10. Rumah dan Sungai

46 11 0
                                    

Elusan lembut membangunkanku. Kali pertama aku merasa lega tidak bermimpi malam itu. Meski aku yakin jika itu salah satu cara Bunga bercerita padaku, aku tidak terlalu senang mendengar kisah yang begitu pilu akan hidup seseorang.

Begitu membuka mata, Bunga duduk di samping dengan jemari yang masih mengelus rambutku. Sejak semalam dia memang menemani, menghilangkan kegelisahan di hati. Pandanganku yang buram perlahan semakin jelas, memperlihatkan keadaan sekitar pagi ini dengan kentara.

Bunga tampaknya telah melepas baju lapisan luar yang biasa dia pakai, kini hanya mengenakan kemeja putih. Sinar terik matahari yang merambat masuk melalui jendela telah memberitahuku alasannya, pagi ini terasa cukup panas.

Aku menyapanya dengan ucapan selamat pagi sebelum melanjutkan. "Ayah, katanya hari ini kita jalan-jalan." Aku ungkapkan keinginan yang tertahan sejak kemarin.

Bunga balas dengan anggukan. Dia berdiri dan menunduk sedikit untuk keluar dari kamar. Aku ikuti langkahnya dengan antusias, bersiap menyambut petualangan kami.

Dia buka pintu rumah, terpampang area hutan luas yang disinari mentari cerah. Suasana sekitar rumah selalu tenang dilengkapi pemandangan indah yang alam bagikan, membuatku kian betah tinggal di sini. Meski dalam lubuk hati, sedikit merindukan teman-temanku di desa. Hari itu, aku bahkan tidak menyangka akan tinggal di sini dan tidak akan kembali.

Bunga menggenggam tanganku, menuntun menuju area bagian dalam hutan, sesuai dengan permintaanku semalam. Sepanjang jalan, tangan kami saling terpaut. Kubiarkan dia membawaku melewati pepohonan tinggi yang daun-daunnya masih kemerahan dan mulai berguguran.

Melewati sebuah pohon mati yang telah lama roboh, Bunga bantu aku dengan mengangkat pelan tubuhku. Dia dengan mudah naik hanya dengan sekali lompatan kecil sementara aku menunggu di bagian batang yang telah mati. Begitu Bunga turun ke tanah, dia berpaling padaku, kedua tangannya terangkat sebagai isyarat menyuruh turun.

Aku berdiri sambil melambaikan kedua tangan, siap menyambut pelukannya. Begitu aku meluncur, Bunga segera menangkap dan melingkari badanku ke dekapannya.

Kami meneruskan langkah dengan bergandengan tangan, aku menatap Bunga yang kepalanya menghadap lurus. Dugaanku, dia jelas bisa melihat meski tidak tampak memiliki mata. Bisa dibuktikan dengan beberapa saat, ketika diri ini bersuara, dia akan menoleh dan terus mengarahkan kepala bunganya padaku. Beberapa saat, dia menunjuk ke suatu arah dan memberitahuku tentang kehidupan dalam hutan ini. Sementara itu, diriku masih penasaran bagaimana cara dia makan. Tentu saja, semua itu akan terjawab jika aku mulai memahami kehidupannya.

Kami tiba di sebuah sungai yang mengalir di tengah hutan, meski anehnya, aku tidak menemukan jejak kehidupan manusia di sana. Padahal, setahuku sesama manusia akan tinggal di area dekat sumber air mengingat itulah bagian dari kehidupan kami. Namun, hutan ini terus saja menunjukkan keheningannya. Hanya bunyi hewan mengisi, sementara Bunga muncul secara fisik tanpa mengeluarkan tanda berupa suara selain langkah kaki pelan darinya kala menginjak tanah maupun dedaunan.

"Ayah, apa kita hanya sendirian di hutan ini?" Aku bertanya.

Tidak sesuai dugaan, Bunga menggeleng.

Aku kembali menebak. "Maksudnya, manusia seperti Ibu. Bukan hewan." Aku pikir dia mungkin bermaksud kalau hutan ini memang dihuni beberapa makhluk selain manusia dan tentu mereka juga dianggap sebagai penghuni.

Bunga tunjuk ke suatu arah di atas gunung sana. Saat aku ikuti, mataku menangkap pemandangan berupa rumah-rumah yang tampak amat kecil di antara pepohonan sana. Tanda adanya desa di atas.

"Boleh kita ke sana?" tanyaku, mungkin saja mereka juga mengenal Bunga.

Namun, Bunga menggeleng dan kembali meneruskan langkah semakin dekat ke sungai. Dia membungkuk, lalu dengan pelan mencelupkan kedua tangannya. Aku ikuti dan seketika tubuhku terasa segar, mengingat pagi yang panas ini.

Bunga lalu berdiri, dia tunjuk sebuah batu dan menarik pelan tanganku, seakan mengajak. Aku ikuti arah jalannya.

