasana hutan pada pagi hari terasa berbeda, meski suara burung akan selalu terdengar, pantulan cahaya matahari di pagi hari seakan memberi kesan hangat di setiap jengkal hutan. Aku merasa lebih nyaman, meski tahu betul jika hutan masih menyimpan banyak misteri, terlebih kedatangan binatang buas. Namun, bersama Bunga, aku merasa lebih aman.
Bunga berhenti untuk menunjuk ke arah pohon depan kanan kami. Ketika aku mengikuti arah tunjuknya, kulihat beberapa ekor burung sedang hinggap di pohon. Warna mereka senada dengan tempat duduknya, menciptakan ilusi seakan merekalah bagianndari pohon itu.
Suara langkah kaki kami terdengar begitu menyentuh dedaunan kering. Warnanya kian memerah, tanda musim dingin akan tiba. Aku jadi ingat apa yang Bunga ceritakan waktu itu, bisa jadi itu semua terjadi pada musim dingin tahun lalu.
"Bunga, sebentar lagi musim dingin akan tiba, bukan?" Aku bertanya.
Bunga mengangguk, masih memandangi sekelompok burung tadi.
"Kukira semua bunga akan tidur di musim itu," ujarku. "Lalu mereka akan kembali bangun pada musim semi. Ternyata Bunga masih bisa berjalan di tengah salju."
Bunga kembali mengangguk. Tentu saja dia tidak akan menambahkan, kalaupun dia ingin, mungkin aku tidak bisa mendengar akibat keterbatasan ini.
"Aku ingat, biasanya Ibu akan menyiapkan api di perapian agar kami merasa hangat," lanjutku. "Apa Bunga punya perapian?"
Bunga menoleh padaku, diam saja. Seakan kalimatku barusan membuatnya terkejut.
"Bunga takut dengan api?" tebakku.
Bunga mengangguk.
Aku jadi sedikit kecewa. "Mungkin aku perlu baju yang sangat tebal. Aku tidak tahan dingin sepertimu." Aku menebak kalau Bunga tahan dingin, kalau tidak, bagaimana dia bisa berjalan di tengah badai salju dengan tenang seperti yang kulihat dalam penggalan ingatan tadi?
Bunga menunduk, tidak menujuk atau memberi isyarat lain. Barangkali dia memahami keadaanku. Aku memang berbeda darinya, tentu saja jika kami hidup bersama, harus saling memahami. Belum pernah aku berjalan di tengah musim dingin tanpa pakaian tebal. Bahkan baju yang kupakai saat ini hanya cocok untuk tempat hangat seperti di rumah dulu.
Mataku menangkap bayangan besar dari arah depan. Makhluk itu seperti berjalan dengan empat kaki sekaligus berbadan gemuk. Begitu dia mendekat, dapat kulihat wujudnya lebih jelas.
Seekor beruang.
Refleks aku mundur dan memeluk kaki Bunga, berlindung padanya dari binatang buas. Dapat kurasakan tangan Bunga membelai rambutku. Dia tidak bergerak menjauh maupun menunjukkan perlawanan, hanya berdiri diam membiarkan beruang itu mendekat.
Aku mempererat pelukan. Rasa takut telah menyelimutiku. Apalagi ketika beruang itu semakin mendekat hingga kian jelas rupanya.
Beruang itu memiliki ciri yang berbeda dari biasa diceritakan padaku. Beruang itu memiliki bulu kuning seperti sinar matahari, ada tiga pasang mata kuning yang menghias wajahnya, memantulkan bayanganku. Lengkap dengan dua bunga putih menghias kepalanya seperti sepasang tanduk.
Aku belum pernah melihat beruang seperti itu sebelumnya, tapi belum berani menyentuh kalau saja dia bergerak memangsaku. Binatang itu berhenti tepat di depanku, mengendus beberapa kali sebelum akhirnya meneruskan langkah. Aku menarik napas lega, setidaknya dia tidak memangsa kami.
Bunga berpaling, seakan ingin melihat kepergian beruang itu. Aku pun ikuti arah badannya lantaran masih memeluk kakinya. Terlihat beruang itu pergi meninggalkan beberapa jejak berupa dedaunan merah yang menyebar ke seluruh hutan. Seakan dialah pemberi kabar bahwa musim dingin akan segera tiba.
Aku mendongak untuk menatap Bunga. "Beruang apa itu?"
Bunga tidak menjawab. Padahal aku tentu sangat membutuhkan jawaban saat ini. Dia hanya berlutut dan mengambil satu daun untuk diserahkan padaku.
Aku mengamatinya, persis seperti dedaunan yang berguguran di musim gugur. Meski tidak begitu paham, aku mengiakan dan kembali menyerahkan daun itu ke tanah.
Aku menebak jika beruang ini salah satu penghuni hutan yang tugasnya memperingati penghuni lain jika musim gugur telah tiba dan sebentar lagi salju akan turun. Jika tebakanku benar, barangkali beberapa binatang di sini akan segera bermigrasi ke tempat yang lebih hangat, seperti beberapa ekor burung terbang berkelompok untuk pergi ke suatu tempat dan akan kembali lagi saat musim semi tiba. Beruang ini mungkin memiliki tugas yang sama jika musim semi telah tiba. Barangkali di kakinya akan mekar beberapa bunga. Sementara di musim dingin nanti, aku tidak begitu tahu, barangkali mereka akan menghabiskan waktu dengan tidur seperti yang biasa kudengar.
Terlepas dari semua keajaiban ini, aku masih waspada akan apa yang menjadi makanan utama dari beruang ini. Lantaran Bunga tidak bisa memberiku jawaban langsung, sepertinya memilih untuk menghindari binatang ini adalah pilihan yang bijak. Dia mungkin berbeda dari beruang lain karena dapat menumbuhkan dedaunan dari kakinya. Namun, secara fisik dia tetaplah seekor beruang.
Bunga kembali melangkah, membiarkanku masih menempel di kakinya. Kami kembali ke rumah, meninggalkan hutan yang masih menyimpan sejumlah misteri.
Hutan di sekitar sini mungkin sedikit berbeda, mengingat Bunga juga salah satu penghuninya. Kemungkinan aku akan berjumpa dengan sejumlah makhluk berbunga lainnya. Mereka mungkin sepertiku, meski aku hanya memiliki kelopak bunga menghias rambut, barangkali diri ini juga merupakan bagian dari hutan. Kupandangi langit cerah di atas sana, perlahan dedaunan juga turut beterbangan menghias pemandangan. Menghujaniku dengan seribu pertanyaan yang barangkali tidak akan terjawab.
Kembali lagi nih ke sudut pandang Nanala. Mengingat cerpen sebelumnya terjauh lama sebelun Nanala muncul, kira-kira kalian dapat menebak apa yang terjadi di tengah semua itu? Tulis pendapat kalian di kolom komentar!
Jangan lupa vote dan komen, biar aku makin semangat menulis! Emang ada lagi penulis karya wadidaw yang gratisan sepertiku? Yuk, dukung aku dengan cara sederhana seperti ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonderful World of Flower
Fantasía"Aku adalah putri dari bunga-bunga. Setiap aspek hidupku selalu berkaitan dengannya." *** Nanala lahir dengan rambut dipenuhi bunga, selama ini dia hanya hidup dalam lindungan desa bersama ibunya. Suatu hari, Nanala bermain begitu jauh dari batas de...