22. Tujuan Akhir

83 10 6
                                    

« Sahil »


Dunia ini tidak ada yang namanya kebahagiaan, hanya kesengsaraan tiada akhir. Setiap langkah kakimu akan menciptakan kepedihan, setiap pilihan hanya akan menuntun menuju kebinasaan, setiap napas yang dihembuskan hanya akan memperpanjang siksaan itu. Tidak ada lagi harapan untuk terus melangkah, karena harapan hanya ilusi yang diciptakan pikiran agar tetap bertahan hidup.

Sejak dulu, aku berpikir sebatas itu saja pengertian hidup itu. Prinsipku hanya ingin terus bertahan walau tidak ada alasan bagiku untuk tetap bernapas hingga detik ini. Aku telah kehilangan segalanya, orang tua telah tiada dan satu-satunya keluarga yang tersisa hanya adik yang sering kumarahi.

Aku tidak menyangka kepergiannya akan tiba begitu cepat. Mengira kalau dia bisa hidup lebih lama dariku. Aku yang mendorongnya untuk pergi, tanggung jawabku atas luka batin yang dia terima. Karena amarah, semua yang kumiliki kini hanya tersisa penyesalan. Jika saja diriku di masa lalu dapat melihat semua ini, dia pasti akan segera menghindari kebodohan yang akan dilakukan.

Kini, sudah bertahun-tahun sejak kami melindungi diri dari serangan monster bunga itu. Beberapa waktu aku habiskan dengan bersembunyi dan meratapi keadaan. Menunggu waktuku tiba untuk menyusul keluargaku.

"Hei, Sahil!" Porter kembali berseru. Suaranya selalu menjadi pemecah keheningan dengan cara yang memaksa. "Aku tadi ke hutan dan nyaris membunuh monster itu. Namun, yang kutemukan justru kabar yang lebih gila!"

"Kabar apa?" Kutebak itu berkaitan dengan kekuatan magis dari iblis itu. Barangkali juga suatu jimat yang dapat mengurangi kekuatannya.

"Aku tidak sengaja melihatnya saat hendak melintas sungai, dari kejauhan aku segera mengenali sosok monster itu. Tanpa ragu, kucoba menyerang monster itu." Porter bercerita.

Nah, dia benar-benar gegabah.

Porter menarik napas sebelum melanjutkan. "Aku melihatnya sedang menggendong seorang anak."

"Anak?!" Aku terperangah, teringat akan sosok berkepala bunga yang sudah lama tidak kujumpai saja sudah membuat merinding. Sekarang dia di dekat sini mencoba menculik seorang anak?

Porter mengiakan. "Namun, ada yang mencolok dari anak itu, rambutnya penuh dengan bunga kecil. Tahu tidak? Dia terlihat berpegang erat ada monster itu. Kudengar suara memanggilnya dengan sebutan 'Ayah.'"

Aku mengaku terkejut mendengarnya, tapi di saat yang sama, wajar bila setiap makhluk hidup akan berkembang biak. Makhluk itu tidak abadi dan dia butuh pewaris juga. Namun, mendengar wujud anaknya tampak manusiawi terkesan aneh.

"Kita perlu lebih waspada," kata Porter. Dia lalu menjelaskan rencananya yang mana tidak begitu kusimak lantaran terkesan terlalu gegabah.

Dia menjelaskan dengan gaya penyerangan bertubi-tubi dari beberapa orang, dengan begitu dapat membunuh iblis berkepala bunga tadi. Namun, melihat kekuatan magis yang tertanam dalam dirinya, aku amat ragu jika kami berhasil.

Kembali terbayang detik terakhir adikku masih menginjakkan kaki di dunia. Tubuhnya seketika lenyap bersama dengan sosok bunga itu. Meninggalkanku dalam penyesalan karena membuat dia merasa seperti beban. Nyatanya, aku begitu tersulut amarah hingga melupakan bahwa dia masih begitu kecil untuk memahami.

Andai saja kala itu–

"Sahil, jangan melamun!" Teguran dari Porter kembali membuatku kesal. Namun, belajar dari pengalaman adikku, aku tahan diri untuk tidak menunjukkan amarahku lagi.

"Aku mendengarmu." Kujawab dengan nada pelan. Sungguh, aku tidak ingin terjebak bersama orang ini, tapi nasib yang sama justru menyatukan kami berdua.

Secara fisik, kami berdua memang serupa karena sebangsa. Rambutnya pirang dan matanya biru seperti aku dan adikku. Pembeda utama di antara kami selain bentuk wajah, tentu saja cara menanggapi dalam situasi buruk seperti ini.