Kami menaiki sebuah batu besar memanjang yang seakan menjadi pagar di sekitar sungai. Kulihat Bunga terus menggenggam tanganku di samping, aku merasa aman lantaran ada yang menjagaku agar tidak terpeleset.

Di bawah sungai ini, tampak pemandangan dunia bawah air yang jernih, memperlihatan kehidupan kecil berdampingan dengan kami. Mulai dari ikan-ikan kecil berenang bersama menyusuri tanaman air, hingga beberapa ekor keong duduk diam bersatu pada batu. Aku membungkuk, terus mengamati mereka dengan rasa penasaran sekaligus keinginan berteman dengan mereka.

Bunga hanya berdiri diam, barangkali jika kami ditakdirkan bicara dengan cara yang sama, aku yakin dia akan banyak bercerita padaku akan setiap kejadian yang kami lalui bersama. Namun, saat ini aku hanya bisa mengandalkan hatiku untuk menafsirkan sesuatu.

Kulihat Bunga berdiri diam, memandang ke arah matahari yang menyinari tubuhnya. Dia tampak tenang seperti biasa, tapi kali ini aku seakan merasakan kedamaian yang terpancar dari sinar mentari, meski terasa panas di saat yang sama.

Kucoba untuk berjongkok di atas batu tempat kami tadinya berdiri, mencoba mengamati lebih jelas kehidupan kecil di dalam sungai. Hingga–

Tubuhku meronta, berjuang meraih kembali ke daratan yang biasa menjadi pijakanku. Namun, aku merasa sedang diseret semakin dalam menuju kegelapan. Saat itu juga, sesuatu menangkap tangan dan menarikku kembali ke daratan.

Kulihat Bunga sedang mengangkat badanku. Tubuhnya yang tinggi hanya tenggelam sampai dadanya, tanda sungai ini ternyata lebih dalam dari bayanganku. Ditambah lagi, aku terjatuh tidak jauh dari batu panjang itu, tanda betapa curam tempat ini dari yang dikira.

Bunga segera mengangkatku ke batu, aku lekas duduk dan mengamatinya kembali naik. Kini, kami berdua dipenuhi dengan air. Aku duduk diam, takut dimarahi. Terlebih di masa lalu, kejadian serupa pernah terjadi dan aku berakhir dengan omelan panjang dari Ibu ditambah serangan sapu.

Namun, Bunga hanya diam. Maksudku, tanpa menunjukkan tanda marah sama sekali. Dia mendekatiku, memeriksa seluruh badan sebelum akhirnya hanya duduk diam menatapku tanpa bersuara.

Aku merasa bersalah, barangkali Bunga juga ingin mengomel seperti Ibu, tapi terbatas akan keadaannya sendiri. "Maaf." Aku berucap pelan, mencoba menenangkan diri juga.

Bunga balas dengan menepuk pelan rambut pirangku yang basah, meski demikian, bunga kecil di kepala masih menancap seperti biasa. Sepertinya hanya suasana hatiku yang bisa melepaskan penghias rambut ini. Namun, kini kuanggap itu sebagai tanda lahir.

"Ayah tidak apa-apa, 'kan?" Aku menebak kalau dia mungkin juga terluka saat ikut terjun ke air untuk menyelamatkanku.

Bunga hanya terus mengelus rambutku, seakan memberi rasa aman di balik kejadian mengejutkan tadi. Meski aku tidak paham maksudnya, tetap saja perasaan hangat di hati tidak sanggup kutolak.

Kelembutannya itu membuat aku terbuai, belum pernah kutemui sosok seperti Bunga. Kami mungkin tidak bicara dengan cara yang sama, tapi ikatan batin telah mengikat kami begitu kuat hingga tak akan terlepas.

Bunga merangkulku ke dalam dekapannya. Perlahan dia melanjutkan langkah meninggalkan sungai yang tenang. Aku terus memegang bahunya, memastikan kami tidak akan terpisah. Selagi badan perlahan mengering sepanjang jalan, aku sesekali mencoba membantu Bunga mengeringkan diri dengan mencengkram bajunya, meski tentu saja di bagian celana tidak bisa kuraih.

Bunga mengelus bahu hingga punggungku, membuat aku merasa aman di sisinya. Kami meneruskan perjalanan dalam hutan, meski sedikit dingin akibat insiden tadi. Pohon-pohon sudah menunjukkan tanda perubahan, mereka tidak lama lagi akan bersembunyi selama musim dingin nanti. Selagi angin menurunkan dedaunan dengan perlahan, Bunga terus melangkah denganku di dekapannya. Membiarkan dedaunan yang berjatuhan menyamarkan jejak kami.

Nah, kali ini alurnya balik ke santuy lagi yekan. Awowkwk aku pengennya bikin cerita yang santuy tapi keknya bakal anu kalo gak anu.

Btw, jangan lupa vote dan komen biar aku bisa memastikan keanuan ini berjalan dengan lancar. Kuharap kalian masih anu sama keanuan dariku.

Sampai jumpa!

Wonderful World of Flower Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang