Dila duduk di jok belakang, berdampingan dengan Bagas di dalam mobil mercedes benz yang dikemudikan sopir menuju kabupaten Tulungagung.
Sembari menatap pemandangan jalan dari balik kaca jendela, Dila termangu. Dia tadi hanya sempat berpamitan pada neneknya lewat telepon. Agar wanita tua itu tidak khawatir, dia terpaksa berbohong dengan mengatakan pindah kerja ke Tulungagung dan akan segera pulang kalau sudah mendapat banyak uang. Dipamiti seperti itu saja neneknya masih tetap menangis dan melontarkan sejumlah pertanyaan cemas.
Lain hal dengan Tony dan Fira. Ketika berpamitan pada dua orang itu, justru wajah senang yang Dila dapatkan. Tony mengucapkan terima kasih. Sebab berkat transaksi keperawanannya, dia jadi meraup banyak keuntungan. Dila tidak tahu berapa uang yang diterima Tony dari Bagas. Yang jelas, bosnya itu senang sekali.
Begitu pula Fira. Ketika Dila berjanji akan mengirim sejumlah uang ke rekeningnya, perempuan itu mengucap terima kasih berulang kali dengan mata berkaca-kaca penuh keharuan.
Dila tersenyum membayangkan wajah terharu Fira. Selama ini, perempuan itu selalu baik padanya, tidak pernah merendahkan statusnya sebagai anak haram yang miskin. Padahal Fira berasal dari keluarga berada. Bapaknya seorang pegawai negeri sipil, sedangkan ibunya penjual nasi kuning di teras rumah. Keluarga Fira selalu baik padanya. Itu sebabnya, Dila ingin membalas jasa dengan memberikan sejumlah uang padanya.
Selama dalam perjalanan, Dila hanya diam melamun. Sedangkan Bagas berkutat pada ponselnya. Entah berkirim pesan dengan siapa, namun sepertinya sibuk sekali. Dila memutuskan untuk tidur, sebab kemarin dapat shift kerja malam.
Lalu ketika dia bangun, mobil mereka memasuki jalan pegunungan yang kiri kanannya terhampar pemandangan sawah bergantian dengan pemukiman penduduk dan pepohonan lebat seperti hutan.
Dila takjub melihat pemandangan di luar jendela yang tampak semakin asri. Pematang sawah dan pemukiman penduduk berganti dengan pepohonan rimbun. Inikah yang dinamakan Kabupaten Tulungagung? Seumur hidup, baru sekali ini dia berkunjung ke mari.
Pepohonan sudah semakin rapat. Tidak ada lagi pematang sawah dan pemukiman penduduk. Dila menoleh keheranan pada Bagas. "Bapak tinggal di daerah seperti ini?"
Pria berwajah datar itu ikut menoleh pada Dila lalu mengangguk. "Ya. Sesekali aku datang ke sini saat jenuh."
Sesekali? Itu artinya ... "Rumah Bapak tidak hanya di sini? Yang kita kunjungi ini bukan rumah Bapak satu-satunya?"
Bagas mengangguk lagi, jemari panjangnya merapikan kerah kemeja putih yang masih terpasang sempurna di tubuh atletisnya. "Kami punya rumah di setiap kota di Indonesia."
Apa?! Dila memekik dalam hati. "Banyak banget, dong?" serunya spontan.
Bagas kembali menghadapkan wajahnya ke depan. Tidak ada lagi yang perlu dia jawab. Pertanyaan Dila retoris, tidak butuh jawaban.
Jalan semakin menanjak curam dan meliuk tajam. Hutan di samping kanan kiri pun semakin lebat. Bahkan jalan aspal ini lengang sekali, tidak ada kendaran lewat satu pun. Dila mulai tak tenang. Jantungnya berdetak rusuh. Mengapa orang sekaya Bagas punya rumah di tempat terpencil, di puncak gunung seperti ini?
"P--pak, kapan kita sampai di rumah Bapak? Masih lama kah?" Dila bertanya gugup. Ini masih jam dua siang, tetapi kabut putih yang sangat tebal sudah turun ke jalan, mengganggu pandangan mata. Pak sopir sampai harus menyalakan lampu jarak jauh untuk menembus tebalnya kabut. Rerimbunan hutan pun menjadikan suasana siang ini seperti menjelang malam.
"Sebentar lagi. Itu ..." Dagu Bagas menunjuk ke arah depan. "Gerbang vilanya sudah terlihat."
Hah? Mana? Dila keheranan dalam hati. Sebab, sejauh mata memandang hanya kabut putih tebal saja yang dapat dia lihat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tumbal Cinta
Kinh dịDila Amanda terikat perjanjian dengan Bagas yang mengharuskannya hamil serta melahirkan bayi tanpa harus dinikahi baik secara sah maupun siri. Awalnya Dila tidak peduli. Dia hanya ingin melunasi hutang-hutang pinjaman online, serta membiayai nenekn...