Porter bercerita, kalau dia menyaksikan kematian para tetangganya, tidak lama setelah itu, kematian orang terdekatnya menjemput dan kini hanya tersisa dia seorang. Sama sepertiku, bedanya dia masih tampak ada secercah harapan. Meski mustahil bagiku jika kami berdua dapat menaklukan monster berkepala bunga itu.

"Bagaimana kita bisa mengalahkannya?" tanyaku, berharap dia tidak menjawab dengan gegabah kali ini.

"Aku melihat kalau pelayanku berhasil melukainya dengan pisau dapur biasa yang dilempar, berarti dia secara fisik sama seperti kita," terangnya. "Kalau begini, kita tinggal cari alat pertanian yang bisa dijadikan senjata, lalu tusuk ke badannya."

Idenya mungkin tidak buruk, tapi jelas tidak mudah dieksekusi.

Aku komentari rencananya. "Kita tidak bisa semudah itu melawannya."

"Maka dari itu, aku sediakan ini." Porter tersenyum sambil mengeluarkan beberapa botol kecil. "Ini racun rumput yang dulu dipakai pelayan kami. Kurasa, dapat berlaku juga baginya."

Terdengar aneh, tapi lawan kami berbentuk bunga yang mana itu termasuk tumbuhan, berarti bisa dicoba. Aku biarkan Porter mendemonstrasikan cara memberikan racun tadi pada sosok berkepala bunga.

"Pertama, kita cari senjata tajam tadi." Begitu Porter selesai mengucapkannya, kami kembali lanjut mengelilingi desa ini.

Desa baru ini, penduduknya sebagian sudah siap. Aku datang beberapa saat sebelum menemukan Porter, kuberi mereka kabar perihal kisah adikku maupun nasib para tetangga. Kaum manusia seperti kami sudah lelah menjadi sesuatu yang lemah, setidaknya ada cara untuk melawan. Meski aku mulai ragu akan kemenangan kami semua di saat seperti ini.

"Hei, apa yang kalian lakukan?" Terdengar suara seorang pria mengangetkan kami. "Mengalahkan sosok bunga katamu? Mau mati konyol?"

Aku balas dia sambil berusaha untuk tetap bersikap sopan. "Kami tidak tahan lagi. Monster itu sudah merengut apa yang kami miliki."

"Kami punya ini." Porter memamerkan botol berisikan racun rumput. "Dia itu bunga, jadi mungkin ini dapat menghabisinya."

"Kau perlu banyak bantuan." Pria itu tersenyum. "Kami bersedia membantu kalian. Kudengar kabar mengerikan akan serangan manusia bunga beberapa hari lalu."

"Terima kasih." Porter mengangguk hormat. "Kami siap membantu menghentikan teror ini. Setelah bertahun-tahun lamanya, kita akan membunuhnya!"

Aku hargai semangatnya yang terus membara, meski telah kehilangan orang-orang tercinta. Dia mungkin memiliki nasib berbeda dariku yang menciptakan pola pikir yang bertentangan denganku pula. Namun, itulah yang mendorongnya untuk terus melangkah dan berani menghadapi lawan kami.

Porter merangkulku. "Ayo, kita serbu makhluk itu!"

Desa yang kami tempati saat ini kemungkinan besar akan menjadi target berikutnya dari sang monster. Dia diperkirakan hidup di tengah hutan dan akan mencari mangsa sewaktu-waktu. Kadangkala sebulan, bahkan ada seminggu. Tergantung jumlah mangsanya. Meski kami tinggal di wilayah yang jauh dari hutan, tidak menutup kemungkinan makhkuk itu akan menjelajah guna menambah sumber pakannya.

Kami mempersiapkan diri, setidaknya dengan cara yang terbaik. Sejauh ini, hanya racun rumput yang diperkirakan dapat membunuh bunga itu dengan perlahan. Aku raih pisauku dan melumurinya dengan cairan itu. Meski dalam hati ragu dapat membunuhnya, paling tidak aku akan mati dengan tujuan membalas adikku.

Porter memegang garu yang sudah dilumuri racun. Mata birunya memantulkan cahaya bara api, bersemangat untuk menghabisi musuh kami.

Aku menarik napas, menyadari bahwa barangkali inilah pertempuran terakhir kami karena tidak memiliki kekuatan besar layaknya iblis bunga itu. Namun, apa pun hasilnya, paling tidak aku telah berniat untuk membalas kematian adikku.

Waduh, kini mungkin udah bakal balik ke mode awikwok lagi, tapi tetap aja sih aku usahakan untuk tetap santai meski yah ketahuan sih arahnya bakal ke mana wkwkwk

Oh ya, nanti bakal aku kasih juga ilustrasi tambahan untuk cerita ini, meski sebiji doang tapi mayan buat sedikit menenangkan untuk dilihat.

Sampai jumpa nanti!

Wonderful World of Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